Mungkin aku terlalu bersemangat. Sudah tiga kali kakiku hampir menyenggol deretan lilin di sepanjang jalan itu. Hawa panas dari lilin yang kubawa ini terus menjalar keseluruh jari-jariku. mungkin saja lelehan lilin ini bisa jatuh ditanganku jika tidak dihalangi oleh lampu kaca yang menutupinya.
Tidak perlu banyak dekorasi untuk mempercantik malam ini, gemerlap lilin dan lampion telah memperindah seluruh jalan ke teater atau bisa dibilang bioskop mini itu. Sayangnya aku harus melewati fenomena ini untuk sementara, jarum jam yang terus berputar memaksaku untuk bergerak lebih cepat.
Entah sudah berapa blok yang kulewati hanya untuk membawakan lilin ini. Jalur lilin itu mulai melebar menandakan tempat terlaksananya Festival Film Jogjakarta. Sepuluh menit sebelum festival film dimulai akhirnya kakiku menapakkan dirinya di tempat tujuan. Ika yang melihatku baru sampai ke teater itu segera mencegatku “Sedang apa kau disini? Ayo cepat filmnya sebentar lagi akan dimulai!”. “Iya aku tahu.” Kataku seraya menata lilin yang sepanjang jalan tadi telah kubawa dengan penuh perjuangan.
Sesuai dengan dugaanku, perempuan berbaju hitam itu sudah menyiapkan kursi untuk kami berdua. Ika adalah salah satu sahabat karibku. Kami berasal dari SMP yang sama, namun hal yang membuat kami dekat adalah minat dan kecintaan kami kepada film. Hal itu juga yang membuat kami bisa membuat kami berada disini, bersaing untuk membuat film yang lebih baik dari yang lain.
Lima detik lagi film itu dimulai. Para penonton mulai berdesakan masuk untuk melihat atau hanya untuk sekedar membeli popcorn yang ditawarkan penjusl. Setelah penonton sudah lebih tertib dan diam ditempat duduknya lampu bioskop mini itu dimatikan. Filmnya hampir dimulai namun aku tak bisa mengalihkan pandanganku dari lampion dan lilir diluar ruangan. Hal itu mengingatkan aku pada masa kecilku, ketika aku begitu takut pada kegelapan sehingga harus ada lampu kecil yang diletakkan di sebelah tempat tidurku. Kakekku juga wajib menceritakan kisah-kisah heroiknnya sampai aku bosan dan tertidur.
Seperti awal film-film lama yang klise. Film pertama pada malam itu dimulai dengan ditampilkannya hitung mundur dari tiga ke satu dengan latar yang masih hitam putih. Aku dan sahabatku Ika yang berada di kursi depan bisa mendengar sorakan penonton yang antusias. Dengan serentak mereka berkata.
“3… 2… 1... Mulai!”
*******************************************************************************************************
Januari 1949
Ruang makan saat itu sangat gaduh oleh senandung tawa Katherine yang juga diiringi dengan suara derapan kaki si mbok. Hal pertama yang langsung terbesit dipikiranku adalah ‘pasti mereka sedang bermain petak umpet’. Permainan itu sudah bagaikan ritual yang wajib dilakukan si mbok dan adik perempuanku satu-satunya setiap pulang sekolah. Perpindahan meja dan kursi di ruang makan yang mungkin bagi beberapa orang terkesan ajaib, sudah bukan hal yang asing lagi bagi kami.
Kami yang berada di ruang tamu hanya bisa menahan tawa melihat tingkah laku mereka. Cahaya temaram melesak masuk lewat jendela, membasuh rambut pirang terang ibu. Mata birunya yang sayu dengan teliti melihat jarum yang menari dengan indah di jari lentiknya. Tak terhitung berapa kali bapak menceritakan kecantikan ibu namun aku tetap akan selalu mengakui kebenaran cerita itu. Tak terganggu dengan cahaya yang meneranginya, ibu masih dengan tekun merajut topi untuk hadiah ulang tahun John yang kedelapan. Sedangkan aku sibuk membolak balik halaman buku yang sudah khatam kubaca seraya menunggu kepulangan bapak.
Kebalikan dari Katherine, Jonathan adik bungsuku memiliki sifat yang pendiam. Walaupun begitu sebenarnya ia memiliki kepribadian yang ambisius dan ingin menjadi yang terbaik, terutama dalam hal akademik. Hal inilah yang mebuat ia selalu tekun belajar dan agak menutup diri dari lingkungan. Sehingga setiap sepulang sekolah John selalu kembali ke kamarnya untuk belajar. Dan biasanya ia hanya akan turun ke lantai satu untuk makan atau minum.
Baru saja aku akan membuka halaman dua belas dari bukuku untuk ke-lima kalinya. Mobil ayahku sudah terlihat dari kejauhan, kulambaikan tanganku sebagai tanda selamat datang. Namun tidak seperti biasanya bapak tidak melambai balik dari kaca mobilnya. Ia memarkir mobilnya di sembarang tempat, dengan baju basah penuh keringat ia berlari membawa tas kopernya kearah kami.
“Nak cepat bawa barang-barangmu keluar. Kita akan pindah sekarang juga.”
“Tapi kenapa buru-buru sekali pak?”
“Nanti akan bapak jelaskan yang penting kita pergi sekarang.” Masih bingung dengan keadaan ini. Kami sekeluaga segera mengemas baju-baju kami dan pergi. Mengucapkan selamat tinggal kepada si mbok yang telah merawat kami sejak lahir merupakan hal yang sangat sulit bagi kami, terutama bagi Katherine. Perjalanan kami menuju stasiun kereta diiringi oleh isak tangis adik perempuanku. Jika saja ia itu tahu apa saja hal yang akan terjadi pada kami, mungkin ia akan menangis lebih keras dari ini.
***
Kebingungan, ketakutan, dan tidak percaya mungkin akan jadi perasaan yang muncul di benak kalian jika menjadi kami. Bayangkan jika orang-orang yang tadinya baik dan ramah berubah seketika jadi membenci kalian. Sepanjang perjalanan hanya kata makian yang keluar dari mulut warga yang kami lewati, tatapan sinis, hingga batu yang di lontarkan kearah kami.
Ekspresi ceria yang biasanya bapak tunjukkan tidak muncul hari ini, diganti dengan ekspresi cemas dan takut. Dengan cepat tapi pasti kami langkahkan kaki kami menghindar dari tatapan yang menunjukkan kekesalan dan amarah. Banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan ke bapak namun tak biasanya, sekarang aku hanya bisa bergeming, takut untuk bicara sepatah katapun.
Bandara dipenuhi banyak sekali tentara yang berjaga dan membawa senapan mereka. Sudah berkali-kali kedua adikku menangis karena takut kepada tentara-tentara itu. Sementara aku dan ibu sibuk menenangkan mereka, bapak membantu mengarahkan kami kearah pesawat yang akan kami tumpangi.
Akhirnya kami sampai di pesawat, kedua adikku juga sudah tertidur dengan pulas. Ketika bapak sedang menjemput ibu ke belakang pesawat. Kulihat ada koran yang menyembul dari tas kopernya. Didorong rasa penasaran kubaca koran itu dengan saksama. Ada banyak sekali berita di hari itu, salah satunya adalah berita tentang jatuhnya Soekarno dari jabatannya dan ia digantikan oleh Soeharto. Namun kalimat yang paling menarik perhatianku adalah keputusan Soeharto untuk mendeportasi keturunan Indonesia-Belanda kembali ke Belanda.
***
Tinggal di Belanda tidak bisa dibilang hal yang meyenangkan. Karena banyak sekali keturunan Indonesia-Belanda yang pindah untuk tinggal di Belanda, populasi manusia di negara ini jadi berlebih. Hal itu juga mempertinggi angka kemiskinan dan kriminalitas. Karena ini kedatangan kami tidak disambut baik oleh masyarakat negeri oranye.
Sejak pindah ke negara ini, bisa dibilang keluargaku tinggal dalam kemiskinan. Untuk makan saja kami kesusahan. Kehabisan air juga sudah menjadi rutinitas di dalam rumah. Keceriaan si gadis kecil berambut pirang kini telah pudar. Seringkali ia menangis di kamar karena merindukan si mbok. Ibu dan bapak yang dulu selalu akur sekarang lebih sering bertengkar, terutama karena masalah keuangan.
Datang ke sekolah juga bukan lagi kegiatan yang mengasyikkan dan selalu kutunggu tiap minggunya. Anak-anak di sekolah sangat diskriminatif terhadap kami, hanya karena darah Indonesia yang kami miliki. Caci maki dan tatapan benci yang mereka tujukan kearah kami sudah menjadi santapan makan siang bagi kami tiga bersaudara. sama seperti Hubungan Indonesia dan Belanda yang semakin memburuk tidak memperbaiki keadaan kami sekarang.
Hampir putus asa tidak dan tahu harus kemana. Kemanakah kami harus pergi kalau di dua tempat yang sudah kami anggap rumah saja kami ditolak? Karena tidak tahan dengan segala tekanan akhirnya kami sekeluarga pindah ke Amerika untuk mencari kehidupan yang lebih baik.
Amerika 1958
“Kakak lihat ini!” Kata adikku yang sekarang sudah bukan anak kecil lagi dengan senyum sumringah, tangannya menunjukkan sebuah kertas. Hari ini adalah hari yang spesial yang spesial bagi Katherine. Setelah sebulan menunggu hasil tes SMA yang ingin ia masuki, akhirnya hasil dari tes SMA itu keluar hari ini. “Itu baru adikku!” Kataku diselingi dengan tawa bahagia. Adikku yang kemarin rasanya masih seorang anak kecil yang suka sekali bermain petak umpet, yang dulu sempat 3 tahun kehilangan senyuman manisnya. Sekarang telah menjelma menjadi gadis cantik nan pintar yang baru saja lulus tes masuk ke SMA yang ia tuju.
“Hey Jo tebak siapa yang baru saja resmi menjadi siswi SMA?!” teriak gadis itu sembari menggelitiki adik kecil kami Jo. Adik bungsuku Jonathan juga sekarang sudah lebih bisa bersosialisasi dengan teman-temannya. Ia juga sekarang belajar mendalami bahasa agar bisa menggapai impiannya menjadi diplomat.
Aku sendiri masih belajar di universitas untuk mencari impian dan cita-cita yang sampai sekarang belum kuketahui. Kebahagiaan ibu dan bapak juga sudah kembali walaupun belum seutuhnya. Trauma akan diskriminasi yang kami alami masih terasa sangat nyata. Kami tidak akan melupakan pengalaman itu tapi seiring dengan dunia yang terus berubah kami juga akan terus berubah untuk menjadi lebih baik lagi dan mengubur kenangan buruk itu lebih dalam.
*******************************************************************************************************
Sorak sorai dan gemuruh tepuk tangan penonton membangunkanku. Sontak aku juga ikut bertepuk tangan walaupun aku tidak tahu apa yang sebenarnya orang-orang ini apresiasi. “Selamat ya. Kali ini kau beruntung.” Kata Ika seraya menyalamiku. “Hah? Maksudnya?” Aku yang baru saja terbangun atau istilahnya belum selesai mengumpulkan nyawaku, kebingungan dengan keadaan yang tengah terjadi.
Sahabatku itu mengerutkan kedua alisnya tanda tidak percaya dengan perkataanku, dan dengan nada jengkel ia berkata “Kau tidak memperhatikan?”Aku hanya bisa mengangguk menanggapi pertanyaan dari kawanku itu. “Hm… kau menang. Film buatanmu menang.” Masih kaget dengan yang berusan dibicarakan Ika aku langsung berdiri dan mengguncang bahu Ika, berkali-kali aku mananyakan kepastian ucapannya itu. Namun ia tetap bersikeras berkata bahwa itulah kenyataannya.
Kau tidak tahu seberapa bahagianya diriku. Setelah dua puluh lima judul film berbeda yang kubuat akhirnya aku mendapat penghargaan! Untuk merayakan kemenangan ini, aku memutuskan untuk berkeliling melihat keindahan lilin di malam ini yang sebelum film dimulai tidak bisa kunikmati.
Namun didekat gerbang keluar terlihat lelaki yang semua rambutnya dipenuhi uban, namun masih terlihat gagah dengan memakai tuxedo dan mawar putih di kantongnya. “Formal sekali kek. Sayangnya film ku sudah selesai diputar.” Sapaku kepada kakekku yang memang sengaja datang untung melihat hasil karyaku. “Tidak apa-apa kakek datang hanya ingin ikut merayakan kemenanganmu.” Katanya, diiringi dengan gestur tangannya yang khas. “Darimana kakek tahu aku menang?”.“Firasat mungkin? Hahaahaha.”
“Kakek, kau tahu tidak? Aku teringat lagi cerita yang kau selalu ceritakan padaku sebelum tidur. Lama-lama bisa mati bosan aku teringat cerita itu terus.”
“Tidak usah diingat juga tidak apa-apa.” Tawanya yang terdengar lantang di taman yang luas ini. Aku dan kakekku pun kembali ke rumah untuk menceritakan kemenangan ini kepada keluargaku. Namun sebelum pulang tadi aku teringat dengan lilin-lilin yang sudah kutata dengan rapi. Aku menata lilin itu sesuai dengan angka yang bagi kakek adalah angka yang telah membawa perubahan besar dalam hidupnya. Angka itu adalah ’49. Mungkin itu juga salah satu faktor kemenanganku?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H