1.HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA
Hukum perdata Islam di Indonesia mengacu pada seperangkat aturan hukum yang berkaitan dengan hukum perdata berdasarkan prinsip-prinsip hukum Islam. Hukum perdata Islam di Indonesia mencakup beberapa hal seperti pernikahan, warisan, wakaf, jual beli, pinjam-meminjam, dan sebagainya.
Hukum perdata Islam di Indonesia didasarkan pada sumber hukum utama, yaitu Al-Quran dan Sunnah, serta diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Hak Cipta.
Hukum perdata Islam di Indonesia juga mengakomodasi berbagai prinsip hukum Islam seperti keadilan, kesetaraan, dan kemanfaatan. Misalnya, dalam hal pernikahan, hukum perdata Islam di Indonesia menekankan pada pentingnya kesepakatan antara kedua belah pihak dan keadilan dalam pembagian harta.
Selain itu, Indonesia juga memiliki lembaga pengadilan yang khusus menangani kasus-kasus hukum perdata Islam, yaitu Pengadilan Agama. Pengadilan Agama memiliki yurisdiksi untuk menyelesaikan perselisihan yang berkaitan dengan hukum perdata Islam di Indonesia.
Dalam praktiknya, hukum perdata Islam di Indonesia sering kali digunakan oleh masyarakat Muslim di Indonesia sebagai alternatif dalam menyelesaikan sengketa hukum di luar pengadilan formal, seperti melalui lembaga pengadilan agama, atau melalui mekanisme penyelesaian sengketa alternatif lainnya, seperti mediasi atau arbitrase.
2.PRINSIP PERKAWINAN DALAM UU NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah undang-undang yang mengatur mengenai proses pernikahan di Indonesia. Prinsip-prinsip perkawinan dalam undang-undang ini terdiri dari tiga aspek utama yaitu:
a.Kesetaraan: Prinsip ini mengatur bahwa kedua belah pihak dalam perkawinan memiliki hak dan kewajiban yang sama. Dalam perkawinan, suami dan istri memiliki kedudukan yang sama di dalam keluarga, dan keduanya memiliki hak yang sama untuk mengambil keputusan dan tanggung jawab yang sama dalam mendidik dan mengasuh anak-anak mereka.
b.Keterbukaan: Prinsip ini mengatur bahwa perkawinan harus didasarkan pada persetujuan yang bebas dan tanpa paksaan dari kedua belah pihak. Calon mempelai harus memberikan persetujuan secara sadar dan tanpa tekanan dari pihak manapun, serta memiliki kualifikasi hukum yang diperlukan.
c.Kepastian hukum: Prinsip ini mengatur bahwa perkawinan harus didaftarkan dan diakui secara resmi oleh negara. Dalam hal ini, negara bertanggung jawab untuk memastikan bahwa perkawinan diakui secara sah dan memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi pasangan yang menikah dan keluarga mereka.