Sebenarnya, saya telah menulis di rubrik politik dengan judul “Memilih Pemimpin” dimuat pada 9/9/16, namun saya hapus karena ada foto keluarga saya. Di alinea terakhir tulisan itu, berbunyi: “Pemimpin ialah orang berani karena berani memikul tanggung jawab orang lain dan orang banyak. Kita sepakat bahwa tidak semua dari kita itu pemberani. Yang fatal adalah apabila kita salah memilih pemimpin, ternyata pengecut!”
Nah, kata kunci dari menjadi pemimpin adalah ‘berani’, yakni berani di awal, di tengah, dan di akhir kepemimpinannya; bahkan dalam doktrin Islam disebutkan bahwa yang pertama dihisab kelak di akhirat ialah pemimpin. Berarti, wow, pemimpin itu memang orang berani yang telah memperhitungkan risiko semasih di bumi dan di akhirat nanti.
Kita harus bedakan ‘berani’ dengan ‘nekat’. Berani itu penuh perhitungan, sedangkan nekat tanpa perhitungan. Jika berani menjadi pemimpin—atau mengambil keputusan—karena sendiri, biasanya kita telah tahu risiko dan siap menanggung sendiri dan be silence. Tetapi atas nama nekat dan apalagi tersugesti oleh ‘diojok-ojok’ sekitar, wah, alamat pengecut dan ajak-ajak sekitar untuk menanggung akibat.
Bagi kita (penguasa dan rakyat), minimalisasilah dari kritikan atau gunjingan biar ‘ti-is ceuli’ (Sunda: dingin telinga alias suci dari omongan) dengan aktualisasi semangat reformasi tadi; juga cek dan ricek isu agar kita terhindar dari gibah dan fitnah. Saya yakin telah kita ketahui bersama bahwa fitnah itu lebih ‘kejam’ daripada membunuh (QS 2: 217).
Bandung, 20 Desember 2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H