Mohon tunggu...
Alvitus Minggu
Alvitus Minggu Mohon Tunggu... Dosen - laki-laki

jangan menyerah sebelum bertarung

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemilu Perwujudan "Kontrak Sosial"

29 April 2020   21:06 Diperbarui: 29 April 2020   21:08 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kecenderungan tersebut berkaitan dengan desain maupun praktek pemilu yang masih menempatkan rakyat sebgagai obyek politik serta sebagai pemberi suara belaka tanpa ada hak-hak yang wajar sebagai pemegang kedaulatan politik di dalam kehidupan bernegara. Tidak hanya itu pemilu di Indonesia selalu diwarnai dengan praktek politik kotor brupa politik uang, pemvitnaan satu sama lain dalam rangka untuk memenangkan kandidat tertentu, penyebaran hoaks, kasus korupsi lembaga penyelenggaraan pemilu, dan masalah gratifikasi yang di lakukan anggota KPU. 

Semua ini masuk dalam kategori melannggar prosedur pemilu atau lebih dikenal bertentangan dengan asas pemilu yaitu Luber dan Jurdil. Terkesan pemilu sebagai kegitan yang bersifat rutinitas dan semata-mata ingin mendapatkan legitimasi politik dari rakyat tanpa memikirkan relevansi pemilu bagi kepentingan rakyat.

Kita menyadari bahwa pemilu tidak hanya sebagai mekanisme demokrasi tetapi pemilu juga mengandung nilai kebebasan dan keadilan bagi masyarakat untuk memberikan hak politik yang sama. Terutama bagi warga negara yang telah mencapai usia dewasa menggunakan hak pilihnya yang telah memenuhi syarat berdasarkan hukum pemilu. 

Hak politik yang dimaksudkan disini adalah partisipasi idividu secara penuh untuk memberikan dukungan suara kepada orang yang dianggap percaya untuk mengisi jabatan tertentu di lembaga legislativ maupun di pemerintahan. 

Pemilu merupakan suatu kehendak umum di mana msyarakat sipil ambil bagian untuk menciptakan pemerintahan yang sesuai dengan kehendak rakyat. Pemilu juga merupakan perwujudan "kontrak sosial" dan menjadi suatu kebutuhan politik berdasarkan persetujuan bersama masyarakat Indonesia. 

Bagi masyarakat sipil pemilu satu-satunya menjadi dasar yang absah bagi kekuasaan politik yang berlaku. Pemilu sebagai persekutuan politik untuk saling menjaga dan melindungi hak-hak politik satu sama lain. Juga mempunyai orientasi pragmatis yaitu untuk mencegah problem sosial dan mengatasi anarki politik dengan pembentukkan otoritas publik melalui tiga struktur kekuasaan, yaitu Legislativ, Eksekutif, dan Yudikatif. Di lain pihak dengan adanya pemilu maka, rakyat akan menemukan kebebasan yang sempurna tentang segala sesuatu. 

Pemilu sebagai ungkapan dari tuntutan kepentingan umum serta sebagai wadah peleburan kehendak individu.  Didasarkan pada teori bahwa ketika masyarakat sipil atau kelompok-kelompok atau individu berpartisipasi dalam perjanjian sipil melalui pemungutan suara akan mempengaruhi posistif satu sama lain dan guna menciptakan kehendak baru agar pemilu selalu diarahkan untuk kebaikan umum.

Pemilu adalah deklarasi dari kehendak umum di mana rakyat harus ikut berpartisipasi dalam memilih pemimpin politik secara langsung. Maknanya mempercayakan tanggung jawab kepada orang lain berarti menyerahkan kebebasanya. Rousseau menjelaskan bahwa kebebasan lebih terjamin ketika rakyat bisa berkumpul secara periodik untuk menyatakan kehendak umum (Schmandt, 2002: 402). Pemilu merupakan instrument penting dan sebagai kata kunci untuk menjaga keberlangsungan sistem politik dan demokrasi. 

Maka, diperlukan pemilu yang bisa menciptakan pemerintahan yang bisa membawa multi dampak positif secara luas bagi kepentingan masyarakat. Bagi Rousseau pemegang hak ini haruslah orang sangat jenius, seorang ahli yang bisa menyusun konstitusi yang cocok dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Legislator ini tidak mempunyai kekuasaan untuk menjalankan undang-undang atau kekuasaan eksekutif. Tugasnya adalah untuk mendesain mekanisme pemerintah serta prinsip-prinsip dasar untuk dijalankan oleh pemerintah ( Schmandt, 2002: 404). 

Pertanyaan mendasar dan menjadi catatan kritis bagi penulis apakah teori tersebut telah diterapkan dalam mekanisme pemilu di Indonesia? Jawabanya sejauh ini teori Rousseau tidak memberi pengaruh apa-apa secara signifikan terhadap eksistensi parlemen kita. Hal ini menunjukkan komposisi anggota parlemen baik pusat maupun daerah didominasi politisi dadakan. 

Hanya karena bermodal material tidak diimbangi dengan kemampuan sumber daya manusia. Asal-usul dan rekam jejak selalu menjadi bahan perbincangan oleh berbagai kalangan masyarakat. Maka, asumsinya akan berdampak buruk terhadap kinerja mereka di DPR serta pembuatan regulasi cenderung menjadi tidak bermanfaat bagi kepentingan masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun