Mohon tunggu...
Aluska Alus
Aluska Alus Mohon Tunggu... -

the deeper wisdom bringing in its own way the special request to pass

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta Terlara Negeri Ini

22 Januari 2014   09:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:35 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku memilih untuk tidak mau mengerti. Bagaimana mungkin ada yang melakukan kekejian atas nama cinta. Benarkah itu cinta? Negeri ini menyimpan lara sepanjang garis pantai dan hamparan lembah dan gunungnya untuk mepersatukan yang banyak menjadi satu dalam cinta. Negeri yang tanahnya bersimbah darah untuk menolak keangkaraan,  ternyata masih juga harus dijungkirbalikkan dengan alasan yang mengada ada. Aku memilih untuk tidak mengerti.

Aku membolak balik segala literatur. Berusaha menggali kedalaman akar pemasalahannya. Dan, terhenyak kepada siapa harus kutumpahkan segala ketidakmengertian ini, kemarahan dan kekecewan yang membuncah menyesaki dada, karena semua itu tak lain hanya demi kekuasaan. Bukan enak aku mengabarkannya. Jika pun aku mampu aku hanya ingin mengayak segala sesuatu bukan untuk mengingat ampasnya tetapi kebeningansecairnya  yang pernah kita punya.

Aku bosan mendengar kepongahan yang bersanding dengan kebebalan yang memaksa. Semuanya. Akupun tak kalah kukuh tetap percaya negeri ini sang empunya keluhuran semesta yang akan teramat sulit diganggu gugat. Tapi, aku pun tahu, pokok pokok hutan jati negeri ini  kayunya tak lagi mengeras, yang ada menggapuk. Terlihat kokoh, tapi rayap rayap bersembunyi menggerogotinya. Aku marah.

Kita berontak, melawan gigih terhadap suatu masa. Kita bersikukuh menyatakan ini saatnya yang baru. Kita bongkar. Kita bersikeras kita mampu menyusunnya kembali. Sesuai rasa cinta kita.

Kita juga lah yang bermain main menyusun seolah negeri ini tak lebih dari bongkahan bongkahan batu dan kayu. Ketersusunan tanpa cita rasa. Yang ada ini rasa saya, rasa dia, rasa kami, rasa mereka, rasa yang seolah mengkita, tapi senyatanya tdak mampu merabuk tanah negeri ini. Dari pokok pokok kayu, rayap rayap itu telah mencoba membangun istana istana sarangnya sekedalaman tanah negeri ini.  Kita membiarkan rayap rayap itu semakin liar.  Antara yang mempertahankan dan yang dipertahankan menjadi kacau sebalaunya.

Mulut mereka bicara, tapi rayap telah merangkak menutupi hatinya, terlebih tindakannya. Tidak ada keselarasan. Serasa mereka memandang percuma darah yang pernah tertumpah menebus merdeka. Mereka sanggup menangis nangis menceritakan segala cerita kepahlawanan negeri ini, bahkan mengaku dialiri darah pahlawan. Tapi rayap rayap itu tidak bisa dibohongi. Rayap rayap itu mudah menghuni jiwa jiwa yang rakus tapi rapuh.

Negeri terfragmentasi dengan berbagai karakter yang berbahasa terdengar seragam: "Kita harus berkuasa atas negeri ini. Di luar kita bukan kita." Siapa kita? Negeri ini pernah bercerita tentang kita, tapi sekarang kita bertanya kita itu siapa.

Kekuatan yang berhalus dengan kecurangan, kelihatan seakan mampu meredam. Meredam, tapi mempersatukan? Tidak juga. Kebajikan leluhur itu hanya menjadi kosmetik. Laras bedil itu lebih banyak terpaksa disamar samarkan tapi sekaligus ditampak-tampakkan. Kebersatuan yang semu hanya menunggu titik ledaknya ketemu.

Dan, kita semua lelah. Dalam waktu singkat menjadikan kita lemah. Kita tidak peduli yang penting terkendali. Tapi kelemahan tidak berarti kepasrahan. Kepasrahan adalah penuntun abadi, kita tidak ingin lagi dikendalikan oleh jiwa jiwa yang telah meraph membiarkan rayap rayap mengendalikan mereka yang masih bersyahwat membuat kita lemah. Kita tidak lemah. Kita pasrah bahwa negeri ini tak seharusnya memiliki cinta yang terlarai.

Kepasrahan membuka mata kita meneliti mereka yang kembali menyamar dengan wajahnya yang lain. Mereka mampu membahasakan apa yang kita cita citakan sambil menyembunyikan raksasa mengerikan dihatinyanya. Bisa bisanya mereka memoles diri. Berbaik baik membawa perannya masing masing. Mereka telah menyusun dalih sebelum bertindak. Kita terhenyak mendengarkan kesaksian demi kesaksian. Mereka sebegitu yakin mereka memegang aksara dan fatwa. Mereka punya kuasa atas segala titah. Mereka menimbun emas dan bara Mereka meyakinkan untuk menjadi mereka perlu segala sumber daya. Siapa yang menentukan sumber daya itu?  Mereka menganggap segala sesuatu dapat dibeli. Segala diubah  jadi berhala.

Terdengar luhur lagi bijak. Di tengah segala bencana demi bencana, mereka ingin tetap terdengar. Mereka ingin menjadi penentu segalakecenderungan. Bagi mereka cinta itu tidak ada apa apanya, jika cinta itu tidak memiliki segalanya. Itu harus kata mereka, bagaimana mungkin bicara tentang cinta kalu kita tidak punya apa apa. Cinta bagi mereka harus terekayasa dengan pematerian akan segala hal,  bagi mereka itu sangat penting, tak boleh diabaikan. Selain itu lebih baik bunuh diri. Bagaimana mau kasih makan anak istri, bukan sekadar memberi makan, tetapi membuat istrinya bisa mencicipi segala macam kuliner sekaligus menjaga berat badan. Menyekolah anak anaknya, bukan sekadar sekolah tapi juga yang bisa memberi anaknya ekstra kurikuler berkuda dan fasih 3 bahasa. Bukan hanya memiliki kendaraan, tetapi satu satu termasuk pembantu. Bukan hanya liburan, instagram istri dan anak anaknya akan berisi cerita keluarga berpunya, berkelas, dan tentu saja berbahagia tiada pernah susah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun