Mohon tunggu...
Alya Nadila
Alya Nadila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Alya Nadila atau akrab disapa Alya merupakan perempuan berdarah Aceh yang memiliki hobi berkata lewat tulisan. Perempuan kelahiran 19 tahun silam di Kota Lhokseumawe ini sedang mengenyam pendidikan di jurusan Tadris Matematika, IAIN Lhokseumawe. Selain aktif berkuliah dan tergabung di beberapa komunitas, melalui hobi menulisya ia telah melahirkan beberapa karya yang tergabung dalam buku antologi cerpen dan puisi ber-ISBN serta salah satu puisinya yang berjudul 'Netra yang Entah Kian Kembali' telah dimuat pada Unimal Magazine Edisi 10, Universitas Malikussaleh.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rasa Sayang Bapak

1 Agustus 2024   14:50 Diperbarui: 1 Agustus 2024   15:12 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku merasakan kunciran rambutku yang telah ditata Ibu berantakan karena ulah Bapak, "Bapak! Kepala Eyin jangan dipegang!"

"Lho, kenapa, Nak?"

"Rambut Eyin berantakan, Bapak. Tuh, lihat! Gara-gara Bapak rambutnya keluar, nih, nggak rapi lagi kayak punya Ibu buat tadi."

Lagi-lagi ucapanku dibalas tawa kecil oleh Bapak.

Bapak senang membelikanku sesuatu saat aku sedang ikut Bapak ke pasar untuk menemani Ibu berbelanja, atau Bapak sendiri yang mengajakku untuk pergi membelinya. Bapak juga sering membelikanku susu stroberi dan biskuit dengan kemasan bergambar singa rasa vanilla yang menjadi snack kesukaannku. Jarang sekali Bapak tidak menuruti kemauan anak perempuannya ini. Karena rasa sayang Bapak terlihat dari itu semua, namun tak mampu diutarakan.

♡♡♡

15 tahun terbilang cukup lama, usiaku sudah genap 18 tahun. Sifat gengsi Bapak mulai terlihat. Ah, sebenarnya dari dulu Bapak gengsian. Hanya saja, karena dulu aku masih kecil belum paham dengan sifat gengsian dan hanya tahu ikut Bapak ke mana saja untuk beli susu stroberi dan biskuit kesukaanku. Dari kecil, aku tak pernah mendengar kalimat yang keluar dari mulut Bapak bahwa Bapak menyayangiku. Anehnya lagi, sifat Bapak yang satu itu menjadi sifat yang turun padaku. Aku juga gengsian seperti Bapak.

Kadang, Ibu sering kali memperingatkan kami untuk sesekali bicara bahwa keduanya benar-benar saling sayang, tetapi tertutup oleh gengsi masing-masing. Ditambah dengan usiaku yang semakin dewasa juga menambah sifat maluku meski hanya sekadar bertutur kata yang menampilkan kasih sayang seorang anak kepada sang Ayah.

Sesekali aku melihat temanku yang diantar ke sekolah oleh ayahnya. Ia berpamitan dengan ayahnya, mencium tangannya, diikuti dengan sang ayah yang mencium keningnya. Lagi-lagi, aku dan Bapak tak mungkin bersikap demikian, gengsi. Rasanya, kalau pun Bapak akan berlakon demikian, aku yang akan malu dan kaget, bahkan merasa tidak nyaman karena sejak aku masuk SD, perlakuan seperti itu tak pernah tersampaikan lagi, cukup berpamitan dan mencium tangannya. Bukan hanya karena gengsi Bapak, tapi aku menyadari usiaku bukan anak kecil lagi, meskipun nama kecilku akan selalu menjadi panggilan yang kudengar dari Ibu dan Bapak sampai kapanpun.

Waktu itu, saat ulang tahun Bapak yang ke-42 di usiaku ke 14 tahun, aku dan Ibu menyiapkan kue ulang tahun. Hanya sebuah perayaan kecil-kecilan. Setelah perayaan kecil itu selesai, aku mengucapkan selamat ulang tahun untuk Bapak sambil mencium tangannya. Benar, hanya itu. Alih-alih memeluk, mengucapkan sayang pun enggan. Malu. Gengsi kami keterlaluan, padahal sayang.

Gemuruh petir menjadi salah satu hal yang kutakuti sejak kecil. Aku yang berusia 10 tahun ingin sekali mencoba menikmati kopi hitam milik Bapak. Padahal Ibu sudah melarang ku untuk meminumnya, aku tetap menyantapnya hingga tak bisa tidur. Malam itu aku mendengar gemuruh petir dan hujan yang cukup deras, ditambah dengan semburat cahayanya yang menembus jendela kamarku. Hal itu benar-benar membuatku trauma hingga sekarang ketakutanku pada gemuruh petir masih saja berlanjut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun