Termasuk tatanan masyarakat yang berlaku di hari ini, mistisme menjelma menjadi bisikan-bisikan tetangga. Di era modern ini, kita mengenal hutan larangan, mitos-mitos ketika bayi lahir, adanya hantu-hantu pencuri uang seperti tuyul dan babi ngepet, serta produk-produk Jawanisasi yang diadakan sebagai manifestasi dari kebesaran Tanah Jawa diatas tanah lainnya.Â
Bisikan-bisikan tetangga ini sangat bernuansa feodal. Kita seperti dibawa ke masa ratusan tahun silam, bahkan beratus tahun sebelum Revolusi Industri. Kini kelompok yang kita sebut dukun itu menjelma menjadi lembaga-lembaga atau aparatus ideologis negara, jika kita pinjam istilah Louis Althusser.
Dukun-dukun tersebut bersembunyi dibalik jubah kebesaran para agamawan di MUI atau bahkan para Staf Khusus Kepresidenan yang juga berupaya menjaga mitos Covid-19 tetap terjaga dengan dalih untuk melindungi rakyat. Kini mistisme juga menjelma menjadi pawang hujan di Mandalika, seorang individu yang diyakini mendukung Jokowi meminjam kekuatan supranatural untuk menghentikan hujan.Â
Apa yang mau ditunjukkan di Mandalika ialah kehebatan dukun-dukun Nusantara di tengah desakan aparatus Pemerintah untuk menjajal Metaverse. Tentunya hal seperti ini sangat biasa terjadi di negara Setengah Jajahan seperti Indonesia.
Praktik mistisme modern semacam itu benar-benar sangat menghambat kemajuan bangsa Indonesia. Kita pada akhirnya bisa mengerti, mengapa hampir tidak ada raksasa bisnis teknologi yang lahir di tanah ini. Walaupun tidak bisa dipungkiri, bahkan di AS sekalipun, kisah mistis semacam kreasionisme masih mendapatkan tempat di sekolah-sekolah dasar.Â
Tetapi apa yang terjadi di AS ialah bahwa raksasa bisnis disana sangat didukung oleh para ilmuwan dan saintis, bukan didukung oleh Nyi Roro Kidul atau pawang hujan! Mereka hanya memelihara kreasionisme untuk rakyatnya, bukan untuk diyakini oleh mereka. Bahkan Freemasonry yang diyakini sebagai organisasi mistik oleh sebagian besar oleh kita, merupakan organisasi rasional, penyembah akal, bukan Zeus!
Tapi di Indonesia, kita bisa melihat bahwa bahkan rezim mengundang para dukun ke istana! Tidak ada kemajuan yang berkembang dibawah kendali mistisme. Lahirnya Hypatia di Mesir misalnya, merupakan filsuf perempuan yang mengajar para budak, merasionalisasikan cara pikir mereka sehingga para budak bisa menentang dogma Kristiani dan Yahudi di Mesir. Kehadiran Descartes juga menjadi penanda awal perang antara Rasionalisme Eropa dengan mistisme gereja Roma.Â
Disini, lahirnya tokoh bangsa semacam Cokroaminoto, Alimin, Musso, dan Semaun bisa dikatakan menjadi penanda awal peperangan antara Materialisme dengan kepercayaan terhadap Herucokro atau Satria Piningit yang berwujud Dewa-Manusia seperti Lurah Semar. Bagi mereka justru, Satria Piningit ialah kelas pekerja, bukan Soekarno maupun Tan Malaka.
Kebutaan rakyat akan kemajuan zaman dipelihara oleh berbagai institusi pendidikan, bahkan hingga tingkat Universitas. Sangat disayangkan bagi para mahasiswa UI dan UNPAD misalnya yang masih percaya bahwa kampus mereka berhantu! Bahkan ketika mereka sudah memahami Humaniora sebagai ilmu yang mencerahkan cara pikir manusia agar manusia terus maju dan berkembang.
Hal tersebut diperparah dengan peran media yang terkadang melebih-lebihkan suatu peristiwa. Misalnya, kecelakaan yang terjadi di Tol Cipularang terjadi secara rutin diartikan sebagai tumbal. Karena hal tersebut, tidak ada tindak lanjut dari pihak Jasamarga untuk merawat kondisi jalan tol tersebut. Narasi media telah menjadi tempat efektif untuk menyuburkan mistisme.
Respon atas Mistisme?