Aku tiba tiba muntah. Muntah di ruang tamuku sendiri. Aku tidak peduli. Aku semuntah-muntahnya. Yang keluar lagi lagi hanya cairan lendir putih. Itu saja. Aku mengelap mulutku yang penuh liur. Mengelap mataku yang berair. Aku melonjorkan kakiku di sofa. Aku biarkan muntahku yang sedikit itu tetap di lantai. Nanti saja kubersihkan.
Tiba tiba aku ingin muntah lagi. Aku hampir yakin pernah bertemu dengan salah satu jagal itu. Wajahnya sungguh bukan wajah seorang jagal. Wajahnya biasa biasa saja.
Inikah saatnya? Sebagaimana yang pernah dijanjikannya padaku waktu itu? Dia tampak sangat sadar dan tidak peduli akan dampak kesaksiannya. Tanpa merasa bersalah, dia dan temannya bercerita tentang pembunuhan yang mereka lakukan. Walau dia mengatakan tidak menyesal karena menurutnya dilakukannya atas permintaan 'negara', aku yakin dia dan temannya menceritakan peristiwa yang terjadi hampir 50 tahun yang lalu sebagai pengobatan batin, membersihkan nurani di usia senja mereka. "Ini harus berani diungkap," kata dia. Demi keadilan sejarah?
Dia pembunuh.
Bukankah aku juga.
Aku muntah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H