Mohon tunggu...
Sayyid Jumianto
Sayyid Jumianto Mohon Tunggu... Guru - Menjadi orang biasa yang menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis untuk perubahan yang lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Buku Biru 7 [Tantangan Menulis Novel 100 Hari‬]

20 Maret 2016   17:59 Diperbarui: 20 Maret 2016   18:33 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="alsayidja.paint"][/caption] cerita yang kemarin

Buku Bru

Al Murru'ah Sayyid Jumi Anto

No  peserta :62

Jumlah kata: 617

 

‪#‎TantanganMenulisNovel100Hari

 

Minggu yang haru

Entah mengapa cuaca Yogya akhir-akhir ini seperti hatiku juga , betapa sekArang panas membara besok mendung dan  juga hujan deras,  perasaan aku atau bukan inilah alam ada  yang maha mengaturnya.

“mama kita jalan-jalan ya?”

“kemana kakak?”

“jadi ke Alun-alun Selatan  to ma, mau naik andong atau becaK , berkeliling dan..”

“makan bubur ayam atau gudeg pakai paha…” kami tertawa kecil

“kaka tidak ajak adik  ikutan ya?” tiba-tiba Dion datang sambil disuapi mba Min,

“ya ikutan, kita berempat…” mereka berpadangan dan tidak  yakin dengan jawaban mamanya itu

“Horee…ayo mba Min kita  ke alun-alun selatan,  jalan-jalan” terian Dion senang  banget!.

“mba Min  ikutan , tapi kita mau naik  bis kota atau naik taksi mama?”

“bagaimana kalau jalan kaki??”

“tidak mauuuu…”mereka berdua  kompak tidak mau, lalu mam Biru menelepon taksi

“sepeda lipatnya boleh di bawa  ya mama?”

“boleh saja”

“mama belikan Bubur ayam nanti ya?”

“oke   tidak akan lupa mama sama kamu Dion” dipeluknya anak kedua ini dengan sayangnya dan dirangkulnya anak pertama juga disebelah kanannya. Mba Min membenahi apa yang akan dibawa hari itu ada sepeda lipat kecil dan sangu makanan kecil kesukaan Dion dan Dinda.

Taksi datang dan mereka senang sekali ke alun-alun selatan ini sudah banyak yang berolah raga sepagi ini dan banyak juga yang sengaja berjualan makanan khas dari beberapa daerah juga ada, ramai dan inilah kesukaan mereka tidak putus juga.

“mass aku bersama anakmu tidak lupa kami akan akan sempatkan ke alun-alun selatan ini untuk mengenangmu dan membuat hatimu senang disana”

Dinda mengendari sepeda lipatanya dan Dion merengek untuk beli bubur ayam sementara mba Min  mengikuti kemana Bu Biru berjalan  mengikuti anaka keduanya Dion mencari bubur ayam, 

“mas beli empat ya”

“ya bu”

“ jangan lama ini anak  saya agak rewel”

“biasa bu anak-anak , eh ini  hmm Bu Biru ya?”

“ya pak” sambil melihat  penjual itu melayani, memang penjual bubur ayam itu sudah menjadi  langganan keluarga kecil itu sejak pertama kali  sering dolan di alun-alun kidul ini.

“ikut prehatin dan sedih ya bu "kata istri penjual bubur itu

“terimakasih bu”

Mereka menerima empat bungkus bubur ayam itu dan memanggil Dinda untuk makan bersama mereka

“Kakak kesini sudah jadi ini bubur ayamnya”

“ya ma tanggung, aku kesitu  mama “

mereka makan di meja yang sengaja di pajang lesehan di sudut alun-alun  tempat  mereka makan, kecuali Dion yang masih merengek minta disuapi oleh mamanya

“mba Min nih Dion tidak mau makan sendiri”

“biarin ya mba Min?”

Rasa gembira minggu ini menyeruak dihati mereka dan seakan  sang waktu tersenyum dan gembira di pagi itu, ditengah mereka makan ada dua orang lelaki dan perempuan yang juga datang  dilesehan bubur ayam ini.

“mama om Yanto itu”

“ya sst jangan berisik  kalau makan ya”

“eh  sedang disini juga?”

“ya om sama mama dan adik dan yu Min”

“ bagaimana kabar bu Biru ?’

“sehat, terimakasih sebelumnya sudah menolong Dinda”

“sama-sama bu , perkenalkan ini Lis  tunangan saya”

“ya ini  mamanya Dinda, sok ngerepoti mas Yanto, maaf ya mba Lis?”

Mereka tersenyum, tetapi hati Lis agaknya tidak terima di gamitnya dan dibisiknya ditelinga  Yanto

“mas ini kan jandanya mas Harun itu to?”

“he kenapa kamu mau merusak  suasana pagi ini?”

“tidak sering ya?”

“apa?”

“antar jemput anaknya?’

 “kami seperti saudara Lis, ayo makan buburnya ya?”

Lis melihat betapa cantik bu Biru manis dan cantik walau sudah punya dua anak dan itu tahi lalat didagunya sangat membuat pria manapun tertarik padanya.

“kok diam Lis?”

“eh,  hmm, cantik benar bu Biru..”

“kamu mengapa ?’

“tidak mas , muji saja kecantikannya”

“istri mantan atasanku aku harus hormati beliau Lis” berbisik padanya

Tampak mama Biru sedang menyuapi anaknya lebih dari dua meja letak duduk mereka dari dua insan ini karena tempat duduknya. Agaknya ada rasa cemburu di hati Lis tetapi tidak diungkapkan  kepada sang calon suaminya ini.

 BERSAMBUNG..

 -novelbukubiru-alsayidja-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun