Mohon tunggu...
Kholifatun NurAliyah
Kholifatun NurAliyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah mahasiswa strata-1 tingkat akhir jurusan biologi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku Bukan Jalang, Tuan

12 Juni 2023   23:38 Diperbarui: 27 Oktober 2023   00:57 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Semilir angin malam seakan memaksa masuk ke dalam tubuh, menembus epidermis sampai bisa dirasa oleh endodermis. Sesekali menimbulkan gigil. Gulita yang dicipta malam kali ini seakan sirna oleh terang rembulan; purnama. Hanya sunyi yang tidak bisa bersembunyi.

"Kiri, kiri" teriak seorang gadis di pinggir jalan dengan gaun pendek di atas lutut yang membalut tubuhnya.

Keadaan jalan yang sepi tak membuat nyalinya menciut. Demi bisa pulang ke rumah, Ayra rela membuang rasa malu juga takut. Sesekali ia menghentikan mobil yang melaju di jalanan tempatnya berdiri. Akan tetapi, tak seorang pun yang mau memberikannya tumpangan. Bukan hanya tak mau memberikan tumpangan, bahkan ada yang sampai berpikir jika dirinya sedang menjual diri. Seperti kejadian beberapa menit lalu.

"Kiri, kiri" teriaknya sambil melambaikan tangan menghentikan mobil yang melaju dengan kecepatan rendah.

"Ada apa cantik?" tanya seorang pria paruh baya setelah menurunkan kaca mobilnya.

          "Maaf pak, begini saya mau pulang, boleh saya menumpang mobil Bapak?" tanyanya pada si pengemudi mobil tersebut.

          "Boleh, cantik. Tapi om tidak ada uang cash. Nanti bagaimana bayar tipnya, transfer?"

          "Maksud bapak apa ya?"

          "Kamu ini pura-pura polos atau bagaimana sih?"

          "Saya benar-benar tidak tahu maksud bapak"

          "Cih, jalang. Masih saja berlagak polos" ucap pria tersebut sembari melajukan mobilnya.

          "Jangan sembarangan bicara ya, pak. Bapak bisa saya tuntut atas pencemaran nama baik! Dasar lelaki tua!" teriaknya tak terima dengan ucapan si pengemudi tadi.

Hampir dua jam Ayra berdiri di tepi jalan. Tak ada satu pun kendaraan yang mau memberikan tumpangan. Rasa pegal pada kakinya mulai menjalar. Haus dan lapar juga tidak mau ketinggalan, bisa-bisanya hadir dalam keadaan yang tidak mengenakkan. Wajar saja, sekarang sudah hampir tengah malam. Dengan sangat terpaksa akhirnya ia memutuskan untuk berjalan kaki, sejauh apapun yang penting ia bisa sampai di rumah sebelum fajar tiba. Hanya itu yang terlintas dibenaknya.

Ayra berjalan di atas trotoar dengan menundukkan kepala sembari sesekali bersenandung, berharap rasa takut yang ada segera sirna. Tak lupa, ia juga memikirkan alasan yang akan digunakannya nanti untuk meyakinkan ibunya yang hampir senja itu. Di tengah perjalanan, Ayra begitu terkejut ketika mendapati banyak wanita berdandanan menor tepat di ujung jalan sana. Entah ada berapa banyak mereka, yang jelas itu membuatnya merasa risih sebab ini kali pertamanya menemui wanita seperti mereka disini, atau mungkin dirinya yang memang tidak pernah keluar di jam-jam segini.

Sejurus kemudian ia mengamati pakaian yang saat ini ia kenakan.

          "Benar saja, gaun ini terlalu mini untuk ia pakai. Untung tidak ada yang berani berbuat macam-macam padanya, kalau ada pasti sudah ia patahkan kaki dan lehernya" gumamnya disertai tawa kecil membayangkan jika hal itu terjadi.

Matanya tak henti-hentinya mengamati wanita-wanita itu. Ada yang sibuk berdandan, memoles wajahnya dengan bedak serta gincu untuk memerahkan bibirnya. Ada yang berdiri sambil memainkan ponselnya, mungkin sedang menunggu panggilan dari seseorang. Ada yang sedang menelpon, sesekali disertai tawa kecil yang dibuat-buat, seperti orang tersipu malu jika diberikan gombalan. Ada yang sedang merayu pengguna jalan, pastinya yang menaiki mobil. Ada pula yang sudah masuk ke dalam mobil, sejurus kemudian mobil itu langsung melaju dengan kecepatan sedang, entah akan dibawa kemana.

Ada yang tak sengaja melihatnya disana, mereka mengira Ayra orang baru.  Ada yang melihatnya dengan tatapan sinis. Ada yang meneriakinya. Ada yang langsung mengusirnya. Ada pula yang menghadangnya.

          "Heh! Kamu orang baru disini?" tanya salah satu dari mereka yang menghadangnya.

          "Disini sudah banyak orang, mending cari tempat lain saja sana!" salah satu dari mereka menambahkan.

          "Maaf, mbak. Saya cuma numpang lewat, kebetulan rumah saya di jalan depan sana" jawabnya sambil menunjuk jalan menuju rumahnya.

          "Kamu cuma mencari alasan kan biar bisa lepas dari kami?" ucap salah satu dari mereka.

          "Permisi, mbak. Saya mau lewat, ibu saya sudah menunggu di rumah" ucapnya dengan penuh penekanan.

Entah mereka takut atau bagaimana, yang jelas ketika Ayra menekankan perkataannya mereka langsung memberinya jalan. Mereka tidak tahu saja kalau anya jago bela diri. Kalau mereka berani macam-macam, Ayra pasti tidak segan untuk mematahkan lengannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun