Mohon tunggu...
Aluska Alus
Aluska Alus Mohon Tunggu... -

the deeper wisdom bringing in its own way the special request to pass

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perayaan Tahun Baru = Pesta Seks?

3 Januari 2015   15:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:54 890
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mumpung masih hari ketiga di tahun 2015 ini, masih gres, cobalah buat survei, cukup di antara teman teman dekat atau di lingkungan keluarga, siapa di antara mereka yang merayakan Tahun Baru dengan Pesta Seks? Tidak akan ada yang mau mengaku. Siapa berani. Itu dosa. Kalau begitu, coba buat survei dengan pertanyaan tunggal untuk diri sendiri "Apakah ngerayain Tahun Baru dengan Pesta Seks?

Apakah ada yang pernah mengalami (melakukan) perayaan Tahun Baru dengan berpesta seks? Atau, tidak ikut melakukan, tetapi menyaksikan dengan mata kepala sendiri sebuah pesta seks di malam Tahun Baru? Atau, ada yang sudah merancang jauh jauh hari untuk merayakan Tahun Baru dengan Pesta Seks? Mungkin saja ada, tetapi tidak akan ada yang mau mengakuinya secara sukarela. Karena, kalau ada, yang nyebarin dengan bangga, bisik bisik sekalipun,  "asyik bakal pesta seks nih pas malam tahun baru", itu sakit namanya.  Apakah ada? Silahkan jawab survei itu dengan jujur.

Perayaan Tahun Baru sama dengan Pesta Seks? Perayaan Tahun Baru terlampau hingar bingar untuk berpesta seks, karena pesta Tahun Baru itu biasanya perayaan yang dilakukan beramai ramai. Di tempat yang banyak orangnya.   Kecuali memakai obat, stimulan tertentu, sulit orang normal melakukan hubungan seks di tempat terbuka. Coba saja. Perayaan, pesta, biasanya dilakuka di ruangan besar, di halaman, di jalanan, beramai ramai. Namanya juga pesta.

Adakah yang merayakan Tahun Baru dengan Pesta Seks? Mungkin saja. Tetapi, dapat dipastikan orang orang yang merayakan Tahun Baru seperti itu bukan untuk merayakan Tahun Baru. Orang orang yang merayakan dengan cara seperti itu memang berniat berpesta seks, perayaan Tahun Baru hanya sebagai momentum saja.

Apa itu Pesta Seks? Semua tahu apa itu pesta. Tidak bisa disebut pesta kalau cuma berdua, bertiga, berempat, bahkan bersepuluh. Itu namanya ngumpul ngumpul. Bagaimana membayangkan menghadiri sebuah Pesta Seks? Waktu pergi ke pesta berpakaian lengkap, lengkap seksinya. Sampai di tempat pesta, ngobrol ngobrol, makan minum, alkohol, narkoba, musik, kemudian mulai ada yang buka baju, dan tanpa bak bik buk ngeseks? Beramai ramai, gonta ganti pasangan sepuasnya? Apakah ada orang normal, yang lagi jatuh cinta tergila gila sekalipun, atau yang bernafsu besar sekalipun yang dengan sontoloyonya berhubungan seks di tengah pesta? Bahkan yang memiliki libido besar saja, dan sudah kebelet pengen ngeseks, tidak akan keblinger melakukannya di sebuah pesta. Kecuali, memang itu dilakukan oleh komunitas penggemar berat orgy. Pesta seks seperti itu, mungkin saja. Ada di blue film.

Perayaan Tahun Baru dengan Pesta Seks? Kalau pun ada, sudah pasti dilakukan di ruangan tertutup karena kalau dilakukan terbuka sebagaimana sebuah pesta sudah pasti digrebek polisi. Bahkan di negara maju, sebutlah di Amerika, Jepang, Korea Selatan, di negara negara Eropa, kalau ada orang yang nekad merayakan Tahun Baru dengan Pesta Seks pasti akan digrebek oleh polisi. Alih alih merayakan pesta tahun baru, malah bererot ngantri di foto di kantor polisi untuk pemberkasan. Pasti ada orang orang yang melaporkan pesta nista itu kepada polisi. Pasang musik keras keras aja sampai tetangga geregetan bisa diadukan ke polisi, apalagi pesta seks.

Bahwa kemungkinan setelah perayaan Tahun Baru ada yang ngelencer pergi entah kemana untuk melakukan hubungan seks dengan pasangannya, apakah itu dengan legal ataupun tidak legal, itu adalah ekses, yang harus dipastikan tidak ada hubungannya dengan perayaan Tahun Baru. Kecuali emang pengen ngeseks. Jelas itu bukan dosa, jika yang melakukan adalah suami-istri (di ruang tertutup bukan yang bisa ditonton rame rame). Jika dilakukan oleh yang bukan pasangan suami-istri (legal, resmi, pakai akad nikah dan surat nikah), semua akan bersepakat itu adalah DOSA yang akan mengantar orang orang yang melakukannya dibakar api neraka.

Siapa disini yang merayakan Tahun Baru dengan PESTA SEKS? Apakah ada yang nekad menyelenggarakan Pesta Seks di Tahun Baru. Atau ada yang tahu pasti memang telah terjadi pesta seks di perayaan tahun baru? Jangan dibalik. Perayaan Tahun Baru tidak bisa diidentikkan dengan Pesta Seks! Yang ada adalah, kalau memang ada yang merencanakan, Pesta Seks yang diadakan tepat di malam Tahun Baru.

Pada bulan Desember ini, ada koran koran yang juga beredar onlines memberitakan kenaikan penjualan kondom yang disinyalir dibeli oleh kaum muda untuk berpesta seks pada perayaan tahun baru. Dari pemberitaan koran koran tersebut tidak dinyatakan sound bite, cuplikan langsung dari sumber berita yang sahih, semisal dari pemilik gerai penjualan kondom atau wawancara dengan beberapa pembeli. Bagi wartawan adalah wajib melakukan kerja jurnalistiknya dengan langsung mendapatkan informasi dari si pelaku.  Jika itu itu adalah asumsi atas fenomena yang teramati, wartawan tersebut tetap harus memverifikasinya dengan sumber sumber yang terkait. Asumsi dapat dijadikan materi berita, namun asumsi itu pun harus diverifikasikan dengan sumber sumber yang sahih, bukan hanya atas pengamatan wartawan itu sendiri. Dari pemberitaan koran yang berbasis onlines itu hanya ditulis "kondom diborong" di sebuah gerai dengan asumsi akan dipergunakan untuk perayaan tahun baru. Terjadinya peningkatan booking kamar hotel, hotel melati atau hotel bintang lima yang diasumsikan dengan akan terjadinya sebuah PESTA SEKS. Kerja jurnalistik tidak mengizinkan penggiringan opini apalagi hanya atas sebuah asumsi. Tetapi, di komunitas media warga boleh boleh saja, karena tidak ada tuntutan 5W+1H dan kewajiban menyebutkan sumber berita secara akurat. Bahwasanya, telah berkembang fenomena ada yang menggunakan momentum Tahun Baru untuk melakukan hubungan seks, itu bisa saja terjadi. Hanya, harus disadari perkembangan seks di kalangan remaja sekarang ini bukan karena pesta Tahun Baru. Harus diteliti lebih mendalam kenapa kemudian remaja sekarang semakin permisif melakukan seks pra nikah? Harus diteliti secara seksama apa yang menjadi stimulan yang menyebabkan para remaja telah menganggap seks adalah kebutuhan mereka juga. Apakah fenomena menggejala pada semua remaja di seluruh Indonesia? Perlu diteliti karena bukan tidak mungkin mereka mendapatkan stimulan dengan melihat gaya hidup orang di sekitarnya, lingkungan terdekatnya sehari hari. Memang bisa saja ada orang orang yang mulutnya gampang sekali bicarain seks seperti makan kacang dengan gampang meluncur ungkapan ungkapan berbau seks dalam pergaulan sehari hari, namun bukan pelaku seks bebas. Tetapi, apa yang diharapkan dari anak remaja yang mendengarkan, melihat hal itu, yang tertangkap di benak mereka seks bukan lagi sesuatu yang sakral. Ada kemungkinan para remaja yang aktif menggunakan media sosialnya yang dengan gampang mendapat forward video mesum di gadgetnya, menyaksikan betapa bebas ngikik ngikik soal seks di medsos ayah, ibunya, oom, tantenya, ikut menikmati meme meme para wanita berpakaian minim yg beredar dengan bebasnya, kemudian para remaja ini mempersepsikan seks itu adalah hal yang lucu dan sudah lumrah bisa kejadian kapan saja diinginkan. Ada banyak stimulan sebagai variabel untuk mempelajari gejala ini.

Siapa disini yang pernah merayakan tahun baru dengan pesta seks? Siapa disini yang sekali dalam seumur hidupnya pernah merayakan tahun baru dengan berpesta seks? Apakah ada disini yang telah beberapa kali pernah ikut bertahun baru dengan pesta seks? Siapa yang selalu merayakan tahun baru dengan pesta seks? Atau, ada yang pernah setelah acara perayaan Tahun Baru memang telah urun rembug merencanakan dengan pacarnya "yuk ngerayain tahun dengan pesta ngeseks yuk."

Benarkah perayaan tahun baru ditandai dengan pesta seks di negara negara maju? Apakah ada yang pernah ikut pesta seks ketika mengikuti perayaan tahun baru di negara negara tersebut. Fenomena itu bisa saja terjadi, termasuk di Indonesia, tetapi jangan dipersepsikan bahwa PERAYAAN TAHUN BARU = PESTA SEKS, tetapisekarang ini ada kemungkinan gejala melakukan PESTA SEKS pada malam perayaan Tahun Baru. Orang keblinger kebelet pengen ngeseks mah gak mandang mandang waktu. Bisa kapan saja.

Selalu timbul kritikan terhadap perayaan Tahun Baru karena fenomena perayaan Tahun Baru yang dilakukan kemudian berkembang menjadi pesta hura hura. Seenaknya buang buang duit untuk sebuah pesta. Kritikan itu terjadi karena promo perayaan Tahun Baru yang ongkosnya sampai jutaan rupiah. Perayaan Tahun Baru yang dipersepsikan dengan pesta itu adalah fenomena yang sekaligus menggambarkan fakta membedakan kaum borjuis dan proletar. Pembedaan kelas itu terlihat dalam pesta pesta Tahun Baru. Itu sebabnya kemudian secara sosial sejak lama, mendunia, Tahun Baru dirayakan bersama sama, misalnya di jalanan. di lapangan terbuka. Kenapa? Pada dasarnya ingin menghilangkan pembedaan kelas. Perayaan Tahun Baru dengan menyalakan kembang api dan suara terompet di jalanan, dan atau di ruang terbuka, sebetulnya adalah upaya sosial masyarakat itu sendiri yang ingin menghilangkan perbedaan kelas. Di jalanan, mau kaya atau miskin, setengah kaya dan setengah miskin, mau kaya karena korupsi atau miskin karena malas, atau kaya karena kerja keras dan si miskin yang bekerja keras untuk keluar dari kemiskinan dapat bersama sama tanpa sekat merayakan pergantian tahun dengan bergembira bersama.

Tentu ada banyak pilihan untuk merayakan Tahun Baru. Tidak merayakannya juga tidak masalah. Tidak ada kewajiban apalagi Undang Undang yang menyatakan bahwa Tahun Baru wajib dirayakan. Orang orang dengan kemauannya sendiri berkumpul di tengah keramaian menikmati pesta kembang api, silahkan. Yang mau diam diam di rumah, atau di kamarnya sendirian, tidur seperti hari biasa juga tidak ada yang larang.

Namun, harus diakui, ada fenomena tertentu yang semakin dikembangkan di negara kita terhadap perayaan Tahun Baru. Satu hal yang harus digarisbawahi, perayaan Tahun Baru tidak identik dengan pesta (seks). Bahwasanya, di negara kita juga kemudian ada perayaan Tahun Baru dengan pesta warga, dapatkah hal itu dipersepsikan sebagai wujud kegembiraan bersama untuk menyambut datangnya Tahun Baru tanpa memandang status sosial?

Walau telah terjadi sejak dahulu kala, dapat kita perhatikan beberapa tahun terakhir ini semakin gencar difriksikan mengenai perayaan Tahun Baru. Friksi ini menyeret kekritisan emosional karena semakin diidentikkan bahwa perayaan Tahun Baru adalah "perayaan keagamaan" dari agama tertentu.   Untuk memperkuat argumen bahwa perayaan Tahun Baru adalah hanya dimiliki oleh agama tertentu didasari oleh kajian, di antaranya, adanya terompet dalam perayaan Tahun Baru. Beberapa kajian itu secara serius menandai perayaan Tahun Baru tidak boleh, haram hukumnya, untuk ikut dirayakan oleh agama tertentu karena perayaan Tahun Baru itu adalah perayaan keagamaan agama tertentu karena terompet itu.

Secara serius dan mendalam beberapa kajian juga menyertakan fakta fakta bahwa perayaan Tahun Baru adalah Tahun Masehi yang diidentikkan dengan agama tertentu. Kajian itu begitu mendalam sampai sampai yang membacanya mungkin akan merasa berdosa karena ikut merayakan Tahun Baru. Tidak ada yang salah jika ada yang mau mengaitkan tahun masehi dengan agama tertentu. Hanya, cobalah teliti sedalamnya, kalau pun mau dikaitkan dengan agama Yahudi, misalnya, bangsa Yahudi menggunakan penanggalan yang sangat berbeda dengan sistem penanggalan Tahun Masehi. Sistem penanggalan bangsa Yahudi adalah dengan memakai masa edar bulan terhadap planet bumi yang masih dipakai sampai sekarang untuk menentukan hari perayaan keagamaan mereka. Secara umum, bangsa Yahudi juga menggunakan sistem kalender Tahun Masehi.  Kalau pun mau mengidentikkan sistem penanggalan berdasarkan matahari ini dengan agama Kristen, tidak ada perintah dalam kitab suci orang Kristen yang menyebutkan "barangsiapa yang mengaku beragama Kristen harus menggunakan sistem penanggalan berdasarkan matahari."

Sederhananya, karena saat itu belum ada cerdik cendikia yang mendalami bahwa bumilah yang memutari matahari. Bukan karena orang orang jaman itu sebegitu bodohnya, mungkin karena mereka saat itu sibuk memikirkan hal lainnya yang lebih penting untuk dipikirkan saat itu. Mungkin juga, sistem penanggalan yang berlaku saat itu sudah cukup memenuhi kebutuhan dan memuaskan mereka yang nyaris hidup homogen.

Dengan perkembangan ilmu pengetahuan, kemudian, para cerdik cendikia, ahli astronomi, termasuk ahli kuliner. ya, ahli kuliner kan tergantung dengan tumbuhan, ternak yang digunakan untuk mengolah kulinernya. Ahli kuliner tergantung pada pasokan para petani dan peternak, nelayan. Para petani, peternak dan nelayan itu memerlukan penanda penanda yang tidak lagi berdasarkan prediksi alam secara tradisonal. Mereka perlu perhitungan yang dapat diandalkan untuk selalu dapat memberikan pasokan untuk diolah para ahli kuliner. Tidak pelak, para ahli gastronomi turut memaksa para ahli astronomi untuk bekerja sepenuh daya menemukan sistem penanggalan yang dapat berlaku untuk semua. Berlaku sama di negara 4 musim, di negara padang pasir dan di negara khatulistiwa seperti negara kita ini.

Sistem kalender Tahun Masehi menghitung mulai 1 menit = 60 detik, 1 jam = 60 menit, 1 hari = 12 jam, 7 hari = seminggu, 4 minggu = 1 bulan, 12 bulan = 1 tahun. Dengan siklus yang terukur mulai dari satuan terkecil, seperti pada stop watch untuk menghitung detik ke berapa gol disarangkan ke gawang Brazil untuk menetukan Jerman menjadi juara Piala Dunia, misalnya.

Sistem kalender Tahun Masehi BUKAN sistem kalender yang dibuat berdasarkan perintah agama tertentu. Tidak ada perintah agama tertentu untuk merayakan Tahun Baru menurut sistem kalender Tahun Masehi. Silahkan dikuliti sampai lapisan kulit paling dalam sekalipun tidak ada perintah bahwa sistem kalender yang sekarang disebut Tahun Masehi adalah sistem kalender yang harus dipakai oleh agama tertentu. Coba tilik saja lebih mendalam, sistem kalender sekarang yang berhasil menghitung waktu yang dibutuhkan planet bumi memutari planet matahari baru ditemukan beberapa abad yang lalu. Para cerdik cendikia menemukan bahwa bukan matahari yang memutari bumi, melainkan bumi yang memutari planet matahari. Begitu juga dengan bulan, bukan planet bumi yang mengitari bulan, melainkan bulan adalah planet bagi bumi dan planet bulanlah yang mengitari bumi.

Agama dan pengetahuan tidak bisa dipisahkan. Semua ilmu pengetahuan berasal dari agama. Dari agamalah manusia mengetahui bahwa ada Sang Maha Pencipta yang menciptakan langit dan bumi, semesta raya dengan segala isinya. Sang Maha Pencipta memberikan kebebasan kepada manusia untuk menjelajah bumi, menguak rahasia alam untuk memanfaatkannya bagi kemanusiaan. Tidak dipungkiri kemudian timbul adu jago di antara agama agama, siapa menemukan apa kemudian dikaitkan dengan agama inilah yang menyebabkan pengetahuan berkembang, atau agama itulah yang membawa pengetahuan. Apakah tidak sebaiknya kita semua sadar, apa pun agamanya, sebaik baiknya ilmu pengetahuan yang dikembangkan adalah untuk kebaikan seluruh umat manusia.

Adalah menyedihkan jika kemudian ada yang mempersepsikan perayaan Tahun Baru dengan pesta seks. Seakan perayaan tahun baru itu adalah pusat segala dosa. Merayakan Tahun Baru akan menyebabkan orang berdosa karena akan terseret ke dalam pesta seks. Seakan sejalan dengan upaya menanamkan persepsi bahwa perayaan Tahun Baru adalah perayaan keagamaan tertentu itu semakin nyaring bunyi terompet. Implikasinya, seperti orang sudah mengantuk tapi jadi gondok karena tetangganya ribut niup terompet, pasang kembang api, mau siapa keq, mau agamanya apa keq yang niup terompet, bisa dengan mudah terlontar umpatan: "Dasar kafir."

Jika fenomena itu diangkat untuk mengingatkan agar barang siapa pun untuk tidak melakukan hal yang nista dengan onarnya menganggap perayaan Tahun Baru bisa dipersepsikan dengan masa perayaan libido yang memberikan kebebasan untuk melakukan seks bebas, tentu dapat diterima. Semua orang memiliki kewajiban untuk saling mengingatkan bahwa perayaan tahun baru tidak identik dengan pesta hura hura, apalagi dengan pesta seks. Persepsi Perayaan Tahun = Pesta Seks adalah  SALAH.

Jika ada yang mempersepsikan bahwa perayaan Tahun Baru telah menyimpang menjadi pesta seks sehingga haram hukumnya untuk dilakukan (pesta seksnya yang haram!), tentu harus diteliti terlebih dahulu secara arif kenapa kemudian persepsi perayaan tahun baru koq kebacut itu menggejala menyimpang seperti itu. Jangan salahkan perayaan Tahun Barunya, tetapi mari wujudkan kehidupan masyarakat yang sehat.

Gak usah nunggu perayaan Tahun Baru, baca artikel yang diperuntukkan orang dewasa, baik itu di rubrik seksologi atau di kanal fiksi, di Kompasiana ada aja yang sengaja panas merangsang bisa menjadi stimulan libido untuk mengarahkan orang berpikiran ngeseks koq. Untuk apa memangnya artikel artikel seperti itu nangkring di kanal seksologi, kecuali yang memang ditulis berhubungan dengan reproduksi, kesehatan seks oleh para pakar, tapi soal "tuntunan" melakukan hubungan seks, model, gaya, ditulis dalam kanal terbuka yang bisa dibaca oleh siapa saja, maksudnya apa? Untuk lebih pandai berhubungan seks? Mendapatkan kepuasan maksimal? Tanpa tedeng aling aling menceritakan pengalaman pribadi secara terbuka, seperti ngobrol di arisan. Dengan siapa? Ya, salah yang baca kalau dipraktekkan dengan orang yang bukan istri atau suaminya sendiri. Bagaimana kalau ada remaja yang membaca kemudian terangsang seperti api kesirem bensin, cuma baca doang udah pengen, paling gak udah ngeseks di pikirannya sendiri. Salah yang baca karena siapa suruh baca, udah diingetin bacaan orang dewasa masih baca juga, tidak memiliki kemampuan untuk mengelola libidonya? Jadilah semua yang menulisnya penganjur penganjur dosa tanpa merasa bersalah.

Hal ini, yang kurang lebih sama dikuatirkan, perayaan Tahun Baru ditempat umum kemudian memang bukan hanya ditandai dengan pesta kembang api, tetapi semakin lumrah dilihat di tempat umum pas pukul 24.00, teng, orang orang berpelukan, sambil memberikan kecupan di pipi dan bahkan ciuman. Walau ciuman di bibir itu dilakukan oleh suami istri, tetapi di Indonesia orang masih jengah menyaksikannya di tempat umum. Apalagi jika itu kemudian dengan asumsi dilakukan oleh orang yang baru taraf berpacaran. Bukan hanya jengah, tetapi rasanya ingin mendampratnya, walau harus diakui ada yang menikmati pemandangan itu dan jadi kepengenan juga. Mungkin malah difoto dan dikirim ke group WAnya, atau diposting di wall medsosnya.

Persoalannya, janganlah terburu buru memberikan asumsi bahwa perayaan tahun baru sama dengan pesta seks. Karena di seluruh dunia persepsi itu tidak ada, kecuali memang ada kemungkinan orang orang yang ingin melakukan pesta seks pada malam Tahun Baru.

Akan lebih menyedihkan lagi jika persepsi itu kemudian menggiring orang berpikiran pesta seks dilakukan oleh penganut agama tertentu. Mungkin, tidak ada yang berpersepsi seperti itu, tetapi bisa saja menggiring opini setelah semakin gencarnya penyebarluasan informasi bahwa perayaan tahun baru adalah perayaan keagamaan tertentu dan itu ditandai dengan terompet. Kemudian bisa saja dipaksakan ditandai juga dengan pesta seks.

Pernahkah terpikirkan bahwa implikasi larangan terhadap pemeluk agama tertentu untuk turut merayakan tahun baru, karena tahun baru dipersepsikan adalah perayaan keagamaan tertentu, haruskah berimplikasi terhadap "pelarangan" waktu. Maksudnya, apakah akan ada pelarangan menggunakan jam, termasuk jam tangan, karena jam di seluruh dunia dan digunakan oleh semua orang, tidak memandang suku, ras dan agama, dibuat berdasarkan perhitungan waktu Tahun Masehi? Termasuk stop watch untuk pertandingan dan perlombaan atau untuk kebutuhan apa saja. Termasuk semua penghitungan digital di semua peralatan harus diingat perhitungan waktu secara digital itu dilakukan sebagai bagian penghitungan yang kemudian disebut Tahun Masehi.

Selamat Tahun Baru 2015.

Hal yang sama akan terjadi pada perayaan Valentine Februari mendatang. Hari perayaan pernyataan kasih sayang yang mendunia dan selama 2 dekade terakhir mulai menggejala lumrah di Indonesia. Mudah mudahan tidak ada yang mengaitkan perayaan Valentine dengan agama tertentu sehingga mengharamkannya. Tetapi, ada baiknya diingatkan hari Valentine adalah bukan hari pacaran bebas sedunia. Hari Valentine kemudian dirayakan hanyalah sebagai hari dimana kita yang dapat kita gunakan untuk mengingatkan seseorang yang kita sayangi, anak, istri, suami, keluarga, teman dengan mengatakan "we do care of you." Adalah layak untuk mengingatkan para remaja tidak perlu lebay untuk merayakannya. Kalaupun ada yang harus diingatkan adalah ingatkan setiap remaja pria adalah dosa hukumnya jika mereka merayu pacarnya di hari Valentine untuk melakukan hubungan seks ( di hari lain pun). Para remaja pria ini harus diajar bagaimana mengelola penisnya dengan sopan dan santun. Bergairah silahkan tetapi tidak merusak pacarnya itu. Merayakan atau tidak merayakan terserah saja, tidak ada kewajiban untuk merayakannya.

(untuk yang berpesta seks di malam Tahun Baru siap siap masuk neraka)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun