Mengutuk dalam konteks kekinian sama sekali tak mengubah masalah. Hari ini, ketika sebuah kutukan diluncurkan, kejahatan terhadap kemanusiaan tak otomatis terhentikan. Ketika SBY mengutuk Israel, korban jiwa di jalur Gaza sama sekali tak berkurang. Begitupun ketika insiden di Tolikara terjadi. Musolla serta kapling-kapling ruko yang telah hangus jadi puing tak lagi otomatis terbangun megah. Karena memang yang sesungguhnya dibutuhkan adalah lebih dari sekadar kutukan….
Republik ini masih beruntung memiliki orang-orang yang tak sakti tapi mampu menempatkan diri. Orang-orang ini sebenarnya mampu mengeluarkan kecaman atau kutukan. Tapi orang-orang ini memilih tidak mau. Sebab sekali lagi, ada hal yang lebih penting daripada mengeluarkan sumpah serapah beserta kerabat-kerabatnya.
Saat itu, saya sedang menonton video Periscope milik selebritas ternama, Pandji Pragiwaksono. Lewat Periscopenya, Pandji mengajak penonton videonya itu untuk ikut urunan proyek Fundraising bertajuk “Bangun Kembali Masjid Tolikara di Papua”. Salut juga saya dengan idenya. Lewat portal Fundraising KitaBisa.com, Pandji mengajak masyarakat luas patungan uang untuk membangun kembali musolla yang terbakar itu akibat insiden penyerangan oleh oknum di Kabupaten Tolikara. Sampai akhirnya patungan online itu ditutup Selasa, 21 Juli 2015, silam, terkumpul uang tak kurang dari Rp. 304.568.310. Padahal, target pada proyek tersebut tercantum hanya 200 Juta Rupiah saja.
Teruntuk para pengutuk, kikislah sedikit demi sedikit kebiasaan pencitraan diri dengan cara mengecam dan mengutuk di media massa. Jika merujuk pada teori penggunaan dan pemenuhan kebutuhan (Uses and Gratification Theory), pengakses media dipandang sebagai individu aktif yang memiliki tujuan. Mereka bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri terkait konten-konten media mana yang akan mereka konsumsi untuk memenuhi kebutuhan pribadi mereka. Bukan mustahil terjadi ketika pengakses-pengakses media tersebut juga latah dan terlatih menjadi seorang pengutuk karena melihat publik-publik figur yang hanya bisa mengutuk ketika sebuah insiden terjadi. Pengakses-pengakses media yang menjelma menjadi pengutuk itu kemudian bersatu padu menjadi bangsa pengutuk.
Padahal, sekali lagi, negeri ini sama sekali tak membutuhkan pengutuk…
*) Keterangan Gambar: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono/Kompas.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H