cerita yang kemarin :
alsayidja.paintKemana angin akan membawa ya angin perubahan dri yang tidak pasti menjai pasti da hiduplah yang menghendakiku untuk memilih, salah satu pilihan yang pahit dari yang lebih pahit
"nduk pasrah saja"
"tetapi aku tetap ikhtiar mbok"
"mba jujur semua nampaks eram jadinya"
"ya lik aku tahu, tetap berasamaku  ya?"
"aku kan selalu bersama mba Guru"
 Aku diam membisu sperti ombak yang selalu menipu nelayan kadang tenang walu gundah dan kadang berebur dengan lantangnya seperti menantang  akulah ombak!
"kamu tidak tahu di untung"
"kenapa pakde?"
"semu nurut kamu"
"bukan, niat mereka kok"
Pakde diam seribu bahasa, aku diam juga bagimanapun dia adalah orang tua kedua setelah bapak almarhum dan ku selalu hormat padanya, walau kadang aku juga beda pendapat tetapi ini bab yang benar untuk rakyat,aku sedikit tidak hormat dan aku bersikap sendiri
"yo wes, iki panjalukmu nduk"
"ok , nggih pakde"
memang pakde ternyata juga tim sebagian yang merayu kami untuk tunduk pada sistem yang ada dan sistem yang mencekik leher-leher kami ini adalah ada benarnya
"kita harus bersisap pakde, bukan malah anut grubyug"
"ah kmau anak kecil coba bpakamu masih hidup"
"tetap sama ini ahrga diri kami pakde"
"harga diri bagaimana,  mau  makan pakai harga diri ya?"
"jangan membuat kami lebih marah"
Pakde diam akhrinya
"aku hanya minta kembalikan ketenteramana penduduk kami"
"asal mau dan setuju pada ganti untung ini, nduk"
"tidak harus setuju dan bertekuk lutut kan?"
"kamu ngeyel, suka menyangkal orang tua"
Pakde marah untuk diingatkan bahwa langkashnya hanya menjual ahrga diri rakyat kami , peduduk yang lugau dan apa adanya, benar semua orang sekarang menghitung uand dan uang !
BERAMBUNG...
ALSAYIDJA,Â
PATHOK BADARA 43, SEBUAH NOVEL
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H