"Tapi aku punya kamu, Mas."
Sejenak keduanya saling tatap. Dan sesaat kemudian tidak ada lagi percakapan yang menggema di antara keduanya. Tinggal suara erangan dan desahan Windi yang dtingkahi decak cicak dari tepi jendela.
***
Tiga tahun sebelumnya, di sebuah kos di Surabaya... Malam sudah kelewat larut tatkala sepasang kekasih itu memutuskan pulang dari sebuah bar murahan.
Malam itu malam Minggu, malam rutin keduanya menjadwal kencan. Nongkrong sampai lepas tengah malam tanpa kepikiran besok harus berangkat kerja pagi buta.
Dan seperti biasa pula, Windi pastilah menginap di kos Catur yang terbilang longgar dan tidak banyak aturan.
"Kamu selalu mengelak setiap ku ajak begituan. Apakah kamu tidak benar-benar ingin menikahiku, Mas?" Malam itu adalah malam Minggu ke sekian, dan Catur masih bergeming tiap kali Windi mengajaknya bertukar gairah.
Biasanya karena alasan capek, ngantuk, lain waktu saja, sampai akhirnya malam itu Catur benar-benar kehabisan alasan untuk menolak ajakan Windi.
"Apakah aku kurang menarik di matamu?" Cecar Windi sembari membuka satu per satu kancing kemejanya.
Catur menatap hampa buah dada yang tengah mengeras dan ranum itu. Tak sedikit pun menunjukkan tanda-tanda hendak menerkam. Hanya berkali-kali menelan ludah dan tampak berkeringat hebat. Entah karena bergairah, atau jangan-jangan justru takut untuk melakukannya.
Tapi tidak mungkin jika Catur tak tergoda sama sekali. Sebab, bagi Windi, hanya perkara ciuman saja kekasihnya itu selalu tampil ganas dan buas. Bagaimana mungkin dia tak punya keberanian untuk melakukan lebih dari sekadar bertukar ludah? Omong kosong!