Mohon tunggu...
Sayyid Jumianto
Sayyid Jumianto Mohon Tunggu... Guru - Menjadi orang biasa yang menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis untuk perubahan yang lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Pathok Bandara, Sebuah Novel 23

20 Februari 2016   20:03 Diperbarui: 20 Februari 2016   20:39 4
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita yang kemarin

[caption caption="HANYA SEBUAH PAINT DARI AL SAYID"][/caption]

Apakah menolak melanggar hukum dengan konsekwesinya yang fatal ataukah menerima juga melanggar hukum hati nurani kita yang pada dasarnya menolak bila sesuatu tidak  pada tempatnya, entah mengapa harus semua di korbankan demi kemajuan sesaat dari desa menjadi mega politan dan mega bandara yang besar juga

Dilematis sementara sepantaran simbok dan lik Tum hanya pasrah dengan keadaan ini tetapi anak dan generasi adik-adiknya seakan tidak menerima bila hanya pasrah  bongkokan, kalah  dan menyerah tanpa bela diri.

Bukankah kamu tahu semua hanya akan menajalankan atruran yang dikuatakan dengan ikatan batin ya unggah-ungguh dari kebaisaan ya hukum adat bersaing dengan hukum modern yang bersumber kUHP akhirnya saling tidak melengkapai bahkan saling tidak ketemu satu hukum dengan yang lain.

Terutama bila hukum adat hak mempunyai tanah di benturkan dengan hukum modern dengan dalih untuk kepentingan umum maka pemerintah berhak memeberdayakan dan menggunakan tanah ini untuk kepentingan umum "dirampas paksa" dengan dasar undang-undang agraria yang baru.

"semua tetap dipertahankan , mba" kata lik Legiman  padaku

"ya tetapi lihat sendiri itu sepanduk sudah diturunkan paksa kita harus tidak dengan kekerasan , taati peraturan sja" dorongkupada lik Legiman, saat itu juga ketika kami melihat Satpol PP pemerintahan Kabupaten Kali perkakas  mencopi spanduk penolakan kami

"kuncinya sabar, diplomasi dan tanpa kekeraasan " aku setengah  mengingatkan sederatan pemuda yang emlihat "show  off" pencopotan spanduk-spanduk kami ini.

 

***

Malamnya...

 

Sepertinya  ada yangmangadu domba kami

sebaris cahaya

sekelompok manusia bercadar hitam-hitam

 

masih anak-anak muda

dikerahkan untuk menyerang pendapa kami

dan terjadilah  yang terjadi

 

dimalam ini

nurani seakan mati

 

Entah mengapa malamnya setelah isya pendapa  di hujani oleh sekelompok pemuda yang bercadar hitam-hitam melempar bom botol yang  yang membuat sebagian cagak, ya tiang pendapa agak sedikit terbakar, kami tidak melawan tetapi melaporkan kejadian ini pada aparat pemerintah dan ditindak lanjuti dengan memasang garis polisi pada pendapa  kami ini

"kebangetan to ? lha setuju dan tidak setuju itu masalah hati to? kata bulik  warni mengomentari ulah barbar ini

"pasti  ini suruhan ini  benar mba" kata mba Trimah padaku

aku diam membisu, mengapa kami jadi sasaran begini, aku baru tahu, inikah saatnya kita bangkit membela diri ataukah ini memicu  untuk masuknya mereka mengolah perbedaan pendapat kami?

 

bersambung...

 

pasrah bongkokan: menyerah kalah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun