Mohon tunggu...
Aluska Alus
Aluska Alus Mohon Tunggu... -

the deeper wisdom bringing in its own way the special request to pass

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta Terlara Negeri Ini

22 Januari 2014   09:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:35 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terdengar dentuman sekali, beberapa kali. Dentuman?. Subuh subuh begini? Mungkin petasan. Tapi bunyinya memekakkan gendang telinga. Siapa pula yang terlampau sembrono memasang petasan sepagi ini?

Petasan dibakar untuk perayaan bukan? Paling tidak, ketika sumbu disulut, panas apinya menjalar menyentuh bubuk mesiu, berdentum, tak lebih dari sekadar simbol seperti tetabuhan menyambut sesuatu yang baru. Entahlah, mudah mudahan dentum petasan. Siapapun yang memasang, mudah mudahan sudah ditegur, di marah-marahi, diumpat tetangga tetangganya atau pak RT dan penjaga masjid. Dentuman itu, beberapa kali, mengganggu pagi yang selayaknya dibiarkan damai.

Bukan dentuman itu yang membangunkanku. Aku telah bangun. Akupun tidak terkejut. Aku tidak terganggu. Hanya bertanya siapa manusia, yang menurutku harus dipentung, membakar petasan subuh begini. Mudah mudahan, mereka terbirit birit dikejar hansip. Pembuat onar pagi hari.

Dentuman itu mengingatkanku suatu pagi. Belum lama aku tiba. Membuka baju. Tiba tiba terdengar dentuman yang mustinya dahsyat. Kamarku bergetar seperti tertimpa gantungan gondola pembersih kaca. Pikiran pertamaku adalah cepat cepat kembali berpakaian. Jika terjadi apa apa, paling tidak aku diketemukan berpakaian lengkap. Aku tidak ingin diketemukan hanya berpakaian dalam, setengah telanjang.

Aku mencari tahu. Di jaringan internal itu terdengar simpang siur semua ingin bertanya yang sama denganku. Jadi aku hanya menyimak. Aku terkejut mendengar percakapan panik yang sahut menyahut tidak keruan. Aku menangkap dan mencernanya. Dentuman itu berisi pesan amarah. Bukan lagi amarah tapi angkara.

Aku tidak menggigil. Tapi baru saja aku meliwati jalan itu. Belum sepuluh menit yang lalu. Jadi terbayang, seandainya saja aku tengah liwat disana bersamaan dengan dentuman yang menggelegar merobek pagi. Terbersit selintas biarlah aku saat yang sama melayang di kefanaan menyaksikan tubuhku tercabik cabik tanpa tahu apa yang terjadi. Aku segera menepis bayangan itu. Aku tidak ingin DIA berpikir itu mauku sebelum waktuNYA.

Dadaku sesak. Aku marah. Aku kecewa, tapi lebih dikarenakan menyaksikan sampai sejauh itu yang kudengar hanya kata kata tanpa cinta. Kering kerontang hanya berisi cerita dentuman dan korban. Ya, aku tahu memang harus begitu, tetapi tetap bagiku ini adalah cerita tentang negeri yang tengah berusaha menyatukan cintanya yang dikoyak, terserpih.

Dentuman subuh ini, yang mudah-mudahan petasan, mengilas ingatanku menyusur garis cinta negeriku terlarai sumbu bermesiu. Aku masih ingat ketika sengketa sepele, katanya begitu, menyulut amarah berdarah di pagi yang mustinya berisi keakraban yang mampu memaafkan. Aku bertanya. Aku mendengar. Aku membicarakannya. Aku menyampaikannya. Aku pun termasuk yang dimarahmarahi, bahkan dituduh sebagai penyebab. Aku membaca tekun. Aku pun ingin tahu apa yang tengah terjadi. Aku serius berpikir adalah mudah menginjak kaki memadamkan api amarah itu sebelum menyambar kemana mana. Tapi, tidak! Ada letup letup amarah yang selama ini tersembunyi dari umbaran permukaan. Saling kait mengait, memaksa bersanding. Para pengantin yang rela mati sebelum menuju pelaminan.

Belum lagi satu selesai. Yang tidak kalah keji menyusul terjadi. Bahkan aku duduk disitu mendengarkan segala cerita yang terpaksa kudengar tanpa rasa. Aku menyaksikan sepotong peristiwa yang diabadikan. Persis seperti peristiwa yang pernah kusaksikan waktu itu ketika kedua belah pihak saling mengancam sehingga melakukan di luar logika. Apakah itu yang harus dilakukan untuk menguasai lahan yang kemudian kita, mereka, akan banggakan sebagai negeri buah perjuangan.

Aku tidak bisa mengerti. Kita dan mereka memuja muja betapa negeri yang mereka bela. Tapi, untuk mendapatkannya semua pihak harus bersimbah darah. Kehilangan nyawa. Ada yang bisa kumengerti dan percaya semua itu demi cinta yang mengharu sangat dan bersyukur ada yang tidak berpikir lain kecuali melakukan pembebasan.

Tapi kali ini apakah juga karena cinta?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun