Catur mungkin bisa berdamai dengan kelainannya itu. Tapi dia tidak bisa berdamai dengan kenyataan bahwa, dia tidak pernah bisa membuat istrinya mencapai klimaks. Dan sekarang, pikirannya bertambah dengan kepiluan bahwa, sampai kapan pun---selama si burung tetap membisu---keluarga kecilnya tak akan pernah bisa diramaikan oleh riuh rendah tangis dan celoteh seorang anak.
"Kalau kamu tidak mau adopsi, hanya tinggal satu cara yang belum kita coba untuk punya anak, Mas," ungkap Windi, pada suatu malam yang penuh keputusasaan. "Dan aku tidak yakin kamu mengizinkan aku melakukannya."
"Katakan saja." Respons Catur ogah-ogahan.
"Izinkan aku membuatnya dengan adikmu."
Mendengar itu, sontak raut wajah Catur memerah. "Akal-akalan macam apa itu?!" Pekiknya dalam hati.
"Hanya itu cara yang tersisa," terang Windi membela diri. "Aku berani menjamin bahwa kontrak kita hanya sebatas urusan membuat anak. Di luar itu, tidak akan ada lagi persetubuhan secara sengaja dengan adikmu."
Catur masih bergeming. Matanya mengerjap-ngerjap menatap lampu ruang tengah yang dikerubungi laron.
"Lagi pula aku punya alasan kenapa memilih adikmu," Windi masih bersikeras menjelaskan. "Karena dia masih satu darah denganmu, Mas. Ku pikir tak ada bedanya antara kamu dengan dia. Ku anggap dia adalah kamu."
"Kamu lakukan saja, Win. Maafkan aku tidak bisa membuatmu bahagia." Ucap Catur setelah berhasil menguasai diri.
***
Seminggu setelah perbincangan ganjil itu, Windi benar-benar membawa adik Catur yang berusia lebih muda satu tahun darinya ke rumah. Toh hari itu Catur sedang bekerja. Jadi, tidak ada potensi dia tiba-tiba cemburu manakala menyaksikan adegan saling tindih antara istri dengan adiknya sendiri.