Pokok-pokok pemikiran Max Weber dan Herbert Lionel Adolphus Hart (HLA Hart)
A. Dalam Jurnal "MAX WEBER AND THE CONCEPT OF LEGITIMACY IN CONTEMPORARY JURISPRUDENCE"
Pokok pokok pemikirannya:
1. Konsep Legitimasi
Max Weber mengidentifikasi tiga tipe utama legitimasi yang menopang sistem hukum dan kekuasaan dalam masyarakat:
-Legitimasi Tradisional: Weber menggambarkan kekuasaan tradisional sebagai bentuk kekuasaan yang didasarkan pada kepercayaan akan adat-istiadat dan kebiasaan turun-temurun. Kekuasaan atau aturan yang berlaku diterima karena sudah lama ada dan dianggap sah hanya karena telah diwariskan secara turun-temurun. Di Indonesia, ini bisa terlihat dalam masyarakat adat yang menjalankan hukum adat sebagai aturan sosial yang sah.
-Legitimasi Karismatik: Dalam bentuk ini, legitimasi muncul dari kepribadian atau karisma seorang pemimpin yang dianggap memiliki kemampuan luar biasa. Rakyat patuh bukan karena aturan yang berlaku, tetapi karena kekaguman dan kepercayaan terhadap pemimpin tersebut. Dalam konteks hukum di Indonesia, aspek ini bisa dilihat dalam fenomena tokoh kharismatik yang berpengaruh kuat dalam masyarakat.
- Legitimasi Legal-Rasional: Ini adalah dasar dari sistem hukum modern dan berlandaskan pada prinsip bahwa kekuasaan atau aturan harus diterima karena diciptakan melalui prosedur yang sah, seperti legislasi dan perundang-undangan. Aturan-aturan yang lahir dari sistem ini dipatuhi karena diterapkan secara konsisten, tidak memihak, dan sesuai dengan hukum yang ada. Di Indonesia, sistem ini tercermin dalam penerapan undang-undang yang berlaku di seluruh wilayah negara.
- Legitimasi hukum modern, menurut Weber, idealnya berada pada bentuk legal-rasional ini, di mana hukum dihormati bukan karena karisma pemimpin atau kebiasaan tradisional, tetapi karena dianggap sebagai hasil dari prosedur hukum yang rasional dan sah.
2. Rasionalitas Formal dalam Hukum
Weber memperkenalkan konsep rasionalitas formal sebagai ciri dari sistem hukum yang matang. Dalam konsep ini, hukum tidak dipengaruhi oleh emosi atau nilai-nilai moral tertentu; sebaliknya, hukum harus logis, konsisten, dan dapat diterapkan secara umum. Untuk Weber, sistem hukum yang ideal adalah yang:
- Menggunakan aturan yang bersifat umum dan diterapkan sama bagi semua orang tanpa melihat konteks atau kepentingan tertentu.
- Dijalankan secara birokratis, dengan staf administrasi yang memiliki tugas khusus dalam penegakan hukum.
- Tidak bergantung pada interpretasi moral pribadi; ini artinya hukum yang ditegakkan lebih berfokus pada aturan formal daripada etika atau moralitas individu.
Contoh konkret dalam penerapan hukum di Indonesia adalah pengadilan modern yang mengandalkan bukti, prosedur yang sah, dan pengambilan keputusan yang didasarkan pada undang-undang tanpa dipengaruhi oleh nilai-nilai moral atau kepentingan politik. Rasionalitas formal ini, menurut Weber, adalah yang paling mungkin menciptakan rasa kepastian hukum.
3. Birokrasi dan Sistem Hukum
Weber melihat birokrasi sebagai bagian tak terpisahkan dari rasionalitas formal. Menurutnya, birokrasi adalah struktur yang efisien untuk melaksanakan hukum karena bersifat sistematis, hierarkis, dan didasarkan pada keahlian teknis. Dalam sistem birokrasi:
-Setiap posisi memiliki fungsi spesifik yang diatur dengan jelas.
-Penyelenggaraan hukum dipimpin oleh staf yang profesional dan dipilih berdasarkan kompetensi, bukan hubungan pribadi atau kekuasaan karismatik.
-Aturan diterapkan secara impersonal, sehingga tidak ada diskriminasi atau penanganan kasus yang bias.
Sistem birokrasi ini menjadi fondasi dalam sistem hukum negara modern, termasuk Indonesia, yang mengandalkan badan pengadilan, polisi, dan lembaga penegak hukum lainnya untuk menjalankan fungsi hukum secara obyektif.
Pendapat tentang Pemikiran Max Weber
-Pemikiran Weber tentang rasionalitas hukum masih sangat relevan di era modern ini, di mana banyak negara, termasuk Indonesia, berusaha menciptakan sistem hukum yang lebih efisien dan transparan. Kebutuhan akan hukum yang jelas dan terstruktur menjadi semakin penting untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan.
-Konsep birokrasi Weber menunjukkan pentingnya prosedur dalam pengambilan keputusan hukum. Namun, dalam praktiknya, birokrasi dapat menjadi lambat dan berbelit-belit. Di masa sekarang, banyak institusi hukum di Indonesia masih menghadapi tantangan birokrasi yang dapat menghambat akses keadilan. Oleh karena itu, reformasi birokrasi menjadi penting untuk menciptakan sistem hukum yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
-Kita perlu menciptakan keseimbangan antara efisiensi birokrasi dan pencapaian keadilan. Dalam beberapa kasus, prosedur yang terlalu ketat dapat mengabaikan konteks sosial dan kemanusiaan. Oleh karena itu, pendekatan Weber perlu dipadukan dengan perspektif yang lebih sensitif terhadap isu-isu keadilan sosial.
Analisis Pemikiran Weber terhadap Perkembangan Hukum Indonesia
-Pembentukan Undang-Undang: Proses legislasi di Indonesia mengikuti prinsip-prinsip rasionalitas formal di mana undang-undang dibuat melalui proses formal yang melibatkan partisipasi legislatif, dengan tujuan agar setiap aturan yang diterbitkan mendapatkan legitimasi publik.
-Penerapan Hukum Positif: Sejalan dengan pemikiran Weber tentang legal-rasional, hukum di Indonesia didasarkan pada hukum positif yang dituangkan dalam undang-undang. Sistem ini memastikan bahwa hukum bersifat impersonal dan rasional, bukan sekadar berdasarkan norma atau nilai moral individu tertentu.
-Birokrasi dan Administrasi Hukum: Sistem hukum di Indonesia mengandalkan struktur birokrasi untuk menjalankan hukum secara konsisten dan obyektif. Pengadilan, kejaksaan, dan lembaga kepolisian berfungsi sebagai bagian dari mekanisme birokrasi yang diatur secara hierarkis untuk penegakan hukum yang adil.
B. Dalam Jurnal “Pemahaman Terhadap Asas Kepastian Hukum Melalui Konstruksi Penalaran Positivisme Hukum”
Herbert Lionel Adolphus Hart (H.L.A. Hart) adalah seorang filsuf hukum dan akademisi asal Inggris yang dianggap sebagai salah satu tokoh terpenting dalam filsafat hukum abad ke-20. Ia lahir pada 18 Juli 1907 di Harrogate, Inggris, dan meninggal pada 19 Desember 1992. Hart dikenal karena kontribusinya yang signifikan dalam mengembangkan teori positivisme hukum modern.
Pokok pokok pemikirannya:
a. Teori Hukum Positif: Seperangkat aturan yang diakui oleh masyarakat melalui praktik sosial. Menurutnya, hukum tidak harus terkait dengan moralitas, melainkan merupakan seperangkat perintah yang berasal dari manusia dan berfungsi untuk mengatur masyarakat.
b. Rule of Recognition: Aturan dasar yang mengidentifikasi hukum yang sah dalam suatu sistem hukum. Ini memungkinkan masyarakat untuk mengetahui hukum mana yang berlaku dan harus ditaati.
c. Kritik terhadap John Austin: HLA Hart mengkritik teori hukum John Austin, yang melihat hukum sebagai perintah dari penguasa yang didukung oleh ancaman sanksi. Ia berpendapat bahwa hukum lebih dari sekadar perintah, hukum adalah sistem aturan yang mencakup peraturan primer (yang mengatur tindakan) dan peraturan sekunder (yang mengatur bagaimana hukum dibuat dan diubah).
Pendapat tentang Pemikiran H.L.A. Hart
-Pemikiran Hart tentang positivisme hukum tetap memiliki pengaruh besar dalam memahami hukum sebagai sistem aturan. Namun, di masa sekarang, ada kesadaran yang meningkat tentang pentingnya mengaitkan hukum dengan nilai-nilai moral dan etika. Masyarakat kini lebih kritis terhadap undang-undang yang dianggap tidak adil, sehingga mendorong perlunya integrasi nilai-nilai moral dalam sistem hukum.
-Pemisahan antara aturan primer dan sekunder dalam pemikiran Hart memberikan kerangka kerja yang berguna untuk memahami hukum. Namun, dalam praktiknya, kita sering melihat ketidakselarasan antara hukum yang ada (aturan primer) dan implementasinya (aturan sekunder), yang dapat menyebabkan ketidakadilan. Oleh karena itu, penting untuk mengevaluasi bagaimana aturan-aturan ini diimplementasikan dalam konteks sosial yang lebih luas.
-Pemikiran Hart, yang menekankan pemisahan antara hukum dan moralitas, menjadi tantangan di era sekarang. Masyarakat semakin menginginkan agar hukum tidak hanya legal, tetapi juga adil dan etis. Ada dorongan untuk meninjau kembali undang-undang yang ada, terutama yang dianggap tidak mencerminkan keadilan atau merugikan kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat.
Analisis perkembangan hukum berdasarkan pemikiran Hart
1. Hart berpendapat bahwa hukum adalah seperangkat aturan yang diakui secara sosial dan diimplementasikan oleh lembaga tertentu. Di Indonesia, perkembangan hukum positif terlihat melalui pembentukan undang-undang dan peraturan yang dihasilkan oleh lembaga legislatif. Hukum positif di Indonesia berkembang seiring dengan reformasi hukum yang dimulai pada akhir Orde Baru, di mana banyak undang-undang baru diadopsi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan perubahan sosial.
2. Hart membedakan antara aturan primer (yang mengatur perilaku) dan aturan sekunder (yang memberikan prosedur untuk membuat, mengubah, dan menegakkan aturan primer). Di Indonesia, aturan primer dapat dilihat dalam berbagai undang-undang yang mengatur aspek kehidupan sosial dan ekonomi. Aturan sekunder, seperti peraturan pemerintah dan instruksi presiden, berfungsi untuk memastikan penerapan dan penegakan hukum, yang sering kali mengalami tantangan dalam implementasinya.
3. Menurut Hart, kepatuhan terhadap hukum tidak hanya berdasarkan ancaman sanksi, tetapi juga pada pengakuan akan validitas hukum tersebut. Di Indonesia, tantangan muncul dalam hal kepatuhan terhadap hukum, di mana banyak masyarakat merasa bahwa hukum tidak selalu diterapkan secara adil. Kasus-kasus korupsi dan ketidakadilan dalam sistem hukum sering kali merusak kepercayaan publik terhadap hukum.
4. Hart menekankan pentingnya reformasi hukum untuk menanggapi perubahan sosial. Indonesia, setelah reformasi 1998, mengalami banyak perubahan dalam sistem hukumnya, termasuk penguatan lembaga peradilan dan peningkatan akses terhadap keadilan. Namun, meskipun ada upaya reformasi, masih ada tantangan dalam mengatasi masalah-masalah struktural, seperti birokrasi dan korupsi.
5. Dalam konteks Indonesia, terdapat ketegangan antara hukum adat dan hukum positif. H.L.A. Hart mengakui bahwa hukum tidak terlepas dari konteks sosialnya. Di Indonesia, keberadaan hukum adat sering kali bersinggungan dengan hukum nasional, menciptakan tantangan dalam menentukan norma mana yang berlaku. Ini menunjukkan pentingnya dialog antara berbagai sistem hukum untuk menciptakan harmoni dalam penegakan hukum.
Nama: Alya Dhaya Rizky
NIM: 222111147
Kelas: HES 5D
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H