Mohon tunggu...
Aluzar Azhar
Aluzar Azhar Mohon Tunggu... Freelancer - Penyuluh Agama Honorer

Berbuat baik kok malu, jadi weh ...

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Ahok, Haok, dan Hoax

20 Desember 2016   02:30 Diperbarui: 10 Januari 2017   21:18 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Risiko

Mohon maaf, judul di atas tidak mewakili isi artikel ini. Pencantuman judul tersebut atas nama ‘menarik’ saja, kok kebetulan ya: empat huruf dengan bunyi yang sama, meski berbeda satu huruf antara ‘k’ dengan ‘x’. Judul di atas juga diusahakan tidak intervensi ‘substansi’ sidang ‘Ahok’ yang sedang berlangsung.

Kemarin-kemarin, karena keseringan ‘ada’ di televisi, muncullah frasa: “Ahok ha-haok” (Sunda: membentak) atau “Ahok ber-hoax” seperti menjadi trademark-nya. Saya menafsirkannya: Ahok ‘berkoar’ atau Ahok ‘berolok-olok’. Jika kini, Ahok terseret ‘kasus’; mungkin hoax Ahok ditafsirkan menyebar ‘cerita bohong’ atau ‘memperdayakan’ sebagaimana definisi ‘hoax’ menurut Kamus Inggris – Indonesia karya John M. Echols dan Hassan Shadily, yaitu kata benda yang berarti olok-olokan, cerita bohong; atau kata keterangan yang berarti memperdayakan.

Bagi saya pribadi, benar-salah hoax Ahok nanti terserah hukum yang berlaku; saya cuma mengingatkan Ahok bahwa sebagai penguasa ada ‘risiko’, yang saya tafsirkan ‘yang terlupa’ (lihat puisi saya). Kata ‘risiko’ ini diilhami cerita Sri Mulyani, Menteri Keuangan, bahwa ia dinasihati orangtuanya, “Di balik kekuasaan ada risiko!” Sri menyebutnya, responsibility ( TV, 29/9/16, jam 19-an).

Justru saya melihat—sepertinya—semua orang pengen jadi pemimpin atau orang terkenal (seleb), tetapi lupa atau seperti tidak mau menanggung risikonya. Tentu kita sepakat bahwa risiko menjadi pemimpin itu lebih besar daripada risiko menjadi rakyat; atau risiko menjadi seleb itu lebih digunjing daripada menjadi penggemar.

Nah, kiranya, fakta kiwari di seluruh dunia menunjukkan bahwa mayoritas pemimpin atau seleb itu tidak siap menanggung risiko, misalnya diintai paparazzi. Indikator siap menanggung risiko adalah mau ‘bertanggung jawab’ (responsibility) bahwa dirinya bukan orang ‘biasa’ lagi; bahwa dirinya public figure, yang ditafsirkan secara mayoritas—terutama oleh penggemar fanatik, ialah milik publik.

Jika pemimpin atau seleb itu sadar diri bahwa dirinya kini milik publik, tentu ‘harus’ memenuhi keinginan publik; atau minimalnya tidak membuat ‘penasaran’ publik karena predikat yang menempel kini adalah kata ‘teladan’. Sungguh blunder jika teladan yang disajikan membuat penasaran, apalagi bertentangan dengan keinginan mayoritas publik.

Berantas Isu Hoax

Saya sepakat dengan misi ‘penguasa’ (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) untuk memberantas isu hoax; baik dalam makna ‘olok-olokan’, ‘cerita bohong’, apalagi dalam makna ‘memperdayakan’.

Yang harus menjadi concern kita semua (penguasa dan rakyat) adalah ‘keadilan’ dalam menilai isu hoax. Jika isu tidak memenuhi data sahih-andal plus setelah mengidentifikasi ‘tak ada asap kalau tak ada api’, jelaslah hoax!

Mari berwacana—semoga memperjelas maksud saya. Di grup Facebook yang saya gagas, saya pernah mengirim ini:

#kritik

… bagi saya, ‘kritik’ = semua apa/siapa memiliki kekurangan = tanda hidup dinamis = tanda kasih sayang a.n. (atas nama) traffic light: HIJAU = gibtah = boleh = apresiasi = kritik konstruktif; KUNING = gibah = warning; dan MERAH = fitnah = terlarang … kadang-malah, KITA butuh eject/ejek-an untuk eksis … (@Proisi 20160309).

#info

wih, di zaman judi dilegalkan (SDSB cs), info togel itu dirindu-diburu!

mengapa infotainmen booming di negeri ini? (padahal gibah-fitnah)

mengapa info itu penting hingga ada BIN di tiap negeri? (ngintip méméh nguntup; Sunda: mengintip sebelum menyanggupi …)

orang/peristiwa bikin info atawa sebaliknya?

info (informasi) itu amanat (perintah) : fitnah (ujian) = anak (@Proisi 20160828).

- #Pak_Karni, siapa yang omong: “Orang lebih suka celaka oleh pujian daripada selamat oleh kritikan” (?). Terima kasih, #ILC (@Ojeg Mang Omo 20161112).

Dingin Telinga

Core dari wacana di atas adalah ajukan kata tanya ‘mengapa’, yakni mengapa ada isu atau mengapa muncul kritik karena sudah jelas secara de facto bahwa semua orang di era informasi ini butuh info, sekalipun itu hoax; serta secara de jure dituntut kearifan dari penguasa untuk introspeksi perihal manuver dan kebijakannya, kaitannya dengan semangat reformasi (transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas), yaitu jangan-jangan niat berantas isu hoax itu—ternyata—telah didahului oleh wacana dan aksi penguasa yang anti-reformasi.

Mengapa isu menimbulkan reaksi malah demo (demonstrasi)? Ini sudah jelas, berarti isu itu hoax!

Bagaimana dengan kasus Ahok kini; apakah Ahok sumber hoax atau Ahok sekadar ber-haok sebagaimana trademark-nya? Saya jawab: “No comment!” Di esai ini, saya hanya ingin mengingatkan Ahok dan penguasa pada umumnya soal risiko pemimpin.

Sebenarnya, saya telah menulis di rubrik politik dengan judul “Memilih Pemimpin” dimuat pada 9/9/16, namun saya hapus karena ada foto keluarga saya. Di alinea terakhir tulisan itu, berbunyi: “Pemimpin ialah orang berani karena berani memikul tanggung jawab orang lain dan orang banyak. Kita sepakat bahwa tidak semua dari kita itu pemberani. Yang fatal adalah apabila kita salah memilih pemimpin, ternyata pengecut!”

Nah, kata kunci dari menjadi pemimpin adalah ‘berani’, yakni berani di awal, di tengah, dan di akhir kepemimpinannya; bahkan dalam doktrin Islam disebutkan bahwa yang pertama dihisab kelak di akhirat ialah pemimpin. Berarti, wow, pemimpin itu memang orang berani yang telah memperhitungkan risiko semasih di bumi dan di akhirat nanti.

Kita harus bedakan ‘berani’ dengan ‘nekat’. Berani itu penuh perhitungan, sedangkan nekat tanpa perhitungan. Jika berani menjadi pemimpin—atau mengambil keputusan—karena sendiri, biasanya kita telah tahu risiko dan siap menanggung sendiri dan be silence. Tetapi atas nama nekat dan apalagi tersugesti oleh ‘diojok-ojok’ sekitar, wah, alamat pengecut dan ajak-ajak sekitar untuk menanggung akibat.

Bagi kita (penguasa dan rakyat), minimalisasilah dari kritikan atau gunjingan biar ‘ti-is ceuli’ (Sunda: dingin telinga alias suci dari omongan) dengan aktualisasi semangat reformasi tadi; juga cek dan ricek isu agar kita terhindar dari gibah dan fitnah. Saya yakin telah kita ketahui bersama bahwa fitnah itu lebih ‘kejam’ daripada membunuh (QS 2: 217).

Bandung, 20 Desember 2016.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun