Mohon tunggu...
Alvitus Minggu
Alvitus Minggu Mohon Tunggu... Dosen - laki-laki

jangan menyerah sebelum bertarung

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemilu Perwujudan "Kontrak Sosial"

29 April 2020   21:06 Diperbarui: 29 April 2020   21:08 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

By Alvitus Minggu

Secara universal pemilihan umum  merupakan institusi sekaligus praktek riil politik dalam rangka untuk memilih pemimpin politik nasional dan lokal. Praktek politik seperti ini nampaknya telah menjadi agenda yang bersifat permanen, yang dapat dijalankan  setiap lima tahun sekali mulai dari era Orde Lama, Orde Baru, dan hingga Orde Reformasi. 

Kondisi demikian yang meurut Dahl, merupakan gambaran ideal, dan maksimal bagi suatu pemerintahan demokrasi di zaman modern (Pabottinggi, 1998: 7) bahkan pengertian demokrasi sendiri secara sederhana tidak lain merupakan suatu sistem politik di mana para pembuat keputusan kolektif tertinggi dalam sistem itu dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur, dan berkala. 

Karena itu, pemilihan umum tak hanya berkaitan dengan kebutuhan pemerintah akan keabsahan kekuasaannya, melainkan juga sesuatu hal yang terpenting sebagai sarana bagi rakyat untuk mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan mereka dalam kehidupan bersama berbangsa dan bernegara.

Pemilihan umum pada hakekatnya sebagai spirit moral yang menjadi inti pemikiran kekuasaan politik yang di jalankan oleh tiga lembaga negara yaitu legislativ, Eksekutif, dan Yudikatif dalam kurun waktu selama lima tahun dan dipilih secara sah berdasarkan kehendak rakyat melalui pemilihan umum itu sndiri. 

Pertanyaan mengapa skema kekuasaan itu perlu dibuat dalam format seperti itu? Tentu jawabannya dalam rangka untuk membuat konstitusi yang seimbang, tujuan untuk mencegah suatu kelas ekonomi atau sosial agar tidak menjadi terlalu dominan dalam pemerintahan atau dengan prinsip sederhana supaya kekuasaan politik harus dibagi diantara beberapa lembaga negara sehingga masing-masing bisa bertindak sebagai penyimbang terhadap yang lain. Dalam skema itu dibuat supaya ada pembagian tugas dan fungsi masing-masing lembaga tujuannya adalah mempertahankan ekuilibrium politik dengan memberikan sebagian dari jumlah kekuasaan pemerintah terhadap lembaga-lembaga lain.

Dalam kaitan itu, pemilu memiliki beberapa fungsi yang tak bisa dipisahkan satu sama lain. Pertama, sebagai sarana politik. Fungsi legitimasi ini menjadi kebutuhan pemerintah dan sistem politik yang memwadahi format pemilu yang berlaku. Dengan melalui pemilu, keabsahan pemerintahan yang berkuasa dapat ditegakkan. Begitu pula dengan program dan kebijakkan yang dihasilkan oleh pemerintahan yang terpilih secara leluasa untuk dapat mengaturnya. 

Dengan begitu, pemerintah berdasarkan hukum memiliki otoritas untuk berkuasa mampu memberikan sanksi yang tegas bagi siapa saja warga negara yang melanggar terhadap proses pemilu. Kedua, fungsi perwakilan politik. 

Fungsi ini menjadi pokok untuk kebutuhan rakyat dalam rangka mengevaluasi maupun untuk mengontrol  perilaku pemerintah dan program kerja serta kebijakkan yang dihasilkan oleh perwakilan politik itu. Juga merupakan sebagai mekanisme demokratis bagi rakyat untuk menentukan wakil-wakil yang dapat dipercaya duduk dalam pemerintahan maupun lembaga legislativ. 

Ketiga. Pemilu sebagai mekanisme bagi pergantian atau sirkulasi elit penguasa. Keterkaitan pemilu dengan sirkulasi elit didasarkan pada asumsi bahwa elit berasal dari dan bertugas mewakili masyarakat luas. Sebagai sarana pendidikan politik bagi rakyat, pemilihan umum merupakan salah satu bentuk pendidikan politik bagi rakyat yang bersifat langsung, terbuka, dan massal yang diharapkan bisa mencerdaskan pemahaman politik dan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai demokrasi.

Bertolak dari hal tersebut, persoalan krusial tentang pemilihan umum di Indonesia. Dewasa ini pemilu selalu menganggap tidak memberikan asas manfaat bagi kepentingan masyarakat lapisan bawah. Mengapa demikian. Peranan pemilu masih terbatas sebagai kebutuhan pemerintah dalam memperoleh legitimasi politik. 

Kecenderungan tersebut berkaitan dengan desain maupun praktek pemilu yang masih menempatkan rakyat sebgagai obyek politik serta sebagai pemberi suara belaka tanpa ada hak-hak yang wajar sebagai pemegang kedaulatan politik di dalam kehidupan bernegara. Tidak hanya itu pemilu di Indonesia selalu diwarnai dengan praktek politik kotor brupa politik uang, pemvitnaan satu sama lain dalam rangka untuk memenangkan kandidat tertentu, penyebaran hoaks, kasus korupsi lembaga penyelenggaraan pemilu, dan masalah gratifikasi yang di lakukan anggota KPU. 

Semua ini masuk dalam kategori melannggar prosedur pemilu atau lebih dikenal bertentangan dengan asas pemilu yaitu Luber dan Jurdil. Terkesan pemilu sebagai kegitan yang bersifat rutinitas dan semata-mata ingin mendapatkan legitimasi politik dari rakyat tanpa memikirkan relevansi pemilu bagi kepentingan rakyat.

Kita menyadari bahwa pemilu tidak hanya sebagai mekanisme demokrasi tetapi pemilu juga mengandung nilai kebebasan dan keadilan bagi masyarakat untuk memberikan hak politik yang sama. Terutama bagi warga negara yang telah mencapai usia dewasa menggunakan hak pilihnya yang telah memenuhi syarat berdasarkan hukum pemilu. 

Hak politik yang dimaksudkan disini adalah partisipasi idividu secara penuh untuk memberikan dukungan suara kepada orang yang dianggap percaya untuk mengisi jabatan tertentu di lembaga legislativ maupun di pemerintahan. 

Pemilu merupakan suatu kehendak umum di mana msyarakat sipil ambil bagian untuk menciptakan pemerintahan yang sesuai dengan kehendak rakyat. Pemilu juga merupakan perwujudan "kontrak sosial" dan menjadi suatu kebutuhan politik berdasarkan persetujuan bersama masyarakat Indonesia. 

Bagi masyarakat sipil pemilu satu-satunya menjadi dasar yang absah bagi kekuasaan politik yang berlaku. Pemilu sebagai persekutuan politik untuk saling menjaga dan melindungi hak-hak politik satu sama lain. Juga mempunyai orientasi pragmatis yaitu untuk mencegah problem sosial dan mengatasi anarki politik dengan pembentukkan otoritas publik melalui tiga struktur kekuasaan, yaitu Legislativ, Eksekutif, dan Yudikatif. Di lain pihak dengan adanya pemilu maka, rakyat akan menemukan kebebasan yang sempurna tentang segala sesuatu. 

Pemilu sebagai ungkapan dari tuntutan kepentingan umum serta sebagai wadah peleburan kehendak individu.  Didasarkan pada teori bahwa ketika masyarakat sipil atau kelompok-kelompok atau individu berpartisipasi dalam perjanjian sipil melalui pemungutan suara akan mempengaruhi posistif satu sama lain dan guna menciptakan kehendak baru agar pemilu selalu diarahkan untuk kebaikan umum.

Pemilu adalah deklarasi dari kehendak umum di mana rakyat harus ikut berpartisipasi dalam memilih pemimpin politik secara langsung. Maknanya mempercayakan tanggung jawab kepada orang lain berarti menyerahkan kebebasanya. Rousseau menjelaskan bahwa kebebasan lebih terjamin ketika rakyat bisa berkumpul secara periodik untuk menyatakan kehendak umum (Schmandt, 2002: 402). Pemilu merupakan instrument penting dan sebagai kata kunci untuk menjaga keberlangsungan sistem politik dan demokrasi. 

Maka, diperlukan pemilu yang bisa menciptakan pemerintahan yang bisa membawa multi dampak positif secara luas bagi kepentingan masyarakat. Bagi Rousseau pemegang hak ini haruslah orang sangat jenius, seorang ahli yang bisa menyusun konstitusi yang cocok dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Legislator ini tidak mempunyai kekuasaan untuk menjalankan undang-undang atau kekuasaan eksekutif. Tugasnya adalah untuk mendesain mekanisme pemerintah serta prinsip-prinsip dasar untuk dijalankan oleh pemerintah ( Schmandt, 2002: 404). 

Pertanyaan mendasar dan menjadi catatan kritis bagi penulis apakah teori tersebut telah diterapkan dalam mekanisme pemilu di Indonesia? Jawabanya sejauh ini teori Rousseau tidak memberi pengaruh apa-apa secara signifikan terhadap eksistensi parlemen kita. Hal ini menunjukkan komposisi anggota parlemen baik pusat maupun daerah didominasi politisi dadakan. 

Hanya karena bermodal material tidak diimbangi dengan kemampuan sumber daya manusia. Asal-usul dan rekam jejak selalu menjadi bahan perbincangan oleh berbagai kalangan masyarakat. Maka, asumsinya akan berdampak buruk terhadap kinerja mereka di DPR serta pembuatan regulasi cenderung menjadi tidak bermanfaat bagi kepentingan masyarakat.

Untuk mewujudkan teori tersebut, harapan kedepan UU pemilu, UU partai politik, dan mekanisme rekrutmen politik perlu di evaluasi kembali, agar pemilu tidak hanya sekedar sebagai rutinitas belaka akan tetapi pemilu diharapan sebagai moment penting untuk memberikan asas manfaat secara signifikan bagi kepentingan masyarakat luas. 

Tentu dalam hal ini tetap ditopang oleh semangat pemimpin yang kredibel dan bertanggung jawab serta dapat menghadirkan legislator yang jenius, kritis, ahli dibidangnya. Tidak asal-asal merekrut calon anggota legislativ sehingga dalam pembuatan regulasi betul-betul tetap mengedepankan aspek kualitas daripada aspek kuantitas serta diharapkan produk hukum yang dibuat oleh lembaga parlemen maupun pemerintah  selalu disesuaikan dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun