Kami yang berada di ruang tamu hanya bisa menahan tawa melihat tingkah laku mereka. Cahaya temaram melesak masuk lewat jendela, membasuh rambut pirang terang ibu. Mata birunya yang sayu dengan teliti melihat jarum yang menari dengan indah di jari lentiknya. Tak terhitung berapa kali bapak menceritakan kecantikan ibu namun aku tetap akan selalu mengakui kebenaran cerita itu. Tak terganggu dengan cahaya yang meneranginya, ibu masih dengan tekun merajut topi untuk hadiah ulang tahun John yang kedelapan. Sedangkan aku sibuk membolak balik halaman buku yang sudah khatam kubaca seraya menunggu kepulangan bapak.
Kebalikan dari Katherine, Jonathan adik bungsuku memiliki sifat yang pendiam. Walaupun begitu sebenarnya ia memiliki kepribadian yang ambisius dan ingin menjadi yang terbaik, terutama dalam hal akademik. Hal inilah yang mebuat ia selalu tekun belajar dan agak menutup diri dari lingkungan. Sehingga setiap sepulang sekolah John selalu kembali ke kamarnya untuk belajar. Dan biasanya ia hanya akan turun ke lantai satu untuk makan atau minum.
Baru saja aku akan membuka halaman dua belas dari bukuku untuk ke-lima kalinya. Mobil ayahku sudah terlihat dari kejauhan, kulambaikan tanganku sebagai tanda selamat datang. Namun tidak seperti biasanya bapak tidak melambai balik dari kaca mobilnya. Ia memarkir mobilnya di sembarang tempat, dengan baju basah penuh keringat ia berlari membawa tas kopernya kearah kami.
“Nak cepat bawa barang-barangmu keluar. Kita akan pindah sekarang juga.”
“Tapi kenapa buru-buru sekali pak?”
“Nanti akan bapak jelaskan yang penting kita pergi sekarang.” Masih bingung dengan keadaan ini. Kami sekeluaga segera mengemas baju-baju kami dan pergi. Mengucapkan selamat tinggal kepada si mbok yang telah merawat kami sejak lahir merupakan hal yang sangat sulit bagi kami, terutama bagi Katherine. Perjalanan kami menuju stasiun kereta diiringi oleh isak tangis adik perempuanku. Jika saja ia itu tahu apa saja hal yang akan terjadi pada kami, mungkin ia akan menangis lebih keras dari ini.
***
Kebingungan, ketakutan, dan tidak percaya mungkin akan jadi perasaan yang muncul di benak kalian jika menjadi kami. Bayangkan jika orang-orang yang tadinya baik dan ramah berubah seketika jadi membenci kalian. Sepanjang perjalanan hanya kata makian yang keluar dari mulut warga yang kami lewati, tatapan sinis, hingga batu yang di lontarkan kearah kami.
Ekspresi ceria yang biasanya bapak tunjukkan tidak muncul hari ini, diganti dengan ekspresi cemas dan takut. Dengan cepat tapi pasti kami langkahkan kaki kami menghindar dari tatapan yang menunjukkan kekesalan dan amarah. Banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan ke bapak namun tak biasanya, sekarang aku hanya bisa bergeming, takut untuk bicara sepatah katapun.
Bandara dipenuhi banyak sekali tentara yang berjaga dan membawa senapan mereka. Sudah berkali-kali kedua adikku menangis karena takut kepada tentara-tentara itu. Sementara aku dan ibu sibuk menenangkan mereka, bapak membantu mengarahkan kami kearah pesawat yang akan kami tumpangi.