cerita yang kemarin#TantanganMenulisNovel100Hari
74
Pulang Ke DESA
Wates ibukota kabupaten Kulon Progo tempat aku lahir seakan menyambutku untuk kembali, ya kemali kemasa lalu yang entah mengapa aku selalu merindukannya, melewati kelok kali progo yang indah dan jalan lintas Jogja wates yang membuat hati tetap berdebar walau aku sudah biasa melalui kalau aku ke Jogja kabupaten yang kini semakin cantik dan lagi berbenah mengejar ketertinggalan dengana kabupaten dan kota yang lain di Daerah Istimewa Yogyakarta ini, aku rindu dan dendam akan masa lalu aku yang enath masih dapatkah kesampaian untuk bertemu dengan teman-teman lama yang dulu hangat dan saling sayang daneganku, aku hanya berhara menemukannya lagi!.
“biru aku selalu merindukanmu kelak” kata bapak epala seolah yang aku pamiti
“kami juga akan selalu meridnukanmu “ kata teman-teman guru yang lain.
“sama-sama aku juga akan merindukan kalian juga”kataku sambil berpamitan dengan mereka karena telah beberapa tahun aku bersama mereka sampai seperti saudara sekandung saja dan setiap sakit dan bahagia selalu kami bersama, saudara sepenangungan!
“teman yang selalau dihati”
“aku tahu memang berat “
“kami juga tidak sampi hati kamu tinggalkan saat ini”
“entah kebersamaan ini bagaimanapun akan selalu semoga bersama kita “
“untuk selamanya,kelak”
“harapanku abadi”
“semoga”
Hati yang gundah menuju cerah dan indah aku hanya berharap demikian tidak takut akan kesedihan dalam hati ini,
“kesedihan dan kebahagian bagai mata uang logam yang tidak bisa terpisahkan,apakah kamu yakin bisa membuatnya terbelah saat ini juga, adalah keniscayaan yang akan datang karena Allah swt maha menguji dengan kebahagian dan juga kesusahan untuk menambah iman di hati kita, aku sadari ini”
Biru tetaplah kenangan ini tidak bisa kamu tinggalkan karena keanangan adalh bingkai indah hidup ini dalam taman surga yang kita dambakan kita untuk melangkah kelebih baik kedepan.
“Wates kesini cuma empat puluh menit mba min, jangan bersedih ya?” aku menghibur mba min yang seakan aku sudah anggap sebagi kakak dansaudara kandungku ketika aku lihat ada butir-butir air mata yang mulai menetes di kedua bola matanya.
“bahagia mba biru, tetapi apakah harus secepat ini kita kelak tidak bertemu lagi”
“tentu kita akan kembali bertemu mba, jangan menangis ya?”
“ya aku tidak menangis hanya terharu bu”
“sama jangan sedih ya mba min”
“ya bu..”
Mba sekali lagi membuat aku terharu dan entah kenapa sedih kehilangan dia dan aku akui dialah yang membuat aku tegar dalam keadaan yang membuat hati ini sedih kala kehilangan mas harun dan dialah yang membimbing hati ini kembali semangat menatap hidup ini.
Bukan jalan sunyi yang aku ingin tempuh tetapi jalan baru walaupun penuh liku akan aku tempuh untuk menatap matahari pagi yang lebih baik kelak dan inilah yang membuatku bertekad bulat untuk pulang ke tempat kelahiranku dulu untuk menata dan menatap hidup yang lebih baik kelak adanya.
Kembali inilah kata-kata yang ada dalam hati dan pikiranku kembali hidup lebih baik harapanku yang optimis untuk menggugah kembali semangat kehidupanku ini.
“sebaiknya kamu harus tetap bahagia dalam hidup ini”
“setiap cobaan jadikan sebagai aral yang merupakan ujian bagi kita”
“enyahkanlah rasa sedih di hatimu kelak”
“hadirkan kebahagiaan abadi dalam hatimu apapun terjadi kelak”
“hidupkanlah rasa syukur didalam setiap kehidupanmu kelak, agar selalu ingat padaNya yang selalu menghadirkan segala cobaan dalam hidup dan nikmat yang banyak dalam bingkai hidup kita ini”
#TantanganMenulisNovel100Hari
75
Pulang Ke DESA (2)
Apakah pulang adalah kembali benar adanya tetapi inilah yang aku harapkan kembali merajut asa yang entah sudah berapa tahun aku tidak bisa ingat dan inilah yang akan aku rasakan kembali ke jalanNya yang penuh harap dan cemas dalam hidup baru ini kelak. Masih ingat waktu kecil dulu aku masih belajar ke sekolah dasar di Kokap, jalan kaki menuju sekolah kami dan inilah perjuangan yang aku jalani bersama kawan-kawan kecilku dulu.
Jalan ini memang benar masih seperti yang dulu berkelok dan berliku untuk menuju suatu tempat dulu banyak yang berjalan kaki dan satu dua memakai sepeda kayuhnya naik turun pegunungan menoreh ini yang tanah litany kadang membuat licin dan orang banyak yang terpeleset bila tidak hati-hati lewat jalan ini.
“desa banyak teman bu?” tanya dinda padaku
“banyak” jawabku
“ada PS bu?” tanya dion padaku
“mainsendiri di laptop ibi atau tv sama kakak ya dik”
“mama begitu”
“banyak nyamuknya ya bu?” keluh Dinda padaku
“ya kadang-kadang”
“tetapi dekat waduk ya bu?” sela DIon padaku lagi
“ya tempa dulu sama ayah naik perahu”
“asiik aku bisa mincing” girang Dion lagi-lagi
“sama siapa?”
“sama mama dan…”
“dan siapa?”tanyaku
“sama kakak dan…”
Aku diam tidak memancing pertanyaan dan menjawab pertanyaan mereka berdua dan tiba-tiba Dion membuatku terhenyak
“sama ayah baru ya mama?” tanya Dion padaku
“doakan Dion” aku malu, ayah baru rumah baru? bisahkah? aku diam seribu rasa benarkah ini?
“bisa kan mama?”
“do’a anak sholeh semoga “ aku membuatnya bahagia bisakah?”
“dinda mau juga…” tiba-tiba kakaknya juga menjawab aku kaget juga
“sama siapa Dinda ?” pancingku pada anak pertamaku ini
“sama mas Yan”
“om yanto mba” sela Dion padanya
“mengapa?”
“karena sama polisinya dengan ayah dulu”
“Dinda tuh?”
“ya mama, maaf cuma usul nieh”
Kami tertawa bersama dan kami senang do’a yang terbaik buat kedua anakku ini semoga cita-citanya kelak dapat tercapai, hanya do’a buat mereka berdua dan kesehatan yang aku panjatkan untuk kami bertiga.
Guguran daun jati ujung Juni ini menandakan hari mulai kemarau hujan masih turun walau hanya sebentar dan ujung panas matahari mulai membuat daun-daun pohon di lereng Menoreh yang indah ini seakan mengatakan aku akan kembalibersemi dan berganti daun yang baru, nampak hijau lereng pegunungan ini yang diterpa hujan kemarin sekarang berubah kuning dan memerah pertanda daunya mulai mengering dan akan jatuh-jatuh di lereng bukit ini maka tampak dahan-dahan kering pohon jati semakin kelihatan yang kering ini dan agaknya inilah pertanda perubahan yang sejati.
“kamu akan berubah menjadi apa?”
“berubah kelebih baik”
“dan menempuh kehidupan yang baru?”
“dengan apa?”
“dengan hati yang baru dan senyum yang lebih cerah biru?”
Aku tidak ingin seperti waduk Sermo yang hanya indah dan menampung air tanpa bermanfaat bagi umat di sekeliling aku”
“menghablur dan menyatu dengan hati yang lain?”
“tentu menjadi sinar adan angin yang mengalir”
“tanpa terikat sekat dan dinding yang membelah pikir dan hati untuk menuju yang lebih baik”
“benar adanya”
“setegar bukit menoreh yang mulai dilirik hijaunya “
“semua hanya iman yang harus di pertaruhkan dalam dada ini”
Aku termenung dalam keputusan yang memang membuat semua bisa berubah apakah kedua anakku bisa menerima perubahan dan menerima ayah “baru”kelak mereka yang akan menjawabnya, bukan aku akan memaksa mereka.
#TantanganMenulisNovel100Hari
76
Pulang Ke DESA (3)
Berbenah! itulah yang aku lakukan saat ini saat yang sangat menentukan dalam hidup ini kembali ke tanah kelahiranku kembali menemui saudara-saudara yang dulu akrab dengan aku dan semua akan membalas kerinduanku ke masa kecilku dulu yang sangat bahagia walau kami tinggal di desa.
“rumah ini pindahan dari Temon, masih asli dari rumah bapak dulu yang sekarang terkena dampak calon bandaraitu nduk” cerita pak lik padaku waktu aku menengok tanah warisan bapak dan simbok yang ternyata sudah di belikan tanah kembali di Kokap dan rumah mas kecilku itu sudah di kembalikan ke atas tanah perish waktu aku masih kecil hanya beda disini tanah di kokap bersebelahan dengan tanah bu dhe dan pak lik, aku serasa beruntung mempunyai rumah lamaku ini.
“tetapi berat disini tidak ramai nduk”
“ya pak lik lha desa”
“lebih lebar daripada asrama itu”
“tentu juga lebih hijau paklik”
“hijau..benar, aku usahakan hanya memotong pohon yan peru saja”
“kok begitu pak lik?”
“supaya kamu dan anak-anakmu kelak bis amenghirup udara yang bersih dan segar”
“ini tanah siapa ?”
“milik pak dhe Jono yang dulu paklik suruh menggarapnya”
“pakde kemana?”
“sudah tidak ada waktu di Jakarta”
“aku kok tidaktahu paklik?”
“bareng,,,ya sama dengan meninggalnya suamimu waktu itu”
“wah aku baru tahu”
“dia mempunyai anak dua dan ini warisan anak yang kedua yang dijual pada paklik ini, untukmu”
“terima kasih ya Allah swt”
“ya kita harus tetap bersyukur walau apa yang terjadi kelak”
Ya inilah yang terindah dalam hidupku inilah amanat dari abpak dan simbok untuk kami rumah dan kebun yang luas dan kembalinya aku didesa aku berharap bisa menata kehidupan yang baru disini.
“jadi pindah ke Kokap?” tanya mas ganteng padaku
“ya mas”
“dekat yo..”
“njenengan dimana to?”
“di hatimu kan biru?”
“ah tidak guyon lho..”
“nanti juga tahu..”
“aku pengen tahu lho…!”
“mau pindah adi SMA satu wates ya?”
“kok tahu kamu mas?”
“aku tahu ..”
“ngajar dimana njenengan tuh?”
“nanti juga tahu”
“awas lho aku cubit kalau ketemu “
“nanti makan gebleg dan tempe bacem koro di wates ya?”
“di teteg kulon saja..kalau masihada yang jual”
“masih”
“benar?”
“yang jual yang menerima telepon nieh”
“ha …?? ngodaiin aja,,awas lho aku minta traktir nanti sama kamu bertiga”
“okelah
mas benar kamu juga ngajar di sini?
***
Aku tidak mikir kamu mas hanya menjelang puasa ini aku masih kerja keras mas membenahi ruamh baruku ini dan aku ingin menjelang puasa ini semua beres dan tinggal klik saja pindah kerja dan pindah rumah memang merepotkan tetapi membahagiakan hati ini, benar adanya>
“mama kita ke masjidnya jauh ya?”
“dekat kok nanti naik motor bertiga sama mama”
“ramai tidak ya yang pada tarawih nanti?”
“mesti ramai kan banyak kawan baru nanti nak?”
“ya tidak mesti juga ya mama?”
“kok tidak dinda?”
“Aku belum tahu keadaan desa ini”
“sama “ imbuh dion pada kakaknya
Ramadhan didesa memanga baru ini terasa banget dan inilah nikmatanya ramadhan beda di asarama yang sudah kota entah inilah kerinduan aku yang terbalaskan bahkan anak-anakku tidak tahu bahwa desa masih friendly masih sanak kadang dan seduluran yang kental aku senang bukan main.
BUKU BIRU
NO 62
ALMURU'AH SAYYID JUMIANTO
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H