Mohon tunggu...
Alya Nadila
Alya Nadila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Alya Nadila atau akrab disapa Alya merupakan perempuan berdarah Aceh yang memiliki hobi berkata lewat tulisan. Perempuan kelahiran 19 tahun silam di Kota Lhokseumawe ini sedang mengenyam pendidikan di jurusan Tadris Matematika, IAIN Lhokseumawe. Selain aktif berkuliah dan tergabung di beberapa komunitas, melalui hobi menulisya ia telah melahirkan beberapa karya yang tergabung dalam buku antologi cerpen dan puisi ber-ISBN serta salah satu puisinya yang berjudul 'Netra yang Entah Kian Kembali' telah dimuat pada Unimal Magazine Edisi 10, Universitas Malikussaleh.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rasa Sayang Bapak

1 Agustus 2024   14:50 Diperbarui: 1 Agustus 2024   15:12 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.pexels.com

"Bapak!" panggilku kepada pria paruh baya yang tengah memperbaiki mesin air di rumah. Bapakku serba bisa. Setiap kali ada barang yang rusak, pasti Bapak yang turun tangan untuk memperbaiki dan membuat barang itu seolah tak pernah rusak sama sekali.

"Kenapa, Eyin?" tanya Bapak padaku yang masih berdiri memandangi Bapak dari jarak lumayan jauh. Aku hanya menggeleng, "Nggak apa-apa, Bapak lanjut aja. Eyin nanti mau ajak Bapak main boleh, ya?" Bapak menyetujui ucapanku, "Boleh, Nak. Eyin main di dalam dulu, ya. Selesai ini Bapak main sama Eyin," ucapnya kembali meneruskan berkutik dengan mesin di hadapannya.

Aku terbangun dari tidurku dengan posisi rapi yang sudah berada di kasur. Seingatku, saat menunggu Bapak, aku bermain dengan mainan masak-masakan yang dibeli Bapak dan Ibu untukku. Samar-samar, tetapi aku teringat suara Ibu yang memanggil Bapak untuk memindahkanku ke kasur agar tidurku lebih nyaman.

Ibu yang baru selesai memasak di dapur menghampiriku, "Anak kecil Ibu sudah bangun, ya? Mau main sama Bapak katanya, iya?" tanya Ibu yang kusetujui dengan deheman khas orang yang baru bangun tidur. "Bapak nungguin Eyin, lho, dari tadi. Katanya, Bapak mau ajak Eyin beli susu stroberi yang banyak di pasar."

Kalimat yang keluar dari bibir Ibu membuat ngantukku hilang, "Eyin mau pergi ikut Bapak, Bu!" kataku semangat. Bapak yang berada di luar kamarku seolah mendengar percakapan kami, "Eyin mandi dulu. Kalau tidak mandi, Bapak nggak mau ajak Eyin."

"Bapak! Tungguin Eyin! Eyin mandinya nggak lama," ucapku dengan suara yang lebih besar dari biasanya aku bicara. Terdengar suara tawa kecil dari Ibu yang membantuku untuk bersiap-siap mandi dan pergi membeli susu stroberi bersama Bapak.

♡♡♡

"Sudah cukup belum? Mau beli apa lagi?" tanya Bapak yang tangan kanannya menggandeng tanganku sedang tangan kirinya memegang keranjang merah hasil belanjaan kami.

"Sudah, Pak. Eyin bingung mau beli apa lagi. Besok-besok lagi saja belinya, nanti Eyin batuk terus Bapak nggak kasih Eyin jajan lagi, deh," ucapku yang dibalas tawa kecil oleh Bapak.

Bapak tersenyum sambil mengusap pelan kepalaku, "Pinter."

Aku merasakan kunciran rambutku yang telah ditata Ibu berantakan karena ulah Bapak, "Bapak! Kepala Eyin jangan dipegang!"

"Lho, kenapa, Nak?"

"Rambut Eyin berantakan, Bapak. Tuh, lihat! Gara-gara Bapak rambutnya keluar, nih, nggak rapi lagi kayak punya Ibu buat tadi."

Lagi-lagi ucapanku dibalas tawa kecil oleh Bapak.

Bapak senang membelikanku sesuatu saat aku sedang ikut Bapak ke pasar untuk menemani Ibu berbelanja, atau Bapak sendiri yang mengajakku untuk pergi membelinya. Bapak juga sering membelikanku susu stroberi dan biskuit dengan kemasan bergambar singa rasa vanilla yang menjadi snack kesukaannku. Jarang sekali Bapak tidak menuruti kemauan anak perempuannya ini. Karena rasa sayang Bapak terlihat dari itu semua, namun tak mampu diutarakan.

♡♡♡

15 tahun terbilang cukup lama, usiaku sudah genap 18 tahun. Sifat gengsi Bapak mulai terlihat. Ah, sebenarnya dari dulu Bapak gengsian. Hanya saja, karena dulu aku masih kecil belum paham dengan sifat gengsian dan hanya tahu ikut Bapak ke mana saja untuk beli susu stroberi dan biskuit kesukaanku. Dari kecil, aku tak pernah mendengar kalimat yang keluar dari mulut Bapak bahwa Bapak menyayangiku. Anehnya lagi, sifat Bapak yang satu itu menjadi sifat yang turun padaku. Aku juga gengsian seperti Bapak.

Kadang, Ibu sering kali memperingatkan kami untuk sesekali bicara bahwa keduanya benar-benar saling sayang, tetapi tertutup oleh gengsi masing-masing. Ditambah dengan usiaku yang semakin dewasa juga menambah sifat maluku meski hanya sekadar bertutur kata yang menampilkan kasih sayang seorang anak kepada sang Ayah.

Sesekali aku melihat temanku yang diantar ke sekolah oleh ayahnya. Ia berpamitan dengan ayahnya, mencium tangannya, diikuti dengan sang ayah yang mencium keningnya. Lagi-lagi, aku dan Bapak tak mungkin bersikap demikian, gengsi. Rasanya, kalau pun Bapak akan berlakon demikian, aku yang akan malu dan kaget, bahkan merasa tidak nyaman karena sejak aku masuk SD, perlakuan seperti itu tak pernah tersampaikan lagi, cukup berpamitan dan mencium tangannya. Bukan hanya karena gengsi Bapak, tapi aku menyadari usiaku bukan anak kecil lagi, meskipun nama kecilku akan selalu menjadi panggilan yang kudengar dari Ibu dan Bapak sampai kapanpun.

Waktu itu, saat ulang tahun Bapak yang ke-42 di usiaku ke 14 tahun, aku dan Ibu menyiapkan kue ulang tahun. Hanya sebuah perayaan kecil-kecilan. Setelah perayaan kecil itu selesai, aku mengucapkan selamat ulang tahun untuk Bapak sambil mencium tangannya. Benar, hanya itu. Alih-alih memeluk, mengucapkan sayang pun enggan. Malu. Gengsi kami keterlaluan, padahal sayang.

Gemuruh petir menjadi salah satu hal yang kutakuti sejak kecil. Aku yang berusia 10 tahun ingin sekali mencoba menikmati kopi hitam milik Bapak. Padahal Ibu sudah melarang ku untuk meminumnya, aku tetap menyantapnya hingga tak bisa tidur. Malam itu aku mendengar gemuruh petir dan hujan yang cukup deras, ditambah dengan semburat cahayanya yang menembus jendela kamarku. Hal itu benar-benar membuatku trauma hingga sekarang ketakutanku pada gemuruh petir masih saja berlanjut.

Malam ini tidurku tak nyenyak seperti malam sebelumnya, sesekali terbangun dan melihat jam di atas nakas sebelah kasurku. Waktu berjalan seakan cukup lama, terlebih malam ini hujan turun sangat deras. Aku menatap langit-langit kamar sambil sesekali memejamkan mata agar bisa meneruskan tidurku yang tak nyenyak itu.

Kilat petir menyambar, semburatnya lagi-lagi menembus jendela kamarku seperti waktu itu, gemuruh petir yang terus menghantam langit. Riuh sekali.

Aku sudah menarik selimutku sampai menutupi dahi, air mataku mengalir layaknya hujan yang turun dengan deras di luar rumah. Takut. Satu kata yang dapat menggambarkan kondisiku sekarang. Usiaku bukan anak kecil lagi, tapi ketakutan ku masih sama seperti saat aku masih kecil.

Suara pintu terdengar, menampilkan cahaya dari lampu ruang tengah. "Eyin," panggil seseorang dengan suara khasnya yang berat namun tetap lembut.

"Eyin takut, Pak," kataku masih dengan posisi yang tertutupi dengan selimut.

Langkah kaki Bapak menghampiriku, membuka perlahan selimut yang menutupi hampir seluruh tubuhku. "Nggak usah takut lagi. Bapak di sini."

Aku menyeka air mataku, "Suara petirnya besar, Pak."

"Iya, Nak. Eyin belum tidur dari tadi?"

"Sudah, tapi Eyin terbangun."

"Tidur lagi, ya? Bapak di sini tungguin Eyin sampai tertidur nyenyak. Nggak usah takut lagi, ya," ucap Bapak mengusap pelan kepalaku dan mulai menarik kursi meja belajarku untuk di tempati.

Ketakutanku sedikit mereda, ini karena Bapak yang menenangkanku dan menungguku sampai benar-benar tertidur. Selain menjadi kalimat yang membuatku tenang, kalimat itu juga menjadi jawaban dari pertanyaanku yang kerap kali kutanyakan pada Ibu. "Ibu, Bapak sayang Eyin tidak, ya?"  Namun, gengsinya cukup besar hingga apa yang dilakukan untukku atas dasar sayang, benar-benar terlapisi oleh rasa gengsinya.

Banyak hal yang dilakukan oleh Bapak untukku, Bapak tak pernah mengucapkan langsung kalau Bapak menyayangiku. Tapi, kini aku paham yang dikatakan Ibu, bahwa Bapak adalah sosok penyayang tetapi dengan caranya yang berbeda.

Biodata Penulis

Alya Nadila atau akrab disapa Alya merupakan perempuan berdarah Aceh yang memiliki hobi berkata lewat tulisan. Perempuan kelahiran 19 tahun silam di Kota Lhokseumawe ini sedang mengenyam pendidikan di jurusan Tadris Matematika, IAIN Lhokseumawe. Selain aktif berkuliah dan tergabung di beberapa komunitas, melalui hobi menulisya ia telah melahirkan beberapa karya yang tergabung dalam buku antologi cerpen dan puisi ber-ISBN serta salah satu puisinya yang berjudul 'Netra yang Entah Kian Kembali' telah dimuat pada Unimal Magazine Edisi 10, Universitas Malikussaleh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun