"KONTRAS mengutuk kejadian pembakaran Musolla di Tolikara, Papua”
“Presiden SBY mengecam serangan Israel ke jalur Gaza”
“Para pemimpin dunia mengutuk kekejaman ISIS terhadap para sanderanya”
Tiga kalimat berita di atas muncul menyusul aksi-aksi nonmanusiawi yang dilakukan sekelompok pihak tak bertanggungjawab. Seakan menjadi rutinitas, begitu peristiwa-peristiwa kejahatan terhadap kemanusiaan apapun terjadi, segala jenis mantra kecaman dan kutukan bermuara di media massa. Media massa jadi wahana sumpah serapah paling indah bagi pihak-pihak tersebut untuk menyampaikan kecaman dan kutukan.
Awalnya saya skeptis dengan tingkah latah pihak-pihak yang melantunkan kecam dan kutuk itu. Pasti media yang memberitakan berlebihan. Agar judul berita bisa terbaca bombastis hingga meraup jumlah pembaca yang banyak. Tapi, setelah saya baca teliti, suudzon berlebihan kepada media harus mulai saya kurangi. Portal media Berita Satu misalnya, dengan menggunakan kalimat langsung pada pemberitaan Kontras kutuk pembakar musholla . Berita Satu mengutip ujaran yang dikeluarkan oleh koordinator KontraS, Haris Azhar. Saya yakin Berita Satu tak sampai hati mempertaruhkan reputasinya dengan memelintir kalimat langsung itu.
Begitupun ketika saya cek dan ricek artikel yang berisi kecaman SBY terhadap serangan Israel ke jalur Gaza. Saya cari saja video di Youtube yang merekam lisan SBY berkata demikian. Ternyata benar: SBY mengecam serangan itu. Lewat kepanjangan tangannya waktu itu, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menyebut bahwa pemerintah mengutuk serangan negara pimpinan Benjamin Netanyahu itu.
Satu hal yang langsung lewat di pikiran saya begitu mendengar kata mengutuk: Malin Kundang. Lelaki mapan yang dikutuk ibunya karena durhaka. Satu hal juga yang harus kita camkan bersama: Cerita Malin adalah cerita zaman dulu kala. Cerita di saat kekuatan supranatural masih jadi pilihan utama untuk menyampaikan rasa benci dan tidak suka. Jadi, laku mengutuk adalah laku yang tradisional. Feodal. Bahasa gaulnya mungkin ketinggalan zaman atau gak ngehits.
Kini, meskipun kegiatan supranatural kian tabu didengar, ia tak bisa ditampik karena masih dimanfaatkan banyak orang untuk keperluan-keperluan tertentu. Tapi, harusnya ada dong cara elegan nan relevan yang dipakai SBY dan KontraS untuk menyatakan sikap ketidaksukaannya selain dengan cara mengecam bahkan mengutuk?
Tak pelak, makna mengutuk yang dirilis oleh lisan para pengutuk hanya mengandung dua indikasi. Pertama, para pengutuk memang memiliki aji-aji sakti yang membuat sang terkutuk itu berubah menjadi batu atau entitas lain yang nasibnya merana, seperti binatangkah, tumbuhankah, bahkan silumankah. Tapi terdengar lucu bukan ketika seorang presiden mengutuk sesuatu menjadi batu? Meskipun hal itu sah-sah saja terjadi.
Kedua, para pengutuk itu, lewat medium kata “mengutuk” ingin menunjukkan sebuah citra kepedulian yang dibalut dengan sebuah kekesalan. Mengutuk adalah turunan sikap dari perasaan benci dan kesal. Seorang pengutuk saat ini jelas berbeda dengan seorang pengutuk di masa lampau. Seorang pengutuk di masa lampau telah terbukti lewat aji-aji saktinya mengubah manusia menjadi batu. Seorang pengutuk masa kini tak lebih dari seorang yang formal lagi normatif. Baiklah, mari menganggap kecaman dan kutukan itu sebagai sebuah pernyataan sikap. Pernyataan sikap memang dibutuhkan. Tapi, pernyataan sikap yang tidak mengubah apa-apa itu yang sia-sia.
Mengutuk dalam konteks kekinian sama sekali tak mengubah masalah. Hari ini, ketika sebuah kutukan diluncurkan, kejahatan terhadap kemanusiaan tak otomatis terhentikan. Ketika SBY mengutuk Israel, korban jiwa di jalur Gaza sama sekali tak berkurang. Begitupun ketika insiden di Tolikara terjadi. Musolla serta kapling-kapling ruko yang telah hangus jadi puing tak lagi otomatis terbangun megah. Karena memang yang sesungguhnya dibutuhkan adalah lebih dari sekadar kutukan….
Republik ini masih beruntung memiliki orang-orang yang tak sakti tapi mampu menempatkan diri. Orang-orang ini sebenarnya mampu mengeluarkan kecaman atau kutukan. Tapi orang-orang ini memilih tidak mau. Sebab sekali lagi, ada hal yang lebih penting daripada mengeluarkan sumpah serapah beserta kerabat-kerabatnya.
Saat itu, saya sedang menonton video Periscope milik selebritas ternama, Pandji Pragiwaksono. Lewat Periscopenya, Pandji mengajak penonton videonya itu untuk ikut urunan proyek Fundraising bertajuk “Bangun Kembali Masjid Tolikara di Papua”. Salut juga saya dengan idenya. Lewat portal Fundraising KitaBisa.com, Pandji mengajak masyarakat luas patungan uang untuk membangun kembali musolla yang terbakar itu akibat insiden penyerangan oleh oknum di Kabupaten Tolikara. Sampai akhirnya patungan online itu ditutup Selasa, 21 Juli 2015, silam, terkumpul uang tak kurang dari Rp. 304.568.310. Padahal, target pada proyek tersebut tercantum hanya 200 Juta Rupiah saja.
Teruntuk para pengutuk, kikislah sedikit demi sedikit kebiasaan pencitraan diri dengan cara mengecam dan mengutuk di media massa. Jika merujuk pada teori penggunaan dan pemenuhan kebutuhan (Uses and Gratification Theory), pengakses media dipandang sebagai individu aktif yang memiliki tujuan. Mereka bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri terkait konten-konten media mana yang akan mereka konsumsi untuk memenuhi kebutuhan pribadi mereka. Bukan mustahil terjadi ketika pengakses-pengakses media tersebut juga latah dan terlatih menjadi seorang pengutuk karena melihat publik-publik figur yang hanya bisa mengutuk ketika sebuah insiden terjadi. Pengakses-pengakses media yang menjelma menjadi pengutuk itu kemudian bersatu padu menjadi bangsa pengutuk.
Padahal, sekali lagi, negeri ini sama sekali tak membutuhkan pengutuk…
*) Keterangan Gambar: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono/Kompas.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H