Sejumlah Kepala Daerah di Indonesia memilih membangun manusia ketimbang melakukan pembangunan fisik yang wah. Mereka menyentuh hal mendasar yang sangat dibutuhkan warganya. Salah satunya adalah Bupati Lahat Saifuddin Aswari Rivai.
Dulu, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan identik dengan aksi kriminal. Mobil-mobil trans sumatera atau mobil-mobil pribadi selalu menghindari jalanan di Kabupaten Lahat saat malam hari. Ancaman begal dan aksi bajing loncat di Lahat membuat para pelintas Sumatera keder.
Dulu juga, para pemuda di Kabupaten Lahat terkesan sangar. Dalam pergaulan sesehari di pinggang mereka tersarung pisau tajam (badik) sebagai mitos kejantanan. Sekali pisau dicabut dari sarungnya, pantang dimasukkan lagi sebelum melukai orang yang dianggap sebagai lawan.
“Pisau atau badik itu sudah seperti pakaian yang harus dikenakan setiap hari,” ujar Bupati Lahat Saifuddn Aswari Riva’i di Jakarta.
Sekarang, sejak Aswari menjadi Bupati Lahat, aksi begal dan bajing loncat di jalanan trans Sumatera di Lahat nyaris tak berbekas. Begitu juga dengan kebiasaan membawa pisau dalam pergaulan para pemuda.
“Sejak menjabat Bupati tahun 2008 lalu, Saya focus membangun Lahat dengan pendekatan touching heart (menyentuh hati) masyarakat, termasuk kepada para pemuda yang sering terlibat kriminal,” ungkap Aswari yang saat ini tengah menjalani periode kedua sebagai Bupati Lahat.
Saat pertama kali maju sebagai kandidat bupati, lawannya adalah para birokrat yang telah menjabat sebagai sekretaris daerah (Sekda) di kabupaten Lahat maupun kabupaten lain di sekitar Lahat. Dia merupakan satu-satunya kandidat bupati di luar para birokrat. Namun, berhasil meraih suara di atas 30 persen meninggalkan enam pasangan calon yang menjadi lawannya di Pilkada.
Pada Pilkada 2013, Aswari yang maju sebagai incumbent, merebut lebih dari 75 persen suara rakyat Lahat mengalahkan dua kandidat lainnya. “Perolehan suara yang mayoritas tersebut diperoleh karena Saya sangat dekat dengan masyarakat Lahat,” timpalnya.
Memang sejak awal memimpin, Aswari mendedikasikan diri melayani masyarakat Lahat. Dia masuk keluar kampung (blusukan), melihat, berdialog dan mendengarkan apa yang menjadi keinginan masyarakat. Berbagai keluhan yang butuh penanganan segera langsung ditangani. Keluhan lainnya ditangani lewat program berkala.
Saat itu, keluhan yang paling banyak saya dengar, adalah soal aliran listrik. Masyarakat mengeluhkan tidak adanya listrik di banyak desa dan menganggap belum merdeka lantaran hidup dalam kegelapan di malam hari.