Mohon tunggu...
Alviyatun
Alviyatun Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - ATLM (Ahli Teknologi Laboratorium Medik) di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Blog : https://alviyatunyudi.blogspot.com/ Pesan : Proses belajar berjalan sepanjang hayat, proses sabar dan ikhlas menerima dan menjalani segala ketentuan Allah dengan ikkhtiyar yang optimal

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Garang Sapu Gerang

2 Oktober 2021   03:48 Diperbarui: 2 Oktober 2021   03:58 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: health.kompas.com

Garang Sapu Gerang

~Alviyatun~

Sebuah suara terdengar cukup keras dari serambi teras rumahku, diikuti jerit tangis seorang anak. Aku berlari mencari sumber suara dan tangis itu. Mataku terperanjat melihat pemandangan yang tak biasa. Sebuah sapu lidi gerang melayang dan... Bluk-bluk-bluk!

Surti sedang kalap. Ia tak mempedulikan lagi tangisan anaknya. Sapu lidi gerang yang ujung-ujungnya meruncing telah diambilnya dari tangan 'Mbok Kas. Tanpa pikir panjang sapu lidi gerang menyabet bokong Risti anak perempuan satu-satunya.

Kutangkap tangan perempuan yang hendak menyabetkan lagi sapu gerang itu ke tubuh anaknya.

"Yu, sudah, sudah, jangan diteruskan lagi! Kasihan anakmu, kalau sakit kamu akan menyesal." Aku berusaha mencegahnya. Tetapi tanganku terlalu lemah untuk menahan tangannya.

Satu sabetan lagi berhasil mendarat di bokong mungil itu, dan membuat bocah itu jatuh menahan sakit.

"Sakiiiit, akiiit, Maaak. Huu uu uuu." Tangis bocah itu terus mengiba setiap kuping yang mendengar, kecuali Surti.

"Makanya, jangan suka ganggu Make kalau lagi kerja, biar dapat uang banyak buat makan dan beli buku!" bentaknya.

'Mbok Kas tak mampu melakukan upaya pencegahan. Ia terlalu lemah menghadapi watak Surti anak perempuannya. Kemarahannya sulit direda. Wanita tua itu hanya terdiam, meski gelombang air matanya menderas dan dadanya remuk redam melihat cucunya kesakitan.

"Oalah, Ndhuk, putuku. Kene melu Simbok kene," ujarnya sambil merengkuh cucunya. Dielus-elusnya bokong bocah malang itu, dikecup keningnya, kemudian dipeluknya erat-erat. Anak itu merasa nyaman di pelukan 'Mbok Kas, meski tangisnya masih terisak.

"Simbok terlalu memanjakan dia, nanti Risti menjadi anak nakal!" teriak Surti.

"Surti, Surti...kamu jaga mulut kamu. Setiap omonganmu itu bisa jadi doa. Hati-hati bicara." Simbok Kas yang jengkel dengan kelakuan Surti, mencoba menasehati dengan sabar. Bagaimana pun juga Surti adalah darah dagingnya sendiri.

Risti, bocah mungil itu duduk di bangku sekolah Taman Kanak-Kanak. Sejak pagi bangun tidur minta ditemani Make menggambar di buku tulisnya yang baru, dengan pensil warna baru. Buku gambar dan pensil itu dibeli tadi malam di toko alat tulis.

"Mak, buatkan aku gambar kucing! Mak, buatkan juga gambar ayam bertelur, ya Mak," pintanya terus merengek, sementara Surti seakan tak mendengarnya. Tangannya sibuk meracik bumbu sayur tempe yang harus segera matang.

"Nanti dulu, Mak lagi masak. Kalau sudah selesai nanti Mak buatkan gambar," sahut Surti.

"Mak, aku pingin gambar, Mak." Rengeknya semakin kencang, sambil menarik-narik tangan Make.

Tetapi Yu Surti sekarang ganti sibuk mengaduk bubur dagangan yang juga harus segera matang. Sayur tempe pedas juga harus segera matang. Pembeli sebentar lagi berdatangan. Dagangan buburnya harus segera siap.

Tungku dengan api menyala tak bisa ditinggalkan, dan bubur tak boleh gosong. Jika gosong bubur berasa sangit dan pembeli dipastikan kapok datang lagi.

"Risti!" bentaknya tiba-tiba. "Mak bilang nanti ya nanti. Kamu lihat Mak sedang apa, nanti kalau Mak selesai jualan, Make gambar yang banyak."

Risti mulai menangis, dan terus merengek, "Mak, buat gambar ayam!"

Namun, entah iblis mana yang datang merasuki tubuh Yu Surti pagi ini. Tangan kokoh itu menyahut sapu lidi dari tangan 'Mbok Kas.

Sabetan garang sapu lidi gerang membuat tubuh Risti tak berdaya. Surti tak tahu lagi kemana rasa sayangnya selama ini. Telinganya tersumbat angin, hingga tangis gadis kecilnya yang berubah menjadi isakkan diabaikannya. Sapu lidi gerang telah membuat merah pantat buah hatinya, dan memuaskan hasrat amarahnya. Tangannya harus ternodai dengan perbuatan amoral terhadap buah hati semata wayangnya.

Risti, lima tahun yang lalu dilahirkan di sebuah rumah sakit kabupaten. Petugas puskesmas setempat merujuk Surti yang tengah hamil tua ke rumah sakit kabupaten, agar mendapatkan pemeriksaan yang lebih lengkap. Faktor usia Surti menjadi penyebab utamanya. Umur yang hampir 45 tahun saat kehamilan pertamanya ini, menjadi salah satu kriteria ibu hamil dengan resiko tinggi.

"Ibu, panjenengan saya rujuk ke rumah sakit kabupaten supaya mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut. Fasilitas peralatan medis di puskesmas sangat terbatas. Silahkan Pak, Bu, menandatangani surat persetujuan ini." Dokter menjelaskan dan memberi pengarahan kepada Risti dan suaminya.  

Selain faktor usia, ternyata tekanan darah Risti meningkat menjadi 150/90. Pada pemeriksaan dua minggu sebelumnya tekanan darahnya normal 120/80. Untuk bisa melahirkan di puskesmas terlalu beresiko bagi ibu dan bayinya.

Risti pun lahir di rumah sakit kabupaten, dengan operasi caesar. Bayinya sedikit sesak sehingga harus menginap sementara waktu di rumah sakit sampai kondisinya membaik dan stabil.

Saat itulah, Parman suami Surti meminta ijin pada istrinya untuk mencari tambahan biaya persalinan istri dan opname anaknya. Ia hendak pergi ke kota ikut temannya kerja di proyek bangunan.

"Sur, aku mau pamit kerja di kota. Temanku menawari pekerjaan di proyek bangunan. Aku akan pulang seminggu sekali, membawa uang hasil kerja laden tukang. Upahnya lumayan bisa buat tambah biaya persalinan."

Surti yang masih lemah, hanya bisa mengangguk dan berpesan, "Kalau pulang jangan lupa beli susu ya, Kang. Kata dokter aku harus minum susu supaya ASIku lancar dan bayinya sehat."

Parman mengangguk dan pergi membawa tas ranselnya. Tujuan kepergiannya ke kota hanya ia dan temannya yang tahu. Keluarga Surti termasuk 'Mbok Kas pun tidak pernah tahu di mana. Sampai peristiwa pagi tadi, kelebat bayangannya pun tak pernah muncul. Beberapa kali Surti berusaha mencarinya ke kota, berbekal petunjuk dari teman yang dulu mengajaknya, tetapi nihil. Wanita malang itu pun hampir depresi.

Beruntung ia masih memiliki 'Mbok Kas yang selalu setia menemani, dan sabar dengan kelakuannya yang sering menguji kesabaran. Lambat laun Surti bisa menerima keadaan. Hidup beranak tanpa suami di sisinya, sampai seumur Risti sekarang, bocah yang lincah itu belum tahu siapa bapaknya. Ia hanya tahu, keluarganya adalah Make, Simbok, dan dirinya.

<<<>>> 

 Aksi kegarangan sebuah sapu gerang, yang ujung-ujungnya telah meruncing. Sabetan pertamanya membuat panas bokong Risti yang kulitnya masih halus dan lembut. Sabetan keduanya berhasil memerahkan dan melukai kulit belianya.

Ketika senja telah membisikkan mimpi, saat seharusnya mata terlelap dalam buai malam dingin. Risti mengigau, "Jangan, Mak...sakit, Mak...sakiiit. Hhhhh..." Bibirnya bergetar. Gigi-giginya gemerutuk, saling bersinggungan keras hingga suaranya membangunkan 'Mbok Kas yang terbaring di sampingnya. Wajahnya nampak ketakutan walau matanya terpejam.

"Ndhuk, bangun, Ndhuk. Ya, Allah, badanmu panas sekali."

Kain jarik yang menyelimutinya basah. 'Mbok Kas kaget ketika membuka kain dan melihat bokong mungil itu melecet dan mengeluarkan banyak cairan bening.

"Ya, Allah, kasihan sekali kamu, Ndhuk, cah ayu." Airmata 'Mbok Kas mulai bersimbah, meratapi nasib si bocah kesayangannya.

"Bersabar, yo, Nduk. Kowe mesthi kuat!" bisiknya.

Sesosok bayangan mematung di pintu kamar. Matanya mulai basah oleh air mata yang menggenang. Hatinya menjerit, memaki dirinya sendiri, mengutuk perbuatannya yang menyerupai iblis, menangisi takdir, menangisi kenyataan akibat kegarangan sapu gerang miliknya. "Sapu gerang sialan!" gerutunya.

Sapu itu memang sudah gerang, sudah berkurang panjangnya dan semakin memendek karena usianya yang sudah tua. Sapu itu selalu digunakan 'Mbok Kas untuk menyapu halaman rumah, mengumpulkan sampah dedaunan yang berceceran.

Tak dinyana, Surti menggunakannya sebagai senjata untuk melukai anaknya sendiri. Luka yang tak akan hilang dari benak bocah kecil itu. Sampai dewasa akan selalu diingat, karena Make sendiri yang melakukannya.

Mbok Kas menyadari sosok bayangan itu. Perlahan didekatinya.

"Surti, kali ini Simbok tidak terima. Lihat, lihat anakmu. Ia mengigau, tubuhnya menahan panas akibat ulah dari Maknya sendiri. Dimana kasih sayangmu, Surti?"

"Ma-ma-maafkan 'Mbok, maafkan, Surti! Surti tak pernah menyangka akan jadi seperti ini. Aku khilaf 'Mbok," pintanya.

Ia menuju ke pembaringan Risti yang tengah menahan panas tubuhnya. Bibirnya masih bergetar, giginya masih bersuara saling bersinggungan. Tangisnya pecah saat tubuh mungil itu dipeluknya.

"Ndhuuukkk, maafkan Make, Ndhuk," ratapnya.

Saat itu juga, dibawanya lari anaknya dalam dekapan. Simbok Kas yang melihatnya, tak mampu lagi mengejar, tak tahu mau dibawa ke mana cucunya itu. Ia hanya duduk pasrah. Menanti.

Surti menerobos malam yang dingin, menuju rumah seorang bidan di dusun sebelah untuk mencari pertolongan. Tak menghiraukan hembusan angin menyapanya.

Keesokan harinya, suara Risti memanggil-manggil, "Mak, buatkan gambar ayam bertelur, Mak." Suara itu jelas terdengar di telinga Surti.

"Iya, Ndhuk, ayo sini Make buatkan gambar ayamnya, ya. Ndhuk, maafkan Make, ya. Mak sudah membuat kamu sakit." Surti memeluk erat anaknya yang masih sedikit lemah.

Ia pun membuang sapu gerang yang telah membuatnya menjadi garang.

~Tamat~  

Yogyakarta, 16 September 2021

Keterangan:

Ndhuk: panggilan kesayangan kepada seorang anak atau cucu perempuan

putuku: cucuku

Kene melu Simbok, kene: Sini ikut Simbok, sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun