Selalu timbul kritikan terhadap perayaan Tahun Baru karena fenomena perayaan Tahun Baru yang dilakukan kemudian berkembang menjadi pesta hura hura. Seenaknya buang buang duit untuk sebuah pesta. Kritikan itu terjadi karena promo perayaan Tahun Baru yang ongkosnya sampai jutaan rupiah. Perayaan Tahun Baru yang dipersepsikan dengan pesta itu adalah fenomena yang sekaligus menggambarkan fakta membedakan kaum borjuis dan proletar. Pembedaan kelas itu terlihat dalam pesta pesta Tahun Baru. Itu sebabnya kemudian secara sosial sejak lama, mendunia, Tahun Baru dirayakan bersama sama, misalnya di jalanan. di lapangan terbuka. Kenapa? Pada dasarnya ingin menghilangkan pembedaan kelas. Perayaan Tahun Baru dengan menyalakan kembang api dan suara terompet di jalanan, dan atau di ruang terbuka, sebetulnya adalah upaya sosial masyarakat itu sendiri yang ingin menghilangkan perbedaan kelas. Di jalanan, mau kaya atau miskin, setengah kaya dan setengah miskin, mau kaya karena korupsi atau miskin karena malas, atau kaya karena kerja keras dan si miskin yang bekerja keras untuk keluar dari kemiskinan dapat bersama sama tanpa sekat merayakan pergantian tahun dengan bergembira bersama.
Tentu ada banyak pilihan untuk merayakan Tahun Baru. Tidak merayakannya juga tidak masalah. Tidak ada kewajiban apalagi Undang Undang yang menyatakan bahwa Tahun Baru wajib dirayakan. Orang orang dengan kemauannya sendiri berkumpul di tengah keramaian menikmati pesta kembang api, silahkan. Yang mau diam diam di rumah, atau di kamarnya sendirian, tidur seperti hari biasa juga tidak ada yang larang.
Namun, harus diakui, ada fenomena tertentu yang semakin dikembangkan di negara kita terhadap perayaan Tahun Baru. Satu hal yang harus digarisbawahi, perayaan Tahun Baru tidak identik dengan pesta (seks). Bahwasanya, di negara kita juga kemudian ada perayaan Tahun Baru dengan pesta warga, dapatkah hal itu dipersepsikan sebagai wujud kegembiraan bersama untuk menyambut datangnya Tahun Baru tanpa memandang status sosial?
Walau telah terjadi sejak dahulu kala, dapat kita perhatikan beberapa tahun terakhir ini semakin gencar difriksikan mengenai perayaan Tahun Baru. Friksi ini menyeret kekritisan emosional karena semakin diidentikkan bahwa perayaan Tahun Baru adalah "perayaan keagamaan" dari agama tertentu.  Untuk memperkuat argumen bahwa perayaan Tahun Baru adalah hanya dimiliki oleh agama tertentu didasari oleh kajian, di antaranya, adanya terompet dalam perayaan Tahun Baru. Beberapa kajian itu secara serius menandai perayaan Tahun Baru tidak boleh, haram hukumnya, untuk ikut dirayakan oleh agama tertentu karena perayaan Tahun Baru itu adalah perayaan keagamaan agama tertentu karena terompet itu.
Secara serius dan mendalam beberapa kajian juga menyertakan fakta fakta bahwa perayaan Tahun Baru adalah Tahun Masehi yang diidentikkan dengan agama tertentu. Kajian itu begitu mendalam sampai sampai yang membacanya mungkin akan merasa berdosa karena ikut merayakan Tahun Baru. Tidak ada yang salah jika ada yang mau mengaitkan tahun masehi dengan agama tertentu. Hanya, cobalah teliti sedalamnya, kalau pun mau dikaitkan dengan agama Yahudi, misalnya, bangsa Yahudi menggunakan penanggalan yang sangat berbeda dengan sistem penanggalan Tahun Masehi. Sistem penanggalan bangsa Yahudi adalah dengan memakai masa edar bulan terhadap planet bumi yang masih dipakai sampai sekarang untuk menentukan hari perayaan keagamaan mereka. Secara umum, bangsa Yahudi juga menggunakan sistem kalender Tahun Masehi. Â Kalau pun mau mengidentikkan sistem penanggalan berdasarkan matahari ini dengan agama Kristen, tidak ada perintah dalam kitab suci orang Kristen yang menyebutkan "barangsiapa yang mengaku beragama Kristen harus menggunakan sistem penanggalan berdasarkan matahari."
Sederhananya, karena saat itu belum ada cerdik cendikia yang mendalami bahwa bumilah yang memutari matahari. Bukan karena orang orang jaman itu sebegitu bodohnya, mungkin karena mereka saat itu sibuk memikirkan hal lainnya yang lebih penting untuk dipikirkan saat itu. Mungkin juga, sistem penanggalan yang berlaku saat itu sudah cukup memenuhi kebutuhan dan memuaskan mereka yang nyaris hidup homogen.
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan, kemudian, para cerdik cendikia, ahli astronomi, termasuk ahli kuliner. ya, ahli kuliner kan tergantung dengan tumbuhan, ternak yang digunakan untuk mengolah kulinernya. Ahli kuliner tergantung pada pasokan para petani dan peternak, nelayan. Para petani, peternak dan nelayan itu memerlukan penanda penanda yang tidak lagi berdasarkan prediksi alam secara tradisonal. Mereka perlu perhitungan yang dapat diandalkan untuk selalu dapat memberikan pasokan untuk diolah para ahli kuliner. Tidak pelak, para ahli gastronomi turut memaksa para ahli astronomi untuk bekerja sepenuh daya menemukan sistem penanggalan yang dapat berlaku untuk semua. Berlaku sama di negara 4 musim, di negara padang pasir dan di negara khatulistiwa seperti negara kita ini.
Sistem kalender Tahun Masehi menghitung mulai 1 menit = 60 detik, 1 jam = 60 menit, 1 hari = 12 jam, 7 hari = seminggu, 4 minggu = 1 bulan, 12 bulan = 1 tahun. Dengan siklus yang terukur mulai dari satuan terkecil, seperti pada stop watch untuk menghitung detik ke berapa gol disarangkan ke gawang Brazil untuk menetukan Jerman menjadi juara Piala Dunia, misalnya.
Sistem kalender Tahun Masehi BUKAN sistem kalender yang dibuat berdasarkan perintah agama tertentu. Tidak ada perintah agama tertentu untuk merayakan Tahun Baru menurut sistem kalender Tahun Masehi. Silahkan dikuliti sampai lapisan kulit paling dalam sekalipun tidak ada perintah bahwa sistem kalender yang sekarang disebut Tahun Masehi adalah sistem kalender yang harus dipakai oleh agama tertentu. Coba tilik saja lebih mendalam, sistem kalender sekarang yang berhasil menghitung waktu yang dibutuhkan planet bumi memutari planet matahari baru ditemukan beberapa abad yang lalu. Para cerdik cendikia menemukan bahwa bukan matahari yang memutari bumi, melainkan bumi yang memutari planet matahari. Begitu juga dengan bulan, bukan planet bumi yang mengitari bulan, melainkan bulan adalah planet bagi bumi dan planet bulanlah yang mengitari bumi.
Agama dan pengetahuan tidak bisa dipisahkan. Semua ilmu pengetahuan berasal dari agama. Dari agamalah manusia mengetahui bahwa ada Sang Maha Pencipta yang menciptakan langit dan bumi, semesta raya dengan segala isinya. Sang Maha Pencipta memberikan kebebasan kepada manusia untuk menjelajah bumi, menguak rahasia alam untuk memanfaatkannya bagi kemanusiaan. Tidak dipungkiri kemudian timbul adu jago di antara agama agama, siapa menemukan apa kemudian dikaitkan dengan agama inilah yang menyebabkan pengetahuan berkembang, atau agama itulah yang membawa pengetahuan. Apakah tidak sebaiknya kita semua sadar, apa pun agamanya, sebaik baiknya ilmu pengetahuan yang dikembangkan adalah untuk kebaikan seluruh umat manusia.
Adalah menyedihkan jika kemudian ada yang mempersepsikan perayaan Tahun Baru dengan pesta seks. Seakan perayaan tahun baru itu adalah pusat segala dosa. Merayakan Tahun Baru akan menyebabkan orang berdosa karena akan terseret ke dalam pesta seks. Seakan sejalan dengan upaya menanamkan persepsi bahwa perayaan Tahun Baru adalah perayaan keagamaan tertentu itu semakin nyaring bunyi terompet. Implikasinya, seperti orang sudah mengantuk tapi jadi gondok karena tetangganya ribut niup terompet, pasang kembang api, mau siapa keq, mau agamanya apa keq yang niup terompet, bisa dengan mudah terlontar umpatan: "Dasar kafir."