Mohon tunggu...
S.DJumi
S.DJumi Mohon Tunggu... Lainnya - menulis apa adanya

Menulis apa adanya sebab hidup apa adanya Tidak mengada ada

Selanjutnya

Tutup

Roman

Jogja 1965 (03)

6 September 2023   14:15 Diperbarui: 6 September 2023   14:26 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menembus waktu

Waktu seakan berbalik, membaca buku masa lalu untuk belajar  untuk masa kini yang membuat semua harus maklum bahwa kejadian sejarah adalah tidak akan bisa terulang dan tidak mau di ulang lagi adalah kenyataan yang harus kita hadapi sekarang.

Tentang persengkongkolan jahat untuk tujuan  yang mereka ingin capai atau persekongkolan dengan jalan fitnah untuk membuat semua musuh keder dan kawan jadi takut adanya.

Baca juga: Jogja 1965

" bila takdir menjadi kita tetap bersatu itu adalah jalan hidup yang harus kita lalui dan semua harapkan untuk lebih baik lagi sayang, namun bila semua harus berakhir dan kita tidak bisa bersatu  lagi semua juga sudah jalan yang ditujukan untuk kita tetap semangat dalam mengarungi hidup ini" 

tulisan Safitri  untuk menghibur diri dan juga membuat semangat ketika mulai kendor atas kepercayaan yang diberikan Allah Swt atas cinta dan cita-cita kita.

Semua tidak punya prasangka atas manuskrip dan ramalan Jayabaya yang masih dipercaya oleh sebagian masyarakat atau kepercayaan mbang lampir dan juga Ronggowarsito yang terkenal itu. Namun keadaan negeri ini sudah pasti bisa di lihat dari semua segala kebijakan yang dilakukannya cermin dari siapa yang mengapa kebijakan itu dijalankan oleh mereka.

"Nduk bila ingin semua cita-cita itu berhasil harus banyak laku prihatin dan itu harus dilalui dengan tulus hati, tidak ada yang semua keberhasilan itu tanpa laku dan do'a"tulisan tentang harapan yang harus dijalankan bila ingin berhasil

Baca juga: Jogja 1965 (02)

"Semua seakan menjadikan jalan yang terlihat lempang jadi zik sak dan semua harus bisa dilalui dengan senyum ketulusan" cinta-cita yang teriring cinta adalah semangat yang harus selalu berkobar di hati dan jiwa.

Baca juga: Menjadi Kamu

Perasaan Safitri gundah tidak pernah tahu kemungkinan terbaik atau yang terburuk yang  akan menjadi keputusan mas Bagus karena yang tampaknya menyenangkan bisa jadi belakangnya adalah duka lara dalam hati serta rasa.

Senisono adalah perjumpaan yang kesekian kalinya dengan seseorang yang sudah dianggapnya kawan sejati yang mengena di hatinya, perjumpaan sederhana  biasa yang menurutnya menjadi sedikit luar biasa .

"Kita seharusnya bisa lama-lama disini  " kata mas Bagus kepadanya

"Aku harus berkejaran dengan waktu" jawab Safitri dengan lembut

"Makanan angkringan ini semakin membuatku semangat untuk bertemu dengan  mu lagi " sambung Mas Bagus lagi.

"Bukankah kita akan berjumpa lagi setelah  ini mas?" tanya Safitri sedikit meyakinkan mas Bagus.

" ha ha semangat untuk bertemu denganmu lagi  itu aku inginkan semuanya" jawab mas Bagus menyakinkan Safitri lagi.

"Sebaiknya keluar saja dari organisasi  yang buatmu sibutk ini" sindir Safitri lagi

"wah , ora iso, tidak bisa aku tetap ingin berjaya dan  bisa di perhitungkan lewat organisasi ini" jawab mas Bagus dengan sedikit sombongnya yang keluar spontan.

"PKI adalah musuh tentara mas" sedikit berbisik Safitri memberi jawaban sebab di angkringan itu banyak penggemar angkringan sedang menikmati  apa yang mereka beli.

"Aku tahu" jawab Mas Bagus pelan di telinga Safitri hamori tidak terdengar suaranya.

" suara seperti detik jam di Ngejaman itu mas" seru Safitri pelan

Mereka diam seribu alasan dan beda pendapat bisa jadi menyatukan mereka dalam perbedaan yang nyata.

"Lalu yang baru gajian traktir aku sampai kenyang ya" ejek Mas Bagus kepadanya

"Tidak, jelek, mas yang lelaki yang bayarin jahe hangat ini" timpal Safitri kepadanya.

"Ok sang putri salju aku tahu" ledek mas Bagus lagi

Tiga bulan menjelang hari kemerdekaan Republik ini 17 Agustus 1965 semua tampak biasa dengan segala gejolak  suasana sosial politik dan  budaya.

Angkringan di depan pasar Beringharjo itu  menjadi saksi perjumpaan dan juga akhir dari sebuah kata, namun juga sebuah perjumpaan komunal hingga tanpa basa-basi adalah nyata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun