Mohon tunggu...
Alvi Anugerah
Alvi Anugerah Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis jika sedang menggebu-gebu

Humaniora Universal.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tak Hanya Sumber Air, Sumba juga Butuh Sumber Sinyal

14 Oktober 2018   22:14 Diperbarui: 17 Oktober 2018   10:55 1131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumba ternyata beneran indah, ya. Saya kira, efek kamera di film "Pendekar Tongkat Emas" dan "Marlina Pembunuh Dalam 4 Babak" itu melebih-lebihkan tone settingnya. Ternyata nggak. Sumba beneran indahnya. Lead yang juga teman seumuran saya di kantor, Iqbal, mencoba ngelawak dengan bilang, "Di Sumba, foto ngeblur aja pasti keren hasilnya."

Memang benar. Sangat mudah mencari objek foto bagus di Pulau Sumba. Bentangan sabana yang kalau kemarau jadi gersang-gersang eksotis gimana gitu. Yang kalau musim hujan jadi serba hijau kayak di dunia teletubbies. Pantai-pantainya itu konon ibarat perawan polos yang mau-an kalau disuruh ngapain aja masih bagus dan mulus.

Intinya, urusan foto dan keperluan untuk ria di media sosial, Sumba menawarkan kemudahan itu untuk semua pelancongnya.

Namun di balik mudahnya mencipta foto di Sumba, ada satu hal yang jadi kontradiksi. Dan menurut sebagian besar umat manusia saat ini, hal ini telah menjadi sebuah urgensi yang harus masuk dalam program prioritas pemerintah. Apakah itu?

Sinyal...

Serius. Saya sedang tidak bercanda. Ternyata, film "Susah Sinyal" karya Ernest Prakasa yang tidak sebagus film "Cek Toko Sebelah" itu bukan fiktif. Susah sinyal jadi fenomena yang terpapar nyata di Sumba. Ungkapan GSM yang merupakan singkatan dari Geser Sedikit Mati ternyata bukan jokes film semata. Orang Sumba justru telah lama akrab dengan ungkapan GSM.

dok.pribadi
dok.pribadi
Salah seorang teman asli Sumba yang menemani perjalanan dinas saya kemarin bercerita bahwa di Sumba itu ada benda-benda yang dianggap "keramat" oleh orang Sumba. Ada Batu sinyal, pohon sinyal, dan jendela sinyal. Jadi, hanya di batu, pohon, dan jendela itulah sinyal handphone menjadi bagus. Selain di tempat itu, ya GSM.

Ia pun sempat mengeluhkan keadaan sinyal saat Festival Kuda Sandelwood berlangsung. Beberapa stasiun televisi kesulitan untuk menangkap sinyal untuk keperluan Live mereka. Bisa dikatakan, status sinyal di Sumba sudah memasuki tahap "wagelaseh", kalau kata anak muda masa kini.

SINYAL PENUNJANG PENDIDIKAN

Perjalanan dinas saya di Sumba kemarin mencatat dua tujuan. Pertama, penyerahan donasi campaign galang dana pembangunan jembatan yang mengumpulkan 500 juta lebih dari 1820 donatur. Ini dia rekap videonya: 

Kedua, kunjungan ke desa Tanarara di Kabupaten Sumba Timur. Di desa itu, warga secara swadaya tengah berupaya membangun sebuah sekolah menengah pertama. Hal ini terjadi karena sekolah SMP yang ada di daerah tersebut telah melebihi kapasitas, selain karena jaraknya yang jauh.

Ada bapak yang rela mewakafkan tanahnya untuk dibangun sekolah. Ada warga yang menyumbang kayu, semen, serta keperluan-keperluan lainnya. Bentuk gotong royong yang heroik. Pada umumnya, gotong royong lumrah dilakukan untuk membersihkan got mampet atau mengecat pemukiman menjelang 17-an. Gotong royong mereka tak tanggung-tanggung: bangun sekolahan!

Kitabisa.com
Kitabisa.com
Ternyata gotong royong bangun SMP ini bukan kali pertama. 6 tahun silam, warga desa Tanarara sudah membuktikan kekompakan mereka dengan berhasil membangun sekolah dasar secara swadaya. Teman saya yang Asli Sumba Timur itu lalu memutuskan membuka penggalangan dana di Kitabisa agar lebih banyak orang membantu proses pembangunan sekolah. Link penggalangan dana nya bisa dibuka di sini: kitabisa.com/sekolahlewa.

Aktivitas warga Desa Tanarara, Kecamatan Waingapu, Sumba Timur membangun SMP secara swadaya. Sumber: dok. pribadi
Aktivitas warga Desa Tanarara, Kecamatan Waingapu, Sumba Timur membangun SMP secara swadaya. Sumber: dok. pribadi
sumber: dok. pribadi
sumber: dok. pribadi
Itu baru permasalahan tempat belajarnya. Saya tak bertanya dan melihat lebih dalam bagaimana rencana sumber-sumber pengajaran dan kurikulum di sekolah itu, termasuk keberadaan guru berikut kualitasnya.

sumber: databooks.co.id
sumber: databooks.co.id

Pengalaman susah sinyal saya di Sumba ternyata berbanding matching dengan data yang dirilis oleh Asosisiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). Tahun 2017, APJII menyebut bahwa meskipun 143,26 juta manusia Indonesia sudah pernah menggunakan akses internet, tapi sebaran penggunananya masih belum merata. 

Penduduk di pulau Jawa masih jadi penikmat akses internet terbanyak. Presentasenya mencapai 58,08%. Sementara itu kawasan nusatenggara yang jadi wilayahnya pulau Sumba, baru 5,63 % penduduknya yang menggunakan internet.

Saat ini, Ketika internet dan dunia maya jadi tumpuan hampir semua aktivitas manusia, Sinyal sangat layak jadi kebutuhan keempat dasar manusia setelah Sangan, Pandang, dan Papan. Sumba punya destinasi wisata yang indah.

Tapi, tanpa jaringan sinyal dan internet pendukung, pasti nggak akan maksimum jadinya. Apa kata dunia kalo liburan di Sumba itu nggak bisa langsung upload IG story dan postingan foto?

Tulisan sebuah artikel opini di Kompas Cetak edisi 21 Juli 2018 menarik perhatian saya. Sang penulis membahas tentang fenomena youtube sebagai khazanah baru untuk menambang ilmu. 

dok.pribadu
dok.pribadu
Cukup dengan sinyal internet yang baik dan penguasaan vocab inggris yang oke, siapapun, kapanpun, dan di manapun bisa belajar hal apapun di youtube. Belajar langsung dari ahlinya. 

Dari praktisinya. Tidak lagi lewat guru sekolah. Internet, atau yang lebih komprehensifnya disebut ICT (Information & communication technology). Katanya, cukup 3 syarat untuk membuat pendidikan Indonesia maju bin merata: akses internet, kepemilikan gawai, dan mengerti bahasa inggris.

Pendidikan jaman sekarang tak melulu identik dengan buku, guru, dan ruang kelas. Meskipun, tiga hal tersebut masih jadi faktor penting.

Tapi, ketiganya rentan terkena disrupsi. Kehadiran buku fisik perlahan tertutupi dengan dominasi e-book, jurnal-jurnal ilmiah online, artikel-artikel media online tepercaya, dan sumber-sumber tulisan digital lainnya.

Guru yang memegang predikat mulia pahlawan tanpa tanda jasa pun harusnya jangan sampai merasa nyaman.

Kualitas mengajar guru saat ini perlahan tergantikan dengan video-video tutorial bermanfaat di Youtube yang lebih enak ditonton, video-video penjelasan praktisi atau expert yang ahli di bidangnya, aplikasi bimbel-bimbel online, dan lain segalanya.

Disrupsi demikian jelas menguntungkan bagi tumbuh kembang dunia pendidikan Indonesia. Peserta didik dihadapkan dengan banyak sumber dan pilihan dalam memilih materi pelajaran.

Guru pun harusnya terpacu meningkatkan kemampuannya mengajar murid, agar tak kalah saing dengan "guru-guru" yang ada di "Universitas Youtube."

Nah, semua khayal itu bisa jadi kejadian kalau permasalahan sinyal ini diatasi sesegera mungkin. Tak ada salahnya juga kok membuat anggaran jaringan dan sinyal internet setara urgensinya dengan anggaran pendidikan. Karena Akses ngeyoutube sebagai alternatif medium pendidikan baru adalah hak segala bangsa, termasuk adik-adik yang ada di Sumba. 

Jadi, alih-alih meminta sumber air yang dibikin dekat, Kini, saatnya Warga Sumba juga meminta sumber sinyal yang harus su dekat.

Alvi Anugerah
Doers at Kitabisa.com

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun