Mohon tunggu...
AL Wijaya
AL Wijaya Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis "Target Pertama", "As You Know", "Kembali ke Awal"

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Batas (Bab 2)

4 Juni 2019   17:59 Diperbarui: 4 Juni 2019   18:03 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Sebutir telur dipecahkan diatas wajan yang telah diolesi mentega. Telur tersebut mulai dimasak. Terlihat gelembung-gelembung kecil bergejolak di permukaannya.

Ting...

Suara mesin pemanggang roti berbunyi. Dua lembar roti berwarna kecoklatan muncul ke permukaan. Melihat itu, Rita yang sibuk memasak telur hendak mengambilnya.

"Biar aku yang ambil. Kau masaklah telur itu jangan sampai gosong." kata Tomas sambil mengeluarkan roti dari toaster sebelum Rita melakukannya. Rita hanya tersenyum melihat tingkah suaminya. Tomas membawa dua lembar roti tersebut kembali ke atas piring saji di atas meja makan.

Tanpa sengaja, Tomas melirik ke arah pintu ruang makan. Ia melihat Ari berdiri di sana dengan masih mengenakan pakaiannya kemarin. Wajahnya terlihat kusam. Rambutnya acak-acakan. Sepertinya ia baru bangun tidur.

"Oh hai, Ari! Selamat pagi! Bergabunglah bersama kami! Kita punya sarapan spesial pagi ini!" kata Tomas dengan penuh semangat.

Ari melirik Rita yang sedang membuat telur dadar. Rita yang sedari tadi menatap Ari langsung kembali fokus memasak.

Dengan langkah yang ragu, Ari duduk di kursi meja makan di samping Tomas. Ia melirik Tomas yang terlihat gembira. Ya, Tomas memang selalu terlihat gembira kapanpun itu.

"Jadi Ari, apa yang akan kau lakukan di akhir pekan nanti?" tanya Tomas berbasa-basi.

"Ee..." Ari kembali melirik Rita. Kali ini Rita benar-benar sibuk memasak. "Tak ada yang spesial. Mungkin aku akan kembali bermain di Royale Bar."

Rita langsung melirik Ari. Sedetik kemudian ia kembali memasak.

Tomas mulai terlihat salah tingkah. Ia berusaha mengalihkan pembicaraan. "Mengapa kau tak mencoba untuk tinggal di rumah? Kita bisa menonton pertandingan Liga Inggris seperti waktu kau kecil dulu. Minggu ini jadwal Liverpool melawan West Ham United."

"Aku tak suka bola. Lagipula, Liverpool tim yang payah." kata Ari tanpa sensor.

Tomas sudah kehabisan kata-kata. Ari memang orang yang bicara apa adanya. Ia tidak pernah menyaring kata-kata yang keluar dari mulutnya. Lebih parahnya lagi sejak kejadian meninggalnya orang tua Ari. Perkataan Ari cenderung melukai hati seseorang.

"Kau boleh bermain musik di bar Yandi asal kau tidak mabuk lagi." kata Rita sambil meletakkan telur dadar buatannya di atas piring di meja makan.

Ari terlihat tak terima. "Aku tetap akan bermain di Royale apapun keadaannya."

"Dengar, aku tak ingin menjemputmu untuk ke-33." kata Rita dengan nada yang lebih tinggi sambil meletakkan wajan di atas tempat cuci piring.

"Aku hanya mabuk 31 kali. Mengapa kau melebih-lebihkan?" balas Ari.

"Yandi telah menghitungnya. Kau jangan bohong lagi!" kata Rita setengah berteriak.

"Aku akan tetap bermain di sana!" Tomas berbicara lebih keras lagi.

Menyadari suasana mulai panas, Tomas berusaha melerai. "Bagaimana kalau begini saja? Rita, biarkanlah Ari bermain piano. Itu hobinya. Ari, kau boleh bermain di bar Yandi. Tapi jangan sampai mabuk. Bagaimana? Semuanya beres kan?"

Ari dan Rita tidak bersuara sama sekali.

"Nah sekarang lebih baik kita sarapan dulu. Ayo!" Tomas mengajak Rita untuk bergabung di meja makan.

Rita pun duduk berhadapan dengan Ari dan suaminya. Ari membuang muka. Ia belum mau memandangi Rita. Rita pun demikian.

"Sebelum kita makan, kita berdoa dulu. Permisi ya, Ari." Tomas meminta izin pada Ari. "Bapa yang mahamurah, kami bersyukur atas makanan yang Kau sediakan bagi kami sebagai tanda kemurahan dan penyelenggaraan-Mu. Berkatilah makanan ini agar berguna bagi kesehatan kami"

Tomas dan Rita mulai mengucap doa dalam iman Katolik. Ari hanya diam sambil memperhatikan om dan tantenya. Mereka berdua berdoa dengan sangat khusuk.

Rita dan Tomas memang memiliki kepercayaan yang berbeda dengan keluarga Ari. Ari dan keluarganya pemeluk Islam. Meski berbeda keyakinan namun mereka tetap harmonis. Mereka tak pernah mempermasalahkan perbedaan tersebut. Begitu pula dengan Ari. Bahkan mungkin ia sekarang tak peduli lagi dengan urusan agama. Sejak kedua orang tuanya tidak ada, Ari sudah tak pernah lagi bersembahyang.

"Semoga perjamuan ini memupuk semangat persaudaraan di antara kami, dan mengingatkan kami akan Yesus Kristus, yang telah menjadikan perjamuan sebagai sarana kehadiran-Nya di tengah kami, para murid-Nya. Dialah Tuhan, pengantara kami, kini dan sepanjang masa. Amin."

Rita dan Tomas selesai berdoa.

"Nah, ayo makan!" ajak Tomas.

Mereka bertiga pun menyantap sarapan dengan tenang. Saking tenangnya, sampai tak terdengar suara satupun di antara mereka. Mungkin lebih baik berdiam diri daripada mendengar Ari dan Rita bertengkar.

---

Selepas Rita dan Tomas berangkat kerja, Ari tinggal di dalam rumah. Ia membereskan sisa-sisa makanan sarapan tadi. Selanjutnya ia mencuci semua piring dan perabotan hingga bersih.

Sudah menjadi tugas sehari-hari Ari untuk membersihkan rumah saat Rita dan Tomas pergi. Setelah lulus sekolah hampir 3 tahun yang lalu, Ari masih belum melanjutkan studinya ke perguruan tinggi. Seperti yang diketahui semua orang. Ia lebih memilih menjadi pianis di Royale Bar.

Tentu hal itu yang membuat Rita pusing. Padahal Rita ingin menguliahkan Ari di jurusan kedokteran agar kelak ia dapat menjadi dokter ahli seperti ayah dan ibunya. Namun Ari menolak dengan berbagai alasan.

Jadilah Ari seperti sekarang ini. Belum menentukan jalan hidupnya. Pekerjaannya sekarang adalah menjadi pianis amatir sambil mabuk-mabukan di malam hari.

Setelah selesai mengerjakan tugasnya, Ari kembali duduk di sofa ruang tamu seperti biasanya. Ia menyalakan televisi dengan volume yang besar. Namun sudah barang tentu Ari tidak menontonnya. Ia hanya ingin mendengar suara lain agar dirinya tidak merasa kesepian.

Mata Ari menatap kosong ke arah layar televisi. Pikirannya melayang-melayang. Ia mulai mempertanyakan hidupnya sendiri. Apa yang salah dengan dirinya? Mengapa hidupnya seperti ada yang hilang?

Ari pun mengambil keputusan tegas. Ia segera meraih remote TV lalu mematikannya.

---

Ari berjalan di atas trotoar. Ia sudah memutuskan. Hari ini ia akan pergi ke Royale Bar. Ari benar-benar tak tahan bila terus berada di rumah seorang diri. Ia perlu teman untuk mengobrol. Dan Yandi adalah orang yang tepat bagi Ari.

Beruntung jarak antara rumahnya dengan Royale Bar tak terlalu jauh. Kota Artapuri bukanlah kota yang besar. Ia bisa dijelajahi dengan berjalan kaki. Oleh karena itu, selain alasan ia tak memiliki kendaraan pribadi, Ari cukup senang berjalan kaki kemana pun ia pergi.

Tak sampai 15 menit ia berjalan, Ari sudah tiba di Royale Bar. Ia pun segera masuk ke dalam bar. Keadaannya belum terlalu ramai. Hanya ada satu dua pengunjung saja.

Di meja bartender, Yandi terlihat sedang membersihkan mejanya. Ari pun mendatangi Yandi. Meilhat Ari datang, Yandi menyapa Ari.

"Selamat pagi, Ari. Bagaimana malammu?" tanya Yandi.

"Apakah kau menelpon tanteku kemarin malam?" Ari malah bertanya hal lain.

Yandi mengangkat kedua bahunya. "Kau mabuk. Kepada siapa aku harus menelpon?"

Ari duduk di kursi meja bartender. Ia menggeleng. Yandi melihat ekspresi wajah Ari yang nampak tak pasti.

"Apa ia marah?" tanya Yandi lagi.

"Menurutmu?" Ari balik bertanya.

Yandi paham. Rita pasti memaki Ari habis-habisan. Mereka pasti baru saja bertengkar hebat. "Kau tahu Ari, sewaktu aku seusiamu, aku sudah mulai bekerja di bar." kata Yandi sambil membersihkan alat pembuat minuman.

Mata Ari melirik Yandi, mengira-ngira apa yang akan Yandi ceritakan. "Jadi bartender?"

"Tentu. Aku belajar bagaimana meracik minuman dari seseorang yang berjasa bagi hidupku."

"Apa orang tuamu tahu?"

"Tentu. Mereka marah besar padaku. Bahkan mereka sempat mengusirku dari rumah dan mengatakan padaku bahwa aku ini anak yang sangat bandel." kata Yandi. "Tapi kau tahu, hidupku berada di dunia ini. Aku tak bisa lepas dari itu."

"Lalu?" Ari menjadi penasaran.

"Aku bekerja dari bar ke bar tiap malam hingga aku menemukan passionku sebagai bartender." kata Yandi sambil meletakkan sebuah botol minuman pada tempatnya.

Ari mengangguk mendengarkan cerita Yandi.

"Ari, kulihat kau kebingungan dalam hidupmu. Apa kau yakin punya tujuan yang jelas?"

Ari tak bisa menjawab pertanyaan Yandi. Ia terdiam sambil memikirkannya. Apa tujuan hidupnya? "A... Aku tak tahu."

"Usia-usia seperti dirimu ini adalah usia saat kamu menentukan jalan hidupmu. Ada beberapa pilihan krusial yang harus segera kau tentukan saat ini juga. Sebab jika kau melewatkan momen ini, kau akan kehilangan arah dalam sisa hidupmu. Percaya padaku."

"Maksudmu?" Ari ingin Yandi memperjelas kata-katanya.

"Aku tak menyalahkanmu, Ari. Aku juga tahu apa yang kau alami. Semua orang di Artapuri tahu. Kau melewati cobaan yang berat dalam hidupmu. Tapi aku harap itu tidak membuatmu berhenti di satu titik. Kau harus terus maju. Melanjutkan harimu. Membuat pilihan-pilihan istimewa dalam hidupmu."

"Bagiku sangat sulit sekali keluar dari keadaan ini. Kau tahu? Rasanya seperti berenang melawan arus ombak yang besar. Tak peduli seberapa kuat kau mengayuh tanganmu, mereka akan selalu menghempaskanmu kembali ke posisi semula."

"Itu mungkin masalahmu. Kau mencoba melawan arus. Mengapa kau tidak coba berenang mengikuti arus? Ada kalanya memang kita tak bisa melawan kehendak Yang Maha Kuasa. Kalau memang jalan yang kau ambil susah mengapa kau tak coba ambil jalan yang lain?"

Ari terlihat berpikir. "Akan kucoba."

"Nah begitu!" Yandi menepuk pundak Ari. "Kau masih muda. Umur 20 pun belum. Kau harus menemukan passion dalam dirimu dan hiduplah dengannya."

Ari mengangguk. Ia melirik piano yang terletak di sudut ruangan Royale. Sejenak Ari memiliki ide. Ia berbalik menghadap Yandi.

"Aku rasa aku telah menemukan passionku." kata Ari sambil memberi kode pada Yandi mengenai pianonya.

Yandi tersenyum. "Maka lakukanlah..."

Atas izin Yandi, Ari berjalan menuju piano tersebut. Ia duduk di depan benda itu. Matanya memperhatikan setiap jengkal tuts berwarna hitam dan putih yang berbaris rapi dari ujung ke ujung. Ari pun meregangkan jemarinya dan mulai memosisikan nya di atas tuts-tuts tadi.

Satu per satu kunci Ari mainkan. Ia merangkai nada-nada yang dihasilkan menjadi sebuah instrumental musik yang utuh. Nocturne op 9 no. 2 karya Chopin. Sebuah musik klasik yang memiliki emosi dan jiwa di dalamnya.

Ari melirik ke arah Yandi di meja bartender sekejap. Yandi mengangguk tanda mendukung Ari. Ari tersenyum. Dari semua orang yang ia kenal, memang Yandi yang paling enak untuk diajak bercerita. Ia merupakan sosok ayah pengganti bagi Ari. Tak hanya baik namun Yandi juga bijaksana. Itulah mengapa Ari sangat menghormati Yandi.

Ari kembali fokus memainkan piano. Ia berusaha menyatu dengan musik yang ia mainkan. Tangannya dengan lincah menari di atas tuts. Mata Ari terpejam. Ia larut dalam musik yang indah ini.

Dalam sekejap, terlintas dalam ingatan Ari. Ia tengah bermain piano bersama ibunya. Bayangan-bayangan itu terlihat hanya sepotong-sepotong namun Ari berusaha merangkainya menjadi gambar yang utuh.

Memang benar Linda yang mengajari Ari bermain piano. Dalam waktu senggang, Linda selalu mengajak Ari untuk memainkan musik-musik klasik seperti ini. Chopin, Mozart, Beethoven, semua musik mereka Ari hafal di luar kepala.

Selain itu, tak dapat dipungkiri pula bahwa bermain piano adalah salah satu cara Ari untuk tetap terhubung dengan keluarganya. Ia dapat merasakan ibunya dengan sabar mengajari bermain piano. Sentuhan tangannya, tutur katanya, semua dapat Ari dengar lewat musik yang ia mainkan.

Jemari Ari bergerak semakin lincah. Ia mulai memasuki bagian tengah musik. Temponya meningkat. Ari menekan tuts semakin dalam lagi.

Perlahan-lahan, bayangan Linda menghilang. Ari merasa dirinya dikucilkan dalam ruangan yang sangat gelap. Hanya ada sebuah pintu merah di ujung jalan.

Dahi Ari mengerut. Matanya terpejam erat. Ia tetap memainkan piano meski ia mendapat kilasan balik yang sangat membuatnya tak nyaman.

Ari yang penasaran membuka pintu tersebut. Di dalamnya ia melihat dua buah peti mati berbahan kayu jati lengkap dengan kedua foto orang tuanya di atas peti itu. Tubuh Ari langsung mematung kaku.

Mata Ari terpejam erat. Ia sungguh merasa tak nyaman. Jari-jarinya semakin cepat menekan tuts piano sehingga nada yang dihasilkan begitu kencang dan penuh emosi.

Dalam penglihatannya, Ari tak dapat bergerak sama sekali. Matanya tertuju pada dua peti mati orang tuanya. Dari mimik wajahnya terlihat Ari begitu syok. Ia sangat terpukul ketika melihat kejadian itu.

Kepala Ari menggeleng. Ia sadar hampir berada di akhir musik. Seketika matanya terbuka lebar lalu segera mengakhiri lagu dengan indah lewat tarian jarinya di atas piano. Ari terhenti sejenak. Nafasnya terengah-engah. Kedua matanya menatap piano milik Yandi yang ia mainkan.

Selang 3 detik kemudian, suara riuh tepuk tangan terdengar kencang. Mendengar itu, Ari langsung menoleh ke arah pusat bar. Ia melihat orang-orang bertepuk tangan untuk dirinya. Beberapa dari mereka sampai berdiri dan bersiul.

Ari sungguh tak menyangka hal itu. Padahal tadi pengunjung bar masih sepi. Namun setelah Ari bermain piano solo, tiba-tiba pengunjung bar membludak. Mereka semua nampak terkesima oleh permainan Ari.

Di meja bartender, Yandi memberi jempolnya pada Ari. Ari hanya mengangguk berterima kasih. Ia masih tak percaya sambutan para pengunjung begitu antusias. Ari melihat sekali lagi wajah-wajah pengunjung Royale Bar siang itu.

Di antara pengunjung yang datang dan bertepuk tangan, Ari melihat seorang wanita asing di tengah mereka. Ia duduk sendirian di meja bundar yang di atasnya telah tersedia segelas dry martini. Wanita tersebut bertepuk tangan untuk Ari. Ia tersebut memandang Ari dengan penuh kekaguman.

Bukannya membalas dengan senyuman, Ari justru balik menatap wanita itu dengan pandangan aneh. Tak hanya karena ia adalah orang asing yang tak pernah Ari lihat di Artapuri, melainkan ia juga berani masuk ke Royale Bar yang biasanya dikuasai oleh para pria. Dan yang paling membuat Ari heran, wajah wanita itu terlihat sangat oriental yang notabene tidak pernah ada lagi di wilayah Artapuri.

---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun