Malam ini tidurku tak nyenyak seperti malam sebelumnya, sesekali terbangun dan melihat jam di atas nakas sebelah kasurku. Waktu berjalan seakan cukup lama, terlebih malam ini hujan turun sangat deras. Aku menatap langit-langit kamar sambil sesekali memejamkan mata agar bisa meneruskan tidurku yang tak nyenyak itu.
Kilat petir menyambar, semburatnya lagi-lagi menembus jendela kamarku seperti waktu itu, gemuruh petir yang terus menghantam langit. Riuh sekali.
Aku sudah menarik selimutku sampai menutupi dahi, air mataku mengalir layaknya hujan yang turun dengan deras di luar rumah. Takut. Satu kata yang dapat menggambarkan kondisiku sekarang. Usiaku bukan anak kecil lagi, tapi ketakutan ku masih sama seperti saat aku masih kecil.
Suara pintu terdengar, menampilkan cahaya dari lampu ruang tengah. "Eyin," panggil seseorang dengan suara khasnya yang berat namun tetap lembut.
"Eyin takut, Pak," kataku masih dengan posisi yang tertutupi dengan selimut.
Langkah kaki Bapak menghampiriku, membuka perlahan selimut yang menutupi hampir seluruh tubuhku. "Nggak usah takut lagi. Bapak di sini."
Aku menyeka air mataku, "Suara petirnya besar, Pak."
"Iya, Nak. Eyin belum tidur dari tadi?"
"Sudah, tapi Eyin terbangun."
"Tidur lagi, ya? Bapak di sini tungguin Eyin sampai tertidur nyenyak. Nggak usah takut lagi, ya," ucap Bapak mengusap pelan kepalaku dan mulai menarik kursi meja belajarku untuk di tempati.
Ketakutanku sedikit mereda, ini karena Bapak yang menenangkanku dan menungguku sampai benar-benar tertidur. Selain menjadi kalimat yang membuatku tenang, kalimat itu juga menjadi jawaban dari pertanyaanku yang kerap kali kutanyakan pada Ibu. "Ibu, Bapak sayang Eyin tidak, ya?"Â Namun, gengsinya cukup besar hingga apa yang dilakukan untukku atas dasar sayang, benar-benar terlapisi oleh rasa gengsinya.