Solusi macet ini saya dedikasikan untuk Jalan AH Nasution (dari Terminal Cicaheum hingga Bundaran Cibiru, Kota Bandung) dengan jarak kurang-lebih 10 kilometer, yang hampir tiap hari terlewati sekitar 38 tahun, sehingga secara alami pula ‘terperhatikan’ perkembangannya.
Solusi yang ekstrem, jangan pakai kendaraan bermotor kalau melewati JAHN (Jalan AH Nasution).
Tentu tidak bisa. Karena semuanya berargumen demi kepraktisan, meski di mobil hanya berisi seorang; meski satu keluarga tiap anggota pakai motor sendiri; meski angkot plus ojek motor-mobil dari armada swasta bertambah; meski biskota ditambah atau sekalian Bandros (Bandung Tour on the Bus) dikerahkan. Ya, tetep, macet.
Esai ini tidak menyajikan solusi yang ‘aktual’. Tetapi mari ‘napak tilas’. Mengatasi persoalan macet di JAHN, ya kenali dulu penyebabnya.
Kiranya, samalah dengan jalan-jalan atau kota-kota lain. Faktor penyebab macet yang ‘klasik’ di JAHN adalah bertambahnya volume kendaraan, sedangkan luas jalan masih tetap, bisa dibilang tetap sama sejak 20-an tahun yang lalu.
Muncul isu, di setiap persimpangan JAHN dan di pasar Ujungberung akan dibangun fly-over; bahkan sejak 1992, saya mendengar kabar akan ada pelebaran jalan 12 meter per sisi = 24 meter. Realisasinya, seingat saya, paling 3 meteran di tiap sisi dan ini pun di beberapa titik, tidak di sepanjang JAHN.
Terus terang, yang mengagetkan adalah pesatnya pembangunan fasilitas-fasilitas (swasta) ‘strategis’ di pinggir jalan seperti supermarket, kawasan ruko, dan SPBU. Tentu hal ini tidak akan terjadi kalau tidak ada pembeli; dan pembeli ini pun ternyata berasal dari perumahan baru. Berarti bergitu mudah developer mendapat izin pembangunan properti perumahan, tanpa memikirkan efek macet jalan.
Dimohon ingat pula bahwa dampak pembangunan fasilitas dan properti itu menyebabkan debit dan kualitas air berkurang; serta dampak lainnya seperti perumahan yang saya tinggali—konon, perumahan pertama di Jawa Barat karena diresmikan oleh Gubernur Aang Kunaefi, 1977—menjadi tidak kuldesak (buntu) lagi; menjadi blung-blong alias jalan perumahan jadi jalan umum, sehingga beberapa waktu terjadi ‘musim’ pencurian motor karena begitu mudahnya akses keluar-masuk perumahan.
Pertambahan penduduk dan urbanisasi memang ‘hukum alam’. Namun, mari jangan kalah oleh ‘alam’. Karena, kini, saya punya definisi bahwa ‘kota’ identik dengan macet; dan berkendaraan di kota bikin stres, maka orang kota identik dengan orang stres. Kalau sudah stres, bukan keuntungan bagi psikiater atau psikolog; juga macet menguntungkan bagi pedagang asongan saja; tapi justru kerugian bagi semua pihak.
Sungguh besar kerugian dari macet; priceless! Jika akademisi bilang bahwa macet itu soal ‘volume’ tadi, maka sopir angkot akan bilang bahwa macet itu satu lembar nyawa keluarganya melayang karena tidak bisa memenuhi target setoran harian; berbeda dengan sopir taksi argo, seingat saya justru diuntungkan kalau macet.
Di JAHN pun, saya memperhatikan ada beberapa titik menjadi pasar ‘kongkalikong’. Saya tidak menyebut pasar ‘tumpah’ karena mereka ditagih retribusi kok. Realita ini tentu legitimasi yang memprihatinkan. Di sini, saya mengingatkan, dimohon untuk memikirkan kepentingan yang lebih banyak; pengguna jalan lebih banyak daripada yang jualan di pinggir jalan yang menimbulkan kemacetan.