Mohon tunggu...
AL Wijaya
AL Wijaya Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis "Target Pertama", "As You Know", "Kembali ke Awal"

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Batas (Bab 6)

4 Juni 2019   22:46 Diperbarui: 4 Juni 2019   22:59 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sedari tadi Ari tak henti-hentinya tertawa terbahak-bahak. Ia masih teringat ekspresi wajah Pak Ketua RT saat Melani menyodorinya uang. Sangat beringas. Sampai-sampai Ari harus menahan tawa selama mereka di sana.

"Aku benar-benar tak kuat melihat wajahnya yang seketika berubah drastis." ujar Ari sambil berjalan menyusuri jalanan berbatu di samping rel kereta api.

"Aku sudah menduganya. Tidak ada orang yang tidak menyukai uang." kata Melani.

Mereka berdua berjalan beriringan di bawah sinar matahari senja. Ari berjalan di sebelah kanan rel kereta, sedangkan Melani di sebelah kiri. Mereka berdua terus berjalan sembari bersenda gurau dan mengobrol satu sama lain.

"Beruntung ia mau buka mulut soal Bapak Satrio ini." kata Melani.

"Ya. Kita hanya perlu mencarinya lalu menemukan ayahmu." sambung Ari.

Langit telah berwarna jingga kemerahan. Perlahan-lahan matahari mulai tenggelam. Burung-burung berterbangan di langit untuk kembali ke sarang mereka.

Ari dan Melani masih menyusuri lintasan kereta yang sepertinya tak berujung. Setelah mendapat secercah informasi keberadaan ayah Melani dari ketua RT tadi, mereka langsung melacaknya. Hari ini juga mereka bertekad menemui Satrio yang menurut informasi dari ketua RT tadi adalah sahabat dekat ayah Melani.

Sedikit-sedikit Melani curi pandang ke arah Ari. Ia tak salah menduga. Ari adalah orang yang baik. Dari sekian orang tak baik di Artapuri, Melani sungguh beruntung bisa bertemu dengan Ari. Yah, meski awalnya ia sempat menolak untuk dimintai tolong.

"Oh ya ngomong-ngomong kau usia berapa?" tanya Melani.

"Seminggu lagi aku berusia 20 tahun." jawab Ari.

"Pantas kau terlihat muda, ternyata kau benar-benar masih kecil." gumam Melani sambil tersenyum.

"Kalau usiamu?" Ari balik bertanya.

Melani langsung menoleh ke arah Ari. "Tidak sopan menanyakan usia wanita."

Ari hanya tersenyum. Dari wajahnya, Ari bisa menebak usia Melani sudah 30 tahunan. Mungkin Melani malu mengakui bahwa dirinya sudah tua.

Ari menendang batuan kerikil yang menghalangi jalannya. Batu tersebut jatuh menggelinding di atas tanah.

"Bagaimana dengan orang tuamu? Apa mereka tidak marah sebab 2 hari ini kau pulang telat karena membantuku?" tanya Melani.

Kali ini Ari terdiam. Ia tak langsung menjawab pertanyaan Melani. Sebenarnya ia tak ingin membicarakan kematian kedua orang tuanya kepada siapapun itu, kecuali kepada Yandi.

Melihat ekspresi Ari yang langsung termenung membuat Melani merasa bersalah. Ia pun sadar pertanyaannya terlalu sensitif.

"Oh... Maafkan aku..." Melani minta maaf.

"Tidak apa. Hanya saja aku jarang membicarakan mereka lagi." Ari menghela nafas. Sebelumnya Ari sangat enggan sekali bercerita mengenai orang tuanya. Namun sepertinya tak ada salahnya untuk berbagi cerita pada Melani.

Toh tadi ia juga sudah bercerita tentang hidupnya. Jadi akan impas bila Ari menceritakan tentang hidupnya juga. "Kedua orang tuaku telah meninggal."

"Maaf.." ujar Melani lirih.

"Tak apa. Mereka meninggal hampir 3 tahun yang lalu. Kecelakaan. Tertabrak kereta api." kata Ari.

"..." Melani menutup mulutnya dengan kedua tangan. Ia cukup syok mendengar cerita Ari.

Pandangan Ari tertuju pada lintasan rel kereta. Tempat dimana kedua orang tuanya meregang nyawa. Hati Ari terasa getir dan pilu bila harus mengingat hal itu.

"Aku turut berduka, Ari... Lalu sekarang kau tinggal dengan siapa?" tanya Melani.

"Aku tinggal dengan tante dan omku." Ari menarik nafas panjang. "Hampir 3 tahun setelah kejadian itu tapi aku masih tak dapat melupakannya. Aku seolah masih terjebak dalam kenangan masa lalu. Itu sebabnya aku selalu bermain piano di kafe seperti yang kau lihat waktu itu, itu satu-satunya cara agar aku dapat kembali merasakan kehadiran ibuku di dekatku. Ia yang mengajariku bermain piano."

Wajah Ari berusaha untuk tersenyum. Namun dalam hati ia hancur. Ia ingin menangis. Namun air matanya seolah kering. Hatinya seperti teriris sakit. Melani menatap Ari dengan penuh prihatin.

"Aku sadar, setelah mereka pergi hidupku menjadi berantakan. Sehari-hari aku hanya bermain piano di bar Yandi. Malam hari aku sering mabuk hingga tanteku selalu merasa kerepotan karena ulahku." Ari jeda sejenak. Ia nampak memikirkan sesuatu.

"Mengapa kau tidak mencoba untuk melanjutkan studimu saja?" tanya Melani.

"Tante dan omku, mereka telah mendaftarkanku di sekolah kedokteran agar aku dapat menjadi dokter seperti kedua orang tuaku. Namun bukan itu yang kumau. Aku ingin mengambil jurusan musik, namun mereka melarangku. Mereka mengatakan bahwa musik tidak akan membuatku menjadi orang berguna. Patokan mereka selalu ayah dan ibuku yang menjadi dokter terkenal di Artapuri. Semua orang menyanjung mereka. Tapi aku bukan kedua orang tuaku. Aku punya bakatku sendiri." Mimik wajah Ari berubah kecewa. Dalam hatinya ia menyimpan rasa kesal pada Rita dan Tomas, terutama Rita. "Mungkin itu sebabnya aku memberontak. Aku tidak bisa melakukan apa yang kumau sebab sesuai wasiat orang tuaku, tante dan omku masih akan menjadi waliku sampai aku berusia 20 tahun."

Melani seperti tidak bisa berkata-kata lagi. Hidup Ari ternyata juga rumit. Di usianya yang muda ia telah menanggung banyak beban di atas pundaknya.

"Kadangkala aku ingin kabur saja. Ingin pergi menjauh dari kota terkutuk ini. Kau tahu, sebenarnya aku juga tak suka tinggal di sini. Orang-orangnya sangat tidak ramah." kata Ari. "Namun aku seperti kena kutukan. Tak peduli betapa besarnya keinginanku untuk pergi, ada saja hal yang membuatku untuk bertahan kembali di sini."

Kali ini Ari menendang batu yang berukuran lebih besar lagi. Ia meluapkan emosi yang selalu terpendam dalam hatinya. Melani masih terdiam melihat tingkah Ari.

"Kau punya hidup yang juga sulit... Lebih seringlah berdoa kepada Tuhan. Ia pasti akan membukakan jalan dan damai dalam hidupmu." kata Melani.

Seketika Ari tersenyum meremehkan. "Aku tak pernah lagi berdoa setelah kematian orang tuaku. Aku pun kini meragukan keberadaannya. Kalau ia benar ada, mengapa ia membiarkan orang tuaku meninggal? Mengapa ia membiarkan orang-orang kota ini jauh dari sifat toleransi?"

Melani menghela nafas. "Aku tak tahu. Mungkin Ia ingin kita mencari tahu jawabannya. Aku percaya, setiap apapun yang terjadi dalam hidup kita, pasti ada tujuannya." kata Melani.

"Kau benar. Sampai sekarang aku tak tahu tujuannya mengapa orang tuaku meninggal."

Melani melirik Ari sekali lagi. Kepalanya tertunduk lemas. Ia terlihat murung. Melani pun meraih lalu menggenggam tangan Ari. Ari langsung menoleh ke arah Melani karena terkejut tangannya dipegang.

"Mulai saat ini, kita harus saling menguatkan satu sama lain. Kalau kau punya masalah, aku akan membantumu menyelesaikannya. Begitu juga sebaliknya." ucap Melani sambil tersenyum manis.

Senyum di bibir Melani sedikit banyak membuat hati Ari menjadi lebih teduh. Setelah dilanda gunda gulana tak menentu akibat nasibnya yang tak jelas, Ari menemukan secercah harapan pada Melani. Entah mengapa wanita satu ini berhasil membuka pintu hati Ari yang kaku.

Ari senang bisa bertemu dengan Melani. Ia merasa wanita ini telah dapat memberi warna baru dalam hidupnya. Sikapnya yang periang. Tingkahnya yang terkadang dinilai Ari terlalu kekanakan dibanding wanita yang terlihat seusianya. Semua membuat Ari nyaman perlahan-lahan.

Keduanya berjalan masing-masing di sisi luar kereta sambil terus berpegangan tangan. Terlihat matahari semakin menghilang. Hingga akhirnya cahayanya hilang sama sekali dan tergantikan gelapnya sang malam.

---

Di hadapan Ari dan Melani telah duduk Satrio, orang yang disinyalir sebagai teman dekat ayah Melani. Perawakannya kurus. Kulitnya berwarna sawo matang. Di rambutnya sudah mulai beberapa helai uban.

"Jadi, kau anaknya Soe Ping?" tanya Satrio.

Melani mengangguk dengan mantap. "Benar."

"Akhirnya kita bertemu lagi..." Satrio terlihat sangat gembira. Melani dan Ari memasang wajah bingung.

"Anda mengenal papa saya?" tanya Melani lagi.

"Tentu. Mungkin kau tak ingat, tapi aku juga ikut membantu ayahmu menjaga rumah saat mereka berniat membakarnya." terang Satrio. "Soe Ping adalah orang yang baik. Mereka semua sudah gila. Mereka terhasut isu yang diciptakan penguasa saat itu! Benar-benar jahanam dan terkutuk para sekutu orde baru yang busuk! Aku rasa mereka menumbalkan orang Tiong Hoa untuk menutupi kasus korupsi yang mereka lakukan turun temurun."

Melani mulai gusar.

"Ketika itu keadaan sangat kacau. Orang-orang mengincar.. maaf orang keturunan Tiong Hoa lalu menjarah semua harta mereka. Tak terkecuali keluargamu. Saat itu kau dibawa ibumu kabur dengan bantuan beberapa tetangga. Sedangkan ayahmu bersikeras untuk tinggal di rumahnya. Katanya bagaimana pun juga ia harus mempertahankan rumah itu karena rumah tersebut adalah kenangan bagi keluarga kalian." Satrio menarik nafas jeda kembali. "Namun masa semakin sulit dibendung. Kami pun terpukul mundur. Mereka berhasil menjarah barang-barang serta membakar rumahmu."

"Lalu kemana perginya papa saya?" tanya Melani dengan ekspresi penuh harap.

Seketika wajah Satrio berubah. "Sayangnya setelah kejadian itu pula kami terpisah. Berita yang kudengar, ia sempat dirawat di Rumah Sakit Daerah akibat menderita luka tusuk di tubuhnya. Namun setelah itu ia menghilang. Kukira setelah itu ia pergi menjemput istri dan anaknya."

Melani dan Ari saling toleh.

"Tidak. Papa saya sama sekali tidak mencari saya dan mama saya. Saya tak tahu dimana keberadaannya sekarang. Maka dari itu kami mencarinya di kota ini." kata Melani.

Satrio terlihat berpikir sejenak. "Bagaimana kalau kau coba telusuri Rumah Sakit Daerah. Siapa tahu mereka punya data mengenai ayahmu dan kemana perginya beliau. Walaupun sudah berapa puluh tahun lamanya, namun siapa tahu akan ada hasil..." sarannya.

Pencariannya belum berhasil membuat Melani makin putus asa. Terlihat dari guratan di wajahnya yang nampak sedih. Melani menjadi sangsi akan dapat menemukan ayahnya.

Ari yang melihat itu segera menggenggam tangan Melani. Ia berusaha menguatkan wanita itu. Melani sedikit terkejut. Ia memandangi tangan Ari yang menggenggam tangannya. Sedetik kemudian ia menoleh kepada Ari. Terlihat olehnya, Ari nampak tersenyum tipis.

---

Saat kendaraan berhenti di belakang garis zebra cross, Ari segera menyebrang jalan. Ia kembali berjalan di atas trotoar menuju rumahnya.

Ternyata mengobrol bersama Melani membuat hati Ari menjadi lebih tenang. Ia pikir takkan ada orang yang mengerti permasalahannya. Namun dengan sabar Melani mendengarkan semua curhatan Ari. Ari jadi merasa beban hidupnya berkurang setelah cerita kepada Melani.

Oleh karena itu Ari makin berjanji untuk membantu Melani menemukan ayahnya. Meski sulit. Namun ia takkan menyerah. Apalagi saat ini mereka sudah punya petunjuk baru mengenai keberadaan ayah Melani. Mereka berdua berencana besok pagi mendatangi Rumah Sakit Daerah Artapuri untuk menggali informasi lebih dalam lagi.

Langkah kaki Ari akhirnya tiba di rumah. Dengan gerakan pelan-pelan Ari membuka pintu, masuk ke dalam rumah, lalu tak lupa menguncinya kembali. Ia berjalan melewati pintu ruang makan yang terbuka lebar.

Ternyata Rita sedang terlelap sambil duduk di kursi meja makan. Kepalanya ia baringkan di atas permukaan meja. Rita terlihat kelelahan.

Ari mengamati wajah Rita yang nampak kuyu. Rita nampak begitu lelah. Coba saja lihat keadaan dapur di sekelilingnya, penuh dengan piring kotor dan barang-barang yang belum dibersihkan. Setiap hari Rita pasti harus menjalani hidupnya yang berat ditambah harus mengurus orang keras kepala macam Ari. Ari pun merasa iba pada Rita.

Ingin rasanya Ari berubah. Mungkin ini sudah saatnya untuk melangkah ke hal yang lebih baik. Ari tersenyum kecil.

Tak ingin membangunkan Rita, Ari pun segera menaiki tangga untuk masuk ke kamarnya.

Namun suara langkah kaki Ari justru membuat Rita terjaga.

"Ari?"

Rita menoleh ke arah kiri dan kanan. Ternyata tak ada orang. Sudah berapa lama ia tertidur? Rita bertanya dalam hati.

Rita menoleh ke arah bak cuci. Di sana terdapat tumpukan piring dan perabot yang belum dicuci. Rita sudah tak sanggup untuk mengerjakan hak itu lagi. Ia sangat ingin istirahat.

Akhirnya dengan gerakan yang lambat, Rita bangkit dari kursi. Ia memilih untuk berjalan kembali ke kamarnya lalu masuk ke dalam. Di atas tempat tidur, ia melihat Tomas telah terlelap. Rita hanya tersenyum sesaat lalu bergabung dengan suaminya untuk masuk ke dunia mimpi.

---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun