Ada bapak yang rela mewakafkan tanahnya untuk dibangun sekolah. Ada warga yang menyumbang kayu, semen, serta keperluan-keperluan lainnya. Bentuk gotong royong yang heroik. Pada umumnya, gotong royong lumrah dilakukan untuk membersihkan got mampet atau mengecat pemukiman menjelang 17-an. Gotong royong mereka tak tanggung-tanggung: bangun sekolahan!
Pengalaman susah sinyal saya di Sumba ternyata berbanding matching dengan data yang dirilis oleh Asosisiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). Tahun 2017, APJII menyebut bahwa meskipun 143,26 juta manusia Indonesia sudah pernah menggunakan akses internet, tapi sebaran penggunananya masih belum merata.Â
Penduduk di pulau Jawa masih jadi penikmat akses internet terbanyak. Presentasenya mencapai 58,08%. Sementara itu kawasan nusatenggara yang jadi wilayahnya pulau Sumba, baru 5,63 % penduduknya yang menggunakan internet.
Saat ini, Ketika internet dan dunia maya jadi tumpuan hampir semua aktivitas manusia, Sinyal sangat layak jadi kebutuhan keempat dasar manusia setelah Sangan, Pandang, dan Papan. Sumba punya destinasi wisata yang indah.
Tapi, tanpa jaringan sinyal dan internet pendukung, pasti nggak akan maksimum jadinya. Apa kata dunia kalo liburan di Sumba itu nggak bisa langsung upload IG story dan postingan foto?
Tulisan sebuah artikel opini di Kompas Cetak edisi 21 Juli 2018 menarik perhatian saya. Sang penulis membahas tentang fenomena youtube sebagai khazanah baru untuk menambang ilmu.Â
Dari praktisinya. Tidak lagi lewat guru sekolah. Internet, atau yang lebih komprehensifnya disebut ICT (Information & communication technology). Katanya, cukup 3 syarat untuk membuat pendidikan Indonesia maju bin merata: akses internet, kepemilikan gawai, dan mengerti bahasa inggris.