<<<>>>Â
 Aksi kegarangan sebuah sapu gerang, yang ujung-ujungnya telah meruncing. Sabetan pertamanya membuat panas bokong Risti yang kulitnya masih halus dan lembut. Sabetan keduanya berhasil memerahkan dan melukai kulit belianya.
Ketika senja telah membisikkan mimpi, saat seharusnya mata terlelap dalam buai malam dingin. Risti mengigau, "Jangan, Mak...sakit, Mak...sakiiit. Hhhhh..." Bibirnya bergetar. Gigi-giginya gemerutuk, saling bersinggungan keras hingga suaranya membangunkan 'Mbok Kas yang terbaring di sampingnya. Wajahnya nampak ketakutan walau matanya terpejam.
"Ndhuk, bangun, Ndhuk. Ya, Allah, badanmu panas sekali."
Kain jarik yang menyelimutinya basah. 'Mbok Kas kaget ketika membuka kain dan melihat bokong mungil itu melecet dan mengeluarkan banyak cairan bening.
"Ya, Allah, kasihan sekali kamu, Ndhuk, cah ayu." Airmata 'Mbok Kas mulai bersimbah, meratapi nasib si bocah kesayangannya.
"Bersabar, yo, Nduk. Kowe mesthi kuat!" bisiknya.
Sesosok bayangan mematung di pintu kamar. Matanya mulai basah oleh air mata yang menggenang. Hatinya menjerit, memaki dirinya sendiri, mengutuk perbuatannya yang menyerupai iblis, menangisi takdir, menangisi kenyataan akibat kegarangan sapu gerang miliknya. "Sapu gerang sialan!" gerutunya.
Sapu itu memang sudah gerang, sudah berkurang panjangnya dan semakin memendek karena usianya yang sudah tua. Sapu itu selalu digunakan 'Mbok Kas untuk menyapu halaman rumah, mengumpulkan sampah dedaunan yang berceceran.
Tak dinyana, Surti menggunakannya sebagai senjata untuk melukai anaknya sendiri. Luka yang tak akan hilang dari benak bocah kecil itu. Sampai dewasa akan selalu diingat, karena Make sendiri yang melakukannya.
Mbok Kas menyadari sosok bayangan itu. Perlahan didekatinya.