#TantanganMenulisNovel100Hari70
CINTA, BUKAN NAFSU (7)
Kadang setiap insan lupa akan apa yang di deritanya, dalam sedih apapun situasi kadang di buat gembira untuk memotivasi yang sedih untuk kembali tabah dalam hidup ini, kenyataan banyak yang patah hati, lalu semangat memudar dan entah mengapa kehidupan jadi amburadul laksana di terjang angin beliung, ambruk, aku tidak mau sedemikian parah dan aku tidak mau menajdi roboh seperti pohon-pohon dan gedung yang terbawa angin beliung ini.
“bagaimana aku harus bersikap biru?”
“tentang masa lalu kita atau?”
“ya masa lalu aku dan kamu mas yang mengapa harus serasa begini”
“sedih?”
“betul juga”
“amarah yang menyingkap dada kita?”
“benar juga”
“kok begitu saja jawabanmu?”
“aku harus berkata apa?”
“menyesali?”
“sudah berlalu mas”
“sedih dan aku hancur?”
“aku coba memperbaiki hatiku ini mas”
“sama”
“kok begitu?”
“sama juga dengan membuat rumah dan membetengi kita dari penyesalan hati yang dalam”
“dan perasaan terpukul yang dalam?”
“aku tahu” jawabnya singkat dan cermat
“apa?”
“masa lalu yang tidak mungkin kita bisa perbaiki”
“kita masuk ke mesin waktu saja mas”
“tidak lucu itu”
“aku tahu mas, keadaan yang memaksa dan waktu yang tidak bisa tolak lagi”
“menolak waktu?”
“sampai sedetil itu?”
“ya memperdayai waktu dan menekuk waktu”
“hebat benar biru?”
“memotong waktu”
“sekarang, kemarin dan yang akan datang”
“aku belum sanggup biru”
“benar juga”
Entah mengapa warung burjo ini membuat kenangan sendiri buatku dan mas ganteng ini bagaimanapun inilah yang membuat aku terkenang masa lalu kami dan aku tidak tahu bagaimana hatinya, aku hanya berharap menungkin kita bisa saling menajdi teman yang bisa menjadikan kita tempat curhat dalam segalanya dan aku tahu, bagimana dia hidup sekarang dan bagaimana keluarga yang didambakannya belum terwujud juga dalam hidupnya.
“kenapa kita tidak kembali kemesin waktu?”
“bisa?”
“kembali ke kampus ini dan membuat kita kembali kamasa dua belasan tahun yang lalu”
“tidak bisa mas”
“aku bisa “
“khayalanmu terlalu tinggi, bagaimana dengan kelauargamu?”
Dia diam dan kaku tidak bisa menjawab dengan tegas
“sejak persitiwa gempa itu aku kehilangan segalanya dan aku agak limbung setelah kehilangan ibu dan kamu biru”
Jawaban yang membuat aku merinding separah inikah kamu mas.
“aku sempaat ke tempat bud he di Banten dan aku sempat pula melalang buanan di semarang”
“mengpa sebegitunya?”
“aku ingin melupakanmu sejenak”
“dan keterusan sampai sekarang”
“dan keajaiban itu datang”
“mengapa?”
“banyak teman dulu yang seangkatan kuliah mengajariku “
“kembali kuliah apa?”
“tidak menjual buku dan koran lagi sambil belajar menulis “
“lalu?”
“alhamdulilah aku belum bisa menerbitkan sendiri sampai..”
“sampai apa?”
“kamu tahu Maryati itu?”
“ya kakak angkatan kita”
“dialah yang menerbitkan novel aku ini dengan syarat berat”
“apa?”
“bila tidak laku ya aku harus tombok”
“tombok?”
“semua aku laksanakan petunjuknya dan inilah novel yang pertama aku terbitkan”
“mengapa mas begitu berat?”
“aku benar tidak percaya”
“aku dekat dengan dia”
“menikah dengan dia?”
“tidak tetapi”
“kamu bohong mas”
“aku tahu cinta ini bukan untuk setiap wanita biru”
“omongan pria mana aku percaya”
“aku cuma dekat dan semua cetakan ini haknya ada pada dia”
“oh begitu?”
“wah kamu tahu kan?”
“sama juga bohong tuh..”
“nasib kadang begitu”
#TantanganMenulisNovel100Hari
71
CINTA, BUKAN NAFSU (8)
Mata itu
aku tahu tidak bsia berbohong lagi
tatapanya menyembunyikan luka di hatimu
dan aku tahu
mengpa ada penasaran
cinta
yang terpendam
dalam sunyi dan
kepak-kepak
malaikat kematian
hatimu
aku masih di jogja, al Muru’ah sayydi jumianto, 362016
“aku salut , tetapi maaf aku tidak enak waktu kita bertemu”
“aku tahu Yun, senang banget pada novelku ini”
“aku tidak suka”
“mengapa?”
“sebelum tahu yang nulis mas “
Kami diam dalam menikmati burjo kesukaan kami di depan kampus kami yang dulu, enaknya setelah seharian kerja.
“sekarnag mengajar dimana?”
“masih di sekolahan itu mas”
“aku tahu”
“mengapa tidak say halo ?”
“aku malu atas nasib hidup ini yang belum mampu”
“mampu?”
“ya aku juga mengajar diujun Jogja ini”
“dimana?”
“dibarat Kulon progo”
“dekat rumah aku dong?”
“ya tahu..”
“mas membuatku heran dan begitu lho…” aku coba menahan gemas ini.
“tidak maksud aku tahu”
“tetang bapak dan simbok yang sudah tiada mas”
“aku tahu “
“kok tahu terus?”
“aku berencana mau ke Kokap tempat rumahku yang dulu”
“kena proyek Bandara ya?”
“aku jadi malu mask ok tahu?”
“maaf aku mengikuti serial kehidupanmu”
“aku mau pindah kesana mas”
“pergi dari komplek asrama polisi ini?”
“ya aku pengen penyegaran”
“juga suami baru”
“rejeki dan jodoh hanya Allah swt yang atur”
Aku spontan mengatakannya dan mas ganteng agak kaget memang belum punya aku atau mas ganteng sendiri kelak yang menemani hiudp kedua aku nanti, hatiku kacau hari ini.
“aku ..”dia gelagapan dank u tahu salah tingkahnya.
“maaf mas aku mau pulang dulu ini”
“ya semoga kita bisa berjumpa lagi “
“aku berharap mas”
Kami berpisah dan hatiku sungguh berdebar tiada kala seperti gadis yang menemukan pujaan hatinya dan kenangan duabelas tahun itu mengapa harus ada lagi dan mengapa harus berdebar lagi? aku jadi tahu apakah ini jatuh cinta lagi diantara kamu berdua?
***
Hari yang penuh tanda tanya itu berakhir sudah dan aku tahu mas ganteng semakin membuatku penasan, mengapa dia menyembunyikan identitas dan mengapa dia tahu segalanya tentang aku yang agaknya dia informasi yang valid tentang aku.
“Yun aku atahu dia”
“siapa mba?”
“mas ganteng penulis novel itu”
“aku juga tahu”
“entah mengap dia benar teman kuliah aku dulu”
“mab senang ya?”
“yo he he “
“wah ada yang mulai jatuh cinta ini”
“kamu Yun”
“tidak ada yang ngelarang to mba?”
“ada”
“siapa?”
“kedua anakku harus setuju kalau mamanya jatuh cinta lagi”
“segitunya?”
“aku tahu tidak bisa lepas dari kedua anakku itu Yun”
“aku juga tahu”
“tentang apa?”
“tentang mas ganteng yang sedang membuat jatuh cinta mba biru”
“kamu tahu saja Yun”
“tahuuuuu”
“hahahah…”
Aku sudahi teleponya dan aku tahu Yun ternyata senang juga aku bisa bertemu lansgung mas ganteng itu.
Jogja hari awal Juni memang aneh kadang hujan dan kadang panas membara, dimana inikah rahmatNya yang mengiring akan puasa ramadhan, aku hanya berharap kelak aku bisa menemui puasa ini lagi walau aku sadari bahwa puasa ini adalah ramadhan kelak sudah tanpa mas harun lagi disisihku, aku tahu dan berusaha tetap bersyukur dan gembira menyambuta ramadhan ini.
Aku akan berusaha nyekar ke makan mas harun di Bantul dan aku jadi tidak enak pad aibu dan bapak mertuaku karena aku diharpkan menjadi istri kedua mas Bejao aku belum bisa menjawabnya dan inilah mengapa jelang ramadahn ini terasa sunyi di hatiku ini hanya ibu kemarin mengsms aku disuruhnya aku bersama-sama nyadran ke makam mas harun bersama mereka .
#TantanganMenulisNovel100Hari
72
CINTA, BUKAN NAFSU (9)
Nyadran, cinta*
Biru menapaki
jalan yang pernah di lalui
dengan harap cemas
setelah
perginya
sang kekasih hati
di kabadian cintaNYa
“mas aku tahu hanya do’a dan taburan bungan ini yang bisa aku berikan padamu, kedua anak kita sekarang sudah besar dan aku berharap bisa tetap mengenangmu dalam sedih, suka ini”
do’a diatas pusara yang mulai ditumbuhi oleh kenangan luka
rumput-rumput yang meninggi
dan jatuhnya luka
bunga kamboja diatas pusara hatinya ini
- untuk hati yang pernah terluka
Al Muru’ah sayyid jumi anto, 632016
Tentang keabadian yang tidak bisa kembali lagi hanya ketabahan hati yang bisa menaklukannya, Biru dan kedua anaknya nyadran di Bantul bertiga dan inilah yang nampaknya untuk membuat mengerti kedua buah hatinya akan kehidupan dan kematian kelak akan d tepatiNya untuk kita>
“bapak disini ma?”
“Ya”
“kita berdo’a ma”
Aku berdo’a khusuk untuk memintakan ampun segala dosa yang pernah di perbuat oleha mas harun waktu hidupnya dan aku berdo’a semoga kami diberi ketabahan dan kesehatan lahir bathin dan aku tahu, mas harun keabadianlah yang sekarang bersamamu.
***
Aku mampir kerumah mas Harun dimana bapak dan ibunya ada di Patalan Bantul
“kami mau pindah rumah nenek “ kata anakku yang pertama Dinda
“ya kami mau pindah jauh dari sini” kata anakku yang kedua Dion
“benar BIru?” tanya ibu padaku
“ya bu kami mau pindah ke Kokap”
“kulon progo?” tanya bapak padaku
“ya kami mau pindah dekat waduk sermo” kata Dinda
“senang kami bisa making setiap saat kata Dion polos juga
“benar itu, mengpa keluar asrama?”
“kami sudah tidak bisa menggunkannya lagi”
“karena ?” tanya ibu
“saya bukan anggota polisi bu, lagian mas harun sudah tidak ada dan kami sudah tidak bisa menghuni rumah dinas ini lagi”
“tetapi kok jauh?”’ tanya bapak
“bagian, tabon bapak dan simbok pak” jawabku sedikit pelan
“bagaimana dengan tawaran sri?” tanya ibu padaku
“aku tidak bisa mennerimanya bu”
semua diam, bapak ibu mertuaku hanya diam dan aku mendengar keputusan bapak
“terserah kamu biru”
“ya bapak dan ibu hanya pasrah itu keputusanmu”
Hati ini serasa di gerojok oleh es salju kutub selatan dan hatiku hanya berucap “alhamdulillah ya Allah swt”
Suara kedua anakku sudah tidak terdengar dan aku lihat dion dan dinda pergi kehalaman samping bermain.
Plong langkah aku untuk pindah rumah juga direstui, kadang orang lupa bahwa penghujung bulan rajab ini dan awal ramadhan ini ada keajaiban yang tidak pernah disangka-sangka oleh kita kelak, aku hanya berharap kepindahan tempat tinggal aku dan kerja aku di Wates bisa mengubah kehidupan aku yang lebih baik kelak aku yakin dan aku semakin yakin karena mas ganteng itu juga mengajar di san, inilah karuniaNya yang tiada tara di dunia ini.
“nduk bila kamu tahu kamulah anak satu-satunya kami, maka kembali saja kerumah ini kelak”
Pesan simbok dan bapak inilah yang membuat motivasi aku pindah ke Kulon progo tempat memulai sesuatu yang baru dan aku berikhtiar kelak akan membangun kehidupan baru yang lebih bersemangat lagi kelak.
“biru kami ingin berubah to?” tanya YUn padaku
“ya berubah segalanya”
“pundah rumah juga”
“ya,kamu mau ikutan po?”
“gila kamu biru”
“tidak keputusan final”
“tidak enak lho jadi orang”baru “ nanti
“ah tidak apa-apa ada bulik dan paklik disana nanti”
“desa ya biru?”
“ya benar”
Yun diam dan membuat aku sedikit kaget
“dan membawa kenangan cinta dan sedihmu kelak biru”
“benar yun”
“aku..”
“Tahu yun, tetap komunikasi”
“tuh kan”
“yaaa… jangan mellow ya Yun”
“aku tahu mba”
#TantanganMenulisNovel100Hari
73
CINTA, BUKAN NAFSU (10)
Aku tahu kenangan itu seakan tidak bisa aku lupakan tentang teman dan rekan sekerja dan tentang cinta yang kami rajut dan juga rejeki yang kami punyai inilah nasib yang juga membuat mba min juga mellow..
“jadi pindah bu?”
“ya min”
Kami membersihkan rumah kami di asrama ini dan sesekali aku memasukan kekardus beberapa macam barang pribadi yang aku punya sementara Dion dan Dinda juga sibuk mengemasi bebarap barang, mainan, tas dan baju mereka.
“apakah tidak sunyi disana bu?”
“tidak min aku berusaha memulai dari nol nanti disana”
“dari nol?”
“ya aku kembali “gadis “lagi nanti disana”
“ha ha…”gadis “ lagi”
“ya kembali ke tempat aku lahir “
“oh begitu”
“jangan ngambek dan tetap semangat ya min”
“tetapi boleh dolan to bu?”
“ya boleh cuma naik bis saja sampai nanti aku jemput”
“dari terminal ya?”
“kamu tahu to ?”
Kami berdua mengemasi beberapa barang pribadi kami dan aku sesekali termenung ketika menurunkan foto kami berempat di ruang tamu itu foto mas bahagia kami yang sekarang membuat aku sedikit sedih
“mas harun masih gagah bu”
“ya min”
Gagah dengan seragam polisinya akutahu kenangan itu benar-benar tidak bisa kulupakan tetapi mengapa aku harus larut dalam kesedihan ini dan aku bertanya mengapa aku tidak memutuskan lagi punya suami karena aku masih cinta padanya dan aku tahu mengapa mas bejo seakan selalu menarikku untuk menjadi istri keduanya benar aku baru sadar bahwa aku masih menarik di mata lelaki yang konon karena wajah dan mudahnya aku bergaul kadang banyak istri-istri yang cemburu tanpa aku sadari selama ini.
Aku di pinjami truck dari kesatuan mas Harun dulu dan mengangkat almari serta rak buku dan juga meja kursi kami dan aku juga mengakat juga perabot rumah tangga kami yang berat-berat ke bak truck ini dan mereka membuatk aku semangat. Mba min menyuguhkan makanan ringan dan juga minuman teh kepada mereka dan salah satu mendekati saya.
“Kokap bu?”
“ya “
“arahnya Wates”
“ya tiga kila barat Wates mas”
“siap bu”
Mereka selalu begitu menyambut aku seakan mereka melihat mas Harun ya atasan mereka masih hidup disampingku. Kenangan yang indah tidak bisa aku lupakan di asarama ini tetapi bukankah ini milik pemerintah dan aku tahu inilah awal aku hidup sebagai masyarakat biasa yang entah mengapa aku selalu merindukannya dikala di asrama waktu itu.
“enakan disini jeng” kata seorang ibu asrama
“maaf aku mau pulang kampung” kataku polos
“ya jauh ya Kulon progo”
“deket cuma barat Jogja” kata ibu yang lain
“jangan lupa rinduiin kami ya bu biru”
“ok” aku hanya menjawab singkat wa dan sms mereka aku diam dalam senang dan sedih atas kepindahan kami ini.
Kadang orang lupa bahwa paseduluran adalah modal utama dalam hidup kita bermasyarakat dan inilah nampaknya yang masih terjaga di Jogja kami masih sepenanggungan dan nasib kami sama tetangga adalah saudara yang paling dekat kami. Masyarakat yang masih “hangat” dan semua empati, bila sedih kami ikut merasakan dan demikian juga bisa senang kami juga ikut merasakan yang lebih bahagia bagi kami semua adalah saudara yang sensib juga.
***
“Jangan pernah lupa pada kami”
“lekaslah punya suami lagi”
“aku selalu rindu padamu”
Lewat medsos mereka membuat aku tersenyum dan bahagia atas empati mereka pada kami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H