Mohon tunggu...
Alyssa Diandra
Alyssa Diandra Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Umum

Berbagi ilmu kesehatan lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Jangan Biarkan Kesepian Menghalangi Masa Tua yang Berharga

24 Oktober 2024   12:24 Diperbarui: 24 Oktober 2024   19:19 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ini, populasi lansia kian meningkat di Indonesia. Penting bagi lansia untuk memiliki kualitas hidup yang baik agar meski berusia lanjut tetap sehat dan produktif. Namun ternyata, terdapat risiko masalah mengintai bagi populasi ini yang tidak dapat disepelekan, yakni kesepian.

Kesepian pada lansia tidak dapat dipandang sebelah mata. WHO menunjukkan bahwa 1 diantara 3 lansia mengalami kesepian. Indonesia juga tidak luput dari masalah tersebut dengan angka yang cukup tinggi yakni sekitar 60%. Tidak hanya prevalensi yang tinggi, kesepian memiliki dampak yang tidak sedikit bagi kualitas hidup seorang lansia.

Meski kesepian kerap diidentikkan dengan isolasi sosial, kenyataannya keduanya adalah hal yang berbeda.  Kesepian merupakan perasaan subjektif yang kurang menyenangkan dimana adanya kesenjangan antara realita dan ekspektasi dalam hubungan sosial. Sedangkan isolasi sosial merupakan suatu kondisi yang objektif dimana seseorang tidak memiliki hubungan sosial yang luas atau memiliki sedikit relasi. 

Orang yang mengalami isolasi sosial belum tentu mengalami kesepian, begitu juga dengan orang yang kesepian tidak selalu mengalami isolasi sosial. Kalau begitu, bagaimana seorang lansia dapat merasa kesepian?

Berbagai faktor risiko seorang lansia mengalami kesepian.

Faktor kesehatan fisik menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi hal ini. Pada usia lanjut, seseorang menjadi semakin sulit beradaptasi dengan keterbatasan akan kondisi fisiknya. 

Seringkali, seorang lansia memiliki penyakit kronik seperti, masalah jantung, paru, ataupun diabetes melitus, yang membuat aktivitasnya terbatas serta ketergantungan dengan orang lain. Kondisi ini dapat menimbulkan rasa tidak berdaya, merasa menjadi beban, putus asa sehingga merasa kesepian hingga depresi. 

Begitu juga dengan keterbatasan fisik akibat menurunnya kemampuan pendengaran, melihat, ataupun berjalan yang dapat memberikan rasa frustasi serta membatasi kemampuan sosial seseorang.

Penurunan fungsi kognitif tidak jarang dialami oleh lansia yang merujuk pada demensia. Pada demensia yang cukup berat, dapat mempengaruhi kemampuan bersosialisasi seseorang. Kondisi mental seperti adanya depresi, cemas atau masalah kesehatan jiwa lainnya turut berperan dalam meningkatkan risiko kesepian pada lansia.

Kepribadian dari lansia itu sendiri juga dapat mempengaruhi timbulnya rasa kesepian. Kepribadian yang cenderung bersifat neurotik menjadi salah satu faktor yang berperan dalam meningkatkan timbulnya rasa kesepian.

 Adapun beberapa ciri kepribadian neurotik yakni rentan terhadap stres, cenderung memiliki emosi yang tidak stabil, mudah jatuh ke dalam perasaan yang negatif, mudah merasa cemas akan hal yang sederhana, dan lain sebagainya. Ciri kepribadian ini menyebabkan lansia kesulitan menerima perbedaan kesenjangan antara harapan dan realita yang dimiliki.

Ketidakmampuan beradaptasi setelah masa pensiun juga meningkatkan risiko seorang lansia mengalami kesepian. Ketika bekerja, seseorang tidak hanya aktif dalam menghadapi dinamika pekerjaan

namun juga dalam berhubungan sosial. Saat pensiun, terjadi perubahan yang signifikan dari segi aktivitas dan kehidupan sosial sehingga tak jarang membuat kaget dan kesulitan menyesuaikan diri. Akhirnya perasaan gelisah, bingung, kosong hingga kesepian dapat menghampiri.

Kehilangan pasangan atau relasi terdekat menyebabkan seorang lansia mengalami kesedihan dan kesepian. Mereka semakin merasa terisolasi karena merasa semakin tidak ada yang dapat mengerti mereka serta tak jarang mengalami kekhawatiran akan kematian. Terlebih, jika lansia ini tinggal sendiri ataupun tinggal bersama anak atau anggota keluarga lain namun jarang berkontak karena kesibukan.

Apa dampak dari kesepian pada lansia? 

Tidak hanya faktor kesehatan fisik yang dapat menyebabkan kesepian, kesepian juga dapat mempengaruhi kesehatan fisik. Tidak melulu tentang menimbulkan masalah fisik baru, namun dapat meningkatkan kunjungan ke rumah sakit, rawat inap, serta memperburuk kondisi kesehatan yang ada. 

Risiko kematian akhirnya menjadi lebih tinggi. Penyakit jantung, stroke, ataupun diabetes melitus merupakan penyakit yang berisiko muncul ataupun mengalami perburukan akibat kesepian. 

Kesepian juga dapat meningkatkan risiko masalah kesehatan mental seperti demensia, cemas, depresi, hingga bunuh diri.

Seseorang yang mengalami kesepian juga cenderung malas beraktivitas, tidur terganggu, malas makan atau sebaliknya, mencari pengalihan yang kurang tepat seperti merokok, tidak patuh berobat, atau makan sembarangan. Kesemuanya ini akan memperburuk kondisi kesehatan fisik serta kualitas hidupnya.

Perubahan perilaku dan emosi akibat seseorang yang mengalami kesepian sering terjadi. Mudah marah, terkadang bersikap paranoid, berperilaku kasar, yang tidak hanya meningkatkan risiko kesepian akibat dijauhi relasinya, namun juga dapat meningkatkan risiko kekerasan. Risiko yang ditakutkan dari kekerasan ini adalah lansia menjadi korban dan mengalami luka yang serius hingga mengancam nyawa.   

Bagaimana cara mengurangi rasa kesepian pada lansia? 

Meski rasa kesepian bersifat subjektif, namun bukan berarti perasaan tersebut disangkal. Memvalidasi perasaan kesepian ini dapat menjadi langkah awal membantu mengurangi perasaan tersebut serta mengajaknya untuk terbuka

Oleh karena penyebab kesepian dapat muncul dari berbagai pihak, kerjasama semua pihak diperlukan untuk memfasilitasi lansia memiliki hidup yang berkualitas. Fasilitas umum dan kesehatan yang ramah lansia penting agar lansia tidak merasakan diskriminasi, sehingga populasi ini tetap semangat dalam beraktivitas di luar rumah dan menjaga kesehatannya sesuai kemampuan dirinya.

Adanya hobi lain yang ditekuni terutama setelah masa pensiun juga amat penting terutama untuk mengatasi perasaan yang kurang menyenangkan saat pensiun. Memiliki hobi atau aktivitas lain serta bergabung komunitas baru merupakan hal yang penting agar lansia tetap aktif dan membantu menurunkan risiko demensia. 

Selain itu, memiliki aktivitas lain untuk ditekuni dapat menjaga rasa percaya diri lansia serta membantu lansia menemukan komunitas sosial lain. Studi mengatakan bahwa lansia lebih menyukai hubungan sosial yang dibentuk dari kesamaan aktivitas atau hobi, sehingga mengikuti komunitas baru dapat menjadi pilihan yang baik.

Tidak hanya hubungan sosial dari komunitas saja, memupuk hubungan sosial dari lingkungan sekitar rumah juga dapat dilakukan. Jika cukup melek terhadap teknologi maka dapat memanfaatkan teknologi untuk aktif dalam aktivitas dan hubungan sosial seperti membaca buku elektronik, menggunakan fasilitas video call atau chat, hingga menemukan komunitas secara daring. 

Pemanfaatan teknologi juga dapat dipertimbangkan jika lansia mengalami keterbatasan fisik tertentu yang menyulitkannya untuk beraktivitas di luar rumah.

Faktor keluarga memegang peranan penting dalam kehidupan lansia. Memahami kepribadian seorang lansia penting. Beberapa lansia lebih nyaman tinggal di rumahnya dibandingkan harus mengunjungi anak secara bergiliran. Maka, anak harus lebih peka untuk memahami kebutuhan lansia dalam keluarganya.  

Bila seorang lansia memiliki keterbatasan atau memerlukan pendampingan tertentu, maka pendampingan dengan pelaku rawat yang memahami kebutuhan lansia amat membantu dalam menjaga kualitas hidup mereka. Pemahaman akan kebutuhan lansia misalnya untuk memiliki teman bicara atau didengarkan, menjadi sangat penting untuk membantu mengurangi rasa kesepian. 

Menjaga diri agar tetap aktif senantiasa menjadi cara terbaik yang tidak hanya untuk mengatasi kesepian, namun juga mengurangi risiko demensia. Aktivitas fisik dapat disesuaikan dengan keterbatasan fisik yang dialami. Jangan lupa, aktif secara sosial tidak hanya dengan keluarga, tapi juga dengan tetangga, komunitas baru atau bahkan secara daring.

Jika mengalami perasaan tidak menyenangkan akibat adanya perubahan kehidupan seperti pensiun, kehilangan orang terkasih, atau mengalami penyakit berat, maka membicarakannya dengan orang yang dapat dipercaya atau tenaga profesional seperti psikolog maupun psikiater diharapkan dapat membantu dalam menghadapi masalah kehidupannya. 

Adanya gejala seperti malas makan, gangguan tidur, perubahan perilaku seperti mudah marah, berhalusinasi, terlebih hingga ada keinginan atau percobaan mengakhiri hidup, maka perlu untuk mengonsulkannya ke psikiater.

Akhirnya masalah kesepian tidak dapat disepelekan karena dampaknya terhadap kualitas hidup seorang lansia. Faktor risiko maupun dampak dari kesepian seringkali menjadi suatu lingkaran yang saling mempengaruhi. 

Mari bersama kita lebih peka akan kebutuhan mereka yang berusia lanjut agar dapat menyongsong masa tua dengan sehat dan produktif.

***

Sumber: 

WHO. 2021. Social isolation and loneliness among older people

Just SA, Seethaler M, Sarpeah R, Waßmuth N, Bermpohl F, Brandl EJ. Loneliness in Elderly Inpatients. Psychiatr Q. 2022 Dec;93(4):1017-1030. doi: 10.1007/s11126-022-10006-7. Epub 2022 Nov 9. Erratum in: Psychiatr Q. 2023 Jun;94(2):343. doi: 10.1007/s11126-023-10021-2. PMID: 36350482; PMCID: PMC9644385.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun