Mohon tunggu...
Aluzar Azhar
Aluzar Azhar Mohon Tunggu... Freelancer - Penyuluh Agama Honorer

Berbuat baik kok malu, jadi weh ...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Solusi Macet di Jalan AH Nasution Kota Bandung

15 September 2016   03:36 Diperbarui: 26 Oktober 2016   21:11 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasar Ujungberung 7 Desember 2010, dijepret di biskota Kebon Kalapa - Cibiru yang lagi laju; sumber foto: koleksi pribadi

Solusi macet ini saya dedikasikan untuk Jalan AH Nasution (dari Terminal Cicaheum hingga Bundaran Cibiru, Kota Bandung) dengan jarak kurang-lebih 10 kilometer, yang hampir tiap hari terlewati sekitar 38 tahun, sehingga secara alami pula ‘terperhatikan’ perkembangannya.

Solusi yang ekstrem, jangan pakai kendaraan bermotor kalau melewati JAHN (Jalan AH Nasution).

Tentu tidak bisa. Karena semuanya berargumen demi kepraktisan, meski di mobil hanya berisi seorang; meski satu keluarga tiap anggota pakai motor sendiri; meski angkot plus ojek motor-mobil dari armada swasta bertambah; meski biskota ditambah atau sekalian Bandros (Bandung Tour on the Bus) dikerahkan. Ya, tetep, macet.

Esai ini tidak menyajikan solusi yang ‘aktual’. Tetapi mari ‘napak tilas’. Mengatasi persoalan macet di JAHN, ya kenali dulu penyebabnya.

Kiranya, samalah dengan jalan-jalan atau kota-kota lain. Faktor penyebab macet yang ‘klasik’ di JAHN adalah bertambahnya volume kendaraan, sedangkan luas jalan masih tetap, bisa dibilang tetap sama sejak 20-an tahun yang lalu.

Muncul isu, di setiap persimpangan JAHN dan di pasar Ujungberung akan dibangun fly-over; bahkan sejak 1992, saya mendengar kabar akan ada pelebaran jalan 12 meter per sisi = 24 meter. Realisasinya, seingat saya, paling 3 meteran di tiap sisi dan ini pun di beberapa titik, tidak di sepanjang JAHN.

Terus terang, yang mengagetkan adalah pesatnya pembangunan fasilitas-fasilitas (swasta) ‘strategis’ di pinggir jalan seperti supermarket, kawasan ruko, dan SPBU. Tentu hal ini tidak akan terjadi kalau tidak ada pembeli; dan pembeli ini pun ternyata berasal dari perumahan baru. Berarti bergitu mudah developer mendapat izin pembangunan properti perumahan, tanpa memikirkan efek macet jalan.

Dimohon ingat pula bahwa dampak pembangunan fasilitas dan properti itu menyebabkan debit dan kualitas air berkurang; serta dampak lainnya seperti perumahan yang saya tinggali—konon, perumahan pertama di Jawa Barat karena diresmikan oleh Gubernur Aang Kunaefi, 1977—menjadi tidak kuldesak (buntu) lagi; menjadi blung-blong alias jalan perumahan jadi jalan umum, sehingga beberapa waktu terjadi ‘musim’ pencurian motor karena begitu mudahnya akses keluar-masuk perumahan.

Pertambahan penduduk dan urbanisasi memang ‘hukum alam’. Namun, mari jangan kalah oleh ‘alam’. Karena, kini, saya punya definisi bahwa ‘kota’ identik dengan macet; dan berkendaraan di kota bikin stres, maka orang kota identik dengan orang stres. Kalau sudah stres, bukan keuntungan bagi psikiater atau psikolog; juga macet menguntungkan bagi pedagang asongan saja; tapi justru kerugian bagi semua pihak.

Sungguh besar kerugian dari macet; priceless! Jika akademisi bilang bahwa macet itu soal ‘volume’ tadi, maka sopir angkot akan bilang bahwa macet itu satu lembar nyawa keluarganya melayang karena tidak bisa memenuhi target setoran harian; berbeda dengan sopir taksi argo, seingat saya justru diuntungkan kalau macet.

Di JAHN pun, saya memperhatikan ada beberapa titik menjadi pasar ‘kongkalikong’. Saya tidak menyebut pasar ‘tumpah’ karena mereka ditagih retribusi kok. Realita ini tentu legitimasi yang memprihatinkan. Di sini, saya mengingatkan, dimohon untuk memikirkan kepentingan yang lebih banyak; pengguna jalan lebih banyak daripada yang jualan di pinggir jalan yang menimbulkan kemacetan.

Apa atuh Solusinya?

Karena, konon, JAHN itu jalan raya nasional, maka stakeholder nasional pun harus urun rembuk (lihat, misalnya, sumber: dari sini, akses: 15/9/2016).

Kemudian, segala cara yang pernah atau akan diaplikasikan untuk mengatasi macet pada intinya adalah kesinambungan dan kedisiplinan—terutama—dari aparat menerapkan aturan. Patut juga dicoba di JAHN, misalnya: three in one, nopol ganjil/genap, atau Jum’at bersepeda.

Kedisiplinan pengguna jalan karena stres tadi memang memprihatinkan. Bakal ketahuan kok siapa atau apa penyebab macet kalau dipasang CCTV di titik-titik rawan macet.

Kesungguhan aparat dengan industri otomotif nasional, saya pikir bisa meminimalisasi kendaraan ‘tidak produktif’ karena begitu mudahnya mendapat kredit kendaraan bermotor. Saya juga mendengar kabar bahwa di Jepang, sebagai produsen otomotif terbesar di dunia, melarang warganya punya mobil jika tidak punya garasi. Wah, ini, saya setuju!

Adapun yang ‘urgen’ tentu di tiga titik pertemuan/penyempitan JAHN, yakni: (1) Terminal Cicaheum ke arah timur; (2) pasar Ujungberung; dan (3) Bundaran Cibiru ke arah barat. Nomor (1) dan (3), mungkin mendesak dibangunfly-over; sedangkan nomor (2) mendesak dibangun gedung minimal 3 lantai plus basement untuk parkir dan bongkar-muat kebutuhan pasar.

Memang akan menyedot biaya fantastis. Namuan seperti saya bilang tadi, mulailah dengan pembangunan yang berkesinambungan, yakni bersifat antisipatif; atau nyicil-lah dengan aturan-aturan alternatif mengatasi (kuratif) macet.

Saya sekadar mengajukan ‘peringatan’ bagaimana kalau kita manfaatkan produk IT seperti gawai hape atau medsos online, misalnya untuk mengurangi macet ya gunakanlah SMS, yakni segala aktivitas kantoran (negeri atau swasta) yang bisa dilakukan di rumah; atau segala administrasi antara Rakyat dengan Pemerintah cukuplah dengan pesan singkat (SMS)—konon, sekarang ada software SMS ‘Gateway’ yang bisa diaplikasikan di instansi dan diakses di rumah. Jadi menghemat waktu (tidak macet, sehingga produktif di rumah) dan hemat biaya (tanpa bensin dan tanpa biaya parkir).

Semoga berkenan dan bermanfaat. Terima kasih.

Bandung, 15 September 2016.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun