Mohon tunggu...
Alvie Harianja
Alvie Harianja Mohon Tunggu... Freelancer - Filsuf dan Revolusioner Gagal

Fuck for Imperialism, Feodalism, and Bureaucrat Capitalist!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Takdir Rakyat Indonesia Berada di Tangan "Sang Bidan"

16 Maret 2022   20:26 Diperbarui: 17 Maret 2022   11:30 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Massa aksi Mayday 2020 di Gedung Sate, Kota Bandung, Sumber: Dokumentasi Pribadi

"Revolution is not a dinner party, or writing an essay, or painting a picture, or embroidery..." (Mao Tse Tung)

Kutipan tersebut seolah menggambarkan satu hal, bahwa revolusi bukanlah kata-kata yang hanya menyeruak dalam diskusi ataupun esai yang ditulis oleh para pujangga yang mengaku revolusioner, namun pada prakteknya nihil. 

Revolusi bukanlah pesta makan malam, namun pesta makan malam kelas pekerja lahir justru dari revolusi. Tetapi terkadang, hegemoni kelas penguasa membuat rakyat dan utamanya kelas pekerja takut akan revolusi. 

Kini revolusi terpendam, dierami oleh ketegangan antara kelas penguasa dengan rakyat. Marx pernah berkata bahwa masyarakat pada hari ini menjadi rahim dari revolusi, kelahirannya justru sedang dinanti-nanti oleh kelas pekerja yang sadar. Revolusi sedang menuju kelahirannya, tinggal menunggu bidannya saja.

Siapa yang akan menjadi bidan dari revolusi? Kita kah? Mari kita lihat...

Pertama, kita harus memahami bahwa negara adalah produk dari sejarah - pertentangan antar kelas - yang lahir tanpa sebab musabab dan tidak mungkin abadi. 

Apapun yang menjadi produk sejarah, tidak akan menjadi abadi, karena di dalamnya selalu mengandung kontradiksi yang hasilnya selalu menghasilkan sesuatu yang baru. 

Misalnya saja Kekaisaran Romawi yang lahir karena adanya kepentingan kelas pemilik budak, sehingga Kekaisaran Romawi menjadi pertanda kekuasaan kelas pemilik budak terhadap para budak. 

Puncak kemegahannya sendiri merupakan simbol dari keruntuhannya. Pemberontakan para budak terjadi persis setelah puncak kekuasaannya. Kehancurannya merupakan pertanda lahirnya jenis masyarakat baru, yaitu masyarakat Feodal Eropa. 

Begitupula dengan Kekaisaran Romawi Suci yang menjadi penanda kuasa para tuan tanah terhadap kaum tani, yang kehancurannya sendiri diawali dengan banyaknya pemberontakan para petani. Kehancurannya menjadi pertanda lahirnya jenis masyarakat baru, yaitu masyarakat Kapitalis Eropa.

Lalu bagaimana dengan Asia?

Asia memiliki sejarah yang sangat panjang, setiap periode perkembangannya selalu memiliki hal unik di dalamnya. Misalnya saja, kelahiran negara-negara berkembang di Asia ditandai dengan perjuangan rakyat melawan para kolonialis Eropa. 

Perjuangan rakyat yang dimaksud pun bukan hanya kelas buruh dan kaum taninya saja, tetapi juga termasuk kelas borjuasi nasionalnya dan borjuis kecilnya, sehingga perjuangan rakyat di negara-negara berkembang Asia tidak pernah menandai kelahiran periode masyarakat yang setara, seperti yang pernah terjadi di Rusia. 

Cina sendiri pun pada 1911 justru melahirkan produk sejarah baru, yaitu Setengah Kolonial dan Setengah Feodal, dimana justru kemenangan mereka malah melahirkan kelas penguasa baru, yaitu kapitalis birokrat.

Kapitalis birokrat sendiri merupakan kelompok yang menjadi kaki tangan kaum Imperialis di negeri-negeri berkembang (baca: jajahan) dan selalu menuruti kehendak kaum Imperialis, seperti kehendak untuk penanaman modal asing dan penguasaan lahan secara besar-besaran untuk meraup superprofit untuk mereka. 

Tidak hanya itu, kaum Imperialis juga mempunyai kaki tangan lain untuk memuluskan kehendak mereka, yaitu kelas tuan tanah yang justru memperluas kekuasaan mereka atas tanah untuk mengeksploitasi sumber daya alam agar kaum Imperialis bisa mendapatkan profitnya. 

Problematika kontradiksi tersebut pada akhirnya baru diselesaikan oleh rakyat Cina dibawah kepemimpinan Mao Tse Tung pada 1949 melalui revolusi demokrasi nasional.

Indonesia pun mengalami hal yang sama, tak ada kata setara bahkan setelah kemerdekaannya pada 1945. Revolusi Agustus yang dicanangkan oleh para borjuasi nasional pada saat itu justru memperkuat kedudukan kaum Imperialis di Indonesia dan pada akhirnya menyengsarakan kaum tani. Kondisi tersebut terus berlarut-larut hingga kini, walaupun diatas kertas kita telah menemukan jalan keluar untuk menyelesaikannya. 

Tapi lagi-lagi revolusi membutuhkan bidan untuk segera lahir, dan Indonesia bahkan tidak mempunyai bidan yang kuat, yang mampu menarik revolusi dari rahimnya.

Rakyat tidak bergerak sendiri dan tidak secara spontan menyelesaikan problem kontradiksi yang mereka hadapi, rakyat harus memiliki penggeraknya, yang lahir dari rakyat itu sendiri. 

Walaupun pada kenyataannya, pada hari ini rakyat tidak percaya, acuh, dan bahkan melawan kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah (baca: Kapitalis birokrat), tapi revolusi tidak bisa menemukan jalannya sendiri. 

Banyaknya aksi massa, berseliwerannya komentar di media, dan banjirnya kritik tajam memang menjadi sebuah prasyarat dari lahirnya revolusi. Tapi prasyarat utamanya belum juga muncul dan menampakkan diri. Pertanyaan dasarnya ialah siapa yang akan menjadi bidannya?

Jika menurut Lenin, bidan sebuah revolusi adalah sebuah partai kelas pekerja yang berdisiplin baja, maka menurut kita siapa yang menjadi bidannya? Apakah tak ada jalan lain?

Jika menilik dari sejarah, terjadinya revolusi menandai kelahiran zaman baru. Runtuhnya Kekaisaran Romawi ditandai dengan revolusi, runtuhnya Kekaisaran Romawi Suci ditandai dengan revolusi, runtuhnya Tsar Rusia ditandai dengan revolusi, bahkan proklamasi RI pun ditandai dengan revolusi; yaitu sebuah aksi kekerasan yang dilakukan oleh satu kelas terhadap kelas lainnya sebagai bentuk penyelesaian kontradiksi yang mereka alami. 

Di setiap revolusi yang terjadi, rakyat selalu dipimpin oleh segelintir atau sekelompok orang yang sadar dan paham akan situasi dan kondisi rakyat, lahir dari rakyat, dan menjalankan gerak revolusi untuk kepentingan rakyat. 

Engels misalnya, pernah menggambarkan tentang bagaimana sosok Munzer dalam bukunya "Perang Tani di Jerman" dalam memimpin kaum Anabaptis yang notabene merupakan kaum tani dalam melawan para tuan tanah di Jerman. Kita juga bisa melihat sosok heroisme Lenin dalam memimpin rakyat Rusia melawan kemaharajaan Tsar. Lalu siapa di Indonesia?

Setiap masa di Indonesia juga selalu ditandai dengan revolusi. Kelahiran Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit misalnya, menjadi penanda lahirnya masyarakat feodal dan hancurnya masyarakat perbudakan di Indonesia. 

Datangnya VOC juga menjadi penanda kelahiran masyarakat jajahan di Nusantara dengan tanpa menghancurkan basis produksi feodal sama sama sekali. 

Lahirnya UU Agraria 1870 atas desakan kaum liberal di Parlemen Belanda juga menjadi penanda melemahnya basis produksi feodal dan menguatkan basis produksi kolonial di Nusantara. 

Revolusi terakhir yang terjadi di Indonesia tentunya ialah Revolusi Agustus yang menjadi penanda hancurnya basis produksi kolonial dan lahirnya masyarakat Setengah Kolonial dan Setengah Feodal di Indonesia yang ditandai dengan berkuasanya kaum Imperialis berserta kaki tangannya. 

Sejak UU Penanaman Modal Asing tahun 1967, rakyat Indonesia bahkan semakin dicengkeram dan menjadi turis di tanah sendiri, jika kita memakai kata mutiara dari Widji Thukul. 

Kini hadirnya Omnibus Law UU Cipta Kerja yang diperkuat lagi dengan hadirnya Permenaker No. 2/2022 tentang Jaminan Hari Tua juga menyebabkan kelas pekerja Indonesia semakin dihantui oleh penghisapan yang dilakukan oleh kaum Imperialis. 

Belum lagi penggusuran atas tanah Wadas, tanah adat di berbagai wilayah, serta eksploitasi buruh kelapa sawit juga menjadi bukti bahwa hingga hari ini kondisi masyarakat Indonesia sama sekali belum berubah. 

Rakyat Indonesia masih harus menghadapi Pemerintah yang menjadi kaki tangan kaum Imperialis serta perusahaan-perusahaan berskala besar yang mengeksploitasi tanah Nusantara. 

Kini rakyat Indonesia yang sudah bersitegang dengan musuh-musuhnya tersebut bertanya-tanya, siapa yang akan memimpin mereka ke arah jalan baru? Kaum Komunis kah? Para cendekia muslim kah? atau bahkan para revisionis dan reformis yang memiliki kepentingan untuk melanggengkan kondisi masyarakat hari ini? Jawaban tersebut harus kita jawab dengan tindakan, apakah kita akan membawa rakyat Indonesia ke arah sosialis, Islam, atau bahkan Kapitalisme? 

Kita belum pernah bersepakat soal hal itu karena orang-orang yang sadar dan paham akan kondisi masyarakat tak pernah bisa merumuskan apa solusi yang tepat dan bisa mengakomodir seluruh kepentingan rakyat atas penghidupan mereka. Tetapi mari kita mencoba untuk tidak berhenti berharap, mungkin saja "sang bidan" kini sedang mencari cara untuk melahirkan revolusi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun