Sedari tadi Ari tak henti-hentinya tertawa terbahak-bahak. Ia masih teringat ekspresi wajah Pak Ketua RT saat Melani menyodorinya uang. Sangat beringas. Sampai-sampai Ari harus menahan tawa selama mereka di sana.
"Aku benar-benar tak kuat melihat wajahnya yang seketika berubah drastis." ujar Ari sambil berjalan menyusuri jalanan berbatu di samping rel kereta api.
"Aku sudah menduganya. Tidak ada orang yang tidak menyukai uang." kata Melani.
Mereka berdua berjalan beriringan di bawah sinar matahari senja. Ari berjalan di sebelah kanan rel kereta, sedangkan Melani di sebelah kiri. Mereka berdua terus berjalan sembari bersenda gurau dan mengobrol satu sama lain.
"Beruntung ia mau buka mulut soal Bapak Satrio ini." kata Melani.
"Ya. Kita hanya perlu mencarinya lalu menemukan ayahmu." sambung Ari.
Langit telah berwarna jingga kemerahan. Perlahan-lahan matahari mulai tenggelam. Burung-burung berterbangan di langit untuk kembali ke sarang mereka.
Ari dan Melani masih menyusuri lintasan kereta yang sepertinya tak berujung. Setelah mendapat secercah informasi keberadaan ayah Melani dari ketua RT tadi, mereka langsung melacaknya. Hari ini juga mereka bertekad menemui Satrio yang menurut informasi dari ketua RT tadi adalah sahabat dekat ayah Melani.
Sedikit-sedikit Melani curi pandang ke arah Ari. Ia tak salah menduga. Ari adalah orang yang baik. Dari sekian orang tak baik di Artapuri, Melani sungguh beruntung bisa bertemu dengan Ari. Yah, meski awalnya ia sempat menolak untuk dimintai tolong.
"Oh ya ngomong-ngomong kau usia berapa?" tanya Melani.
"Seminggu lagi aku berusia 20 tahun." jawab Ari.