Mohon tunggu...
Aluska Alus
Aluska Alus Mohon Tunggu... -

the deeper wisdom bringing in its own way the special request to pass

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jagal

27 Januari 2014   08:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:26 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sesampai di rumah, aku berpikir akan pingsan. Pingsanlah baik baik di rumah. Ternyata tidak, malah aku mendapatkan diriku baik baik saja. Sementara aku mencerna atas apa yang kualami, begitu saja menyelinap dalam pikiranku sepertinya aku mengenal orang yang ada dalam kesaksian yang baru kulihat.

Wajah itu kembali membayang. Samar, tapi mirip dengan yang baru saja kusaksikan.

Aku suka sejarah. Aku suka mempelajarinya. Aku bangga akan sejarah. Itu semua harus terjadi demi kebenaran ditegakkan. Jika kemudian timbul penafsiran berbeda. Itu soal lain. Soal nanti.

Aku ingat dia ada dalam rombongan. Ada beberapa orang bule. Aku semangat menceritakan peristiwa itu seolah aku ada di dalamnya. Aku ingat dia mendekati dan bertanya padaku: "Kamu percaya dengan ini semua?" Aku mengangguk kuat, bangga.Paling tidak itu yang aku pelajari di bangku sekolah dan dari referensi yang ada.

"Ah, kamu masih terlalu muda," keluhnya. "Kamu percaya?" ulangnya seakan menguji keteguhan anggukan kepalaku.

Aku jadi tertarik kenapa dia mengatakan begitu. Dia berusaha meyakinkanku bahwa yang terjadi tidak seperti yang kutahu, yang dengan bangga kuceritakan. Aku kesal dan jadi mendesak dia menjelaskan apa maksudnya meragukan itu semua. Dia dapat merasakan kekesalanku. "Nanti, nanti, kamu juga akan tahu." Aku tidak mendesaknya lebih jauh, aku memutuskan dia mungkin hanya salah seorang yang kecewa. Atau, atau sebetulnya dia salah satu korban yang harus terpaksa berganti identitas.

Aku sempat menanyakan kenapa dia ikut dalam rombongan ini. Bukan rombongan, kelompok kecil saja, hanya beberapa orang. Dia salah satunya. Sedari tadi aku juga bertanya tanya dalam hati, ngapain si tampang melayu yang tidak tampak sedang iseng liburan ikut dalam rombongan yang menapaktilasi sejarah hitam negeri ini. Untuk apa? Sekadar untuk meragukan pengetahuanku tentang sejarah? Kurang ajar.

Aku tidak melupakan apa yang disampaikan si tampang melayu itu. Ya, banyak desas desus dan lembar resmi yang kubaca juga kemudian. Tapi aku juga yang bersikeras bahwa itu harus terjadi karena membela kebenaran. Bukankah orang harus memilih.

Ingatanku itu mendorongku mengulangi lagi menyaksikan kesaksian itu. Aku perhatikan sungguh sungguh. Ya, Tuhan, aku memang tidak begitu yakin. Tapi dari gayanya berbicara mengingatkanku pada seseorang yang pernah mengatakan bahwa suatu saat aku akan tahu yang sebenarnya terjadi.

Aku jadi berpikir bahwa jika benar itu dia,  yang kupikir ya, apakah mungkin dia ada dalam rombongan itu karena dia tengah membenahi suara hatinya. Ia agak terganggu ketika aku dengan bangga bercerita bahwa semua ini harus terjadi karena suatu kebenaran harus dimenangkan. Dan, pihak 'mereka'lah yang kejam.

Aku tergugu melihat dia, kurasa memang dia, mengatakan bahwa bukan mereka yang kejam, pihak kita yang kejam. Benarkah begitu? Apakah dia memang pernah sekejam itu? Apa yang ada dalam pikirannya ketika dia tanpa hati melakukan demi sesuatu yang dikatakan benar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun