Mulanya, Abi tidak mengerti dan tidak pula merasa hatinya tentram. Ia yakin, juga meragu. Kendati hatinya setengah bimbang, raut wajahnya berbeda.
Abi mengeluh, "Panas sekali. Dimana Lani? seharusnya aku sudah mendapatkan makan siangku."
Abi berpindah, duduk bersandar pada dinding rotan gubuknya. Abi merasa tubuhnya sangat letih usai setengah hari tanpa jeda mencangkul sawah miliknya sendiri.
"Abi!" Lani datang dengan rantang makanan di salah satu tangannya.
"Kamu lama sekali!"
"Maaf Abi, terlalu sayang melewatkan gosip bersama warga desa." Lani tertawa malu.Â
Abi jengah. Selalu seperti itu. Kekasihnya sama saja, suka sekali bergosip, untung cantik. "Abi, kamu tahu?"
Abi menghela napas, kekasihnya akan memulai gosip lagi. Sebagai kekasih yang baik, Abi mendengarkan Lani sembari memakan makanan yang dibawakan oleh kekasihnya. Masakan Lani, tidak pernah satu kali pun mengecewakannya.
"Bu Ijem bilang, desa kita sedang diteror."
"Teror apa lagi, La? Kemarin kamu juga sudah menceritakan teror desa."
"Abi, dengarkan aku dulu! Ini berbeda." Raut wajah Lani berubah serius. "Bu Ijem kemalingan."
"Maling?" Lagi? Abi mengernyit.Â
Benarkah ini teror? Kemarin Lani juga berkata bahwa rumah salah satu tetangganya kemalingan, televisi dan sejumlah uang dibawa kabur oleh pelaku.
Katanya, ketua RT setempat sudah mencoba mengadakan musyawarah untuk mencari jalan tengah agar situasi desa kembali guyup, tentram tidak seperti sekarang, warga desa resah juga saling curiga.
"Tapi, Bi. Maling yang ini hanya mencuri pisang saja."
***
Purnama datang. Jangkrik berbisik riuh. Kodok turut ramai. Suara binatang malam saling bersahutan. Aroma tanah yang basah menguar. Jalan desa becek oleh genangan air.Â
Pos ronda yang biasanya ramai kelakar pemuda desa, kini nampak lengah. Maklum saja, hari sudah sangat larut malam. Orang pada umumnya sudah larut dalam bunga tidur.
Lain halnya dengan Abi, di tengah malam ia masih terjaga, nampak asyik menyaksikan kesebelasan jagoannya tengah berebut bola dalam televisi.
Buk!
Abi, abai.
Buk!!
Fokus Abi mulai goyah. "Ah, mungkin kucing atau tikus saja."
BUK!!!
Abi terperanjat, hampir tersungkur dari posisi duduknya karena suara gaduh yang ia dengar. "Suara apa malam-malam begini? Mengganggu saja!"
Abi memutuskan untuk membuka pintu, menilik di area sekitar rumahnya. Namun nihil, tidak ada siapa-siapa dan tidak ada apa-apa. Secara tiba-tiba, Abi mengingat obrolannya dengan Lani waktu siang tadi.Â
Maling? tapi sepertinya bukan, rumahnya aman-aman saja, tidak ada yang memasuki rumah. Abi hanya sendirian di rumahnya. Lantas?
"Hantu?" Abi bergidik ngeri, bulu kuduknya berdiri. Ia teringat malam ini adalah malam Jum'at Kliwon.
***
"Begitu, La. Menurutmu semalam itu apa?"
"Abi, itu maling! Pasti maling!!!"
Abi mendengus, sedikit merasa lucu dengan reaksi Lani. Rupanya, kekasihnya itu heboh sendiri.Â
Namun Abi tak menampik kemungkinan itu. Bagaimana kalau semalam memang ada maling yang berusaha mencuri sesuatu darinya tetapi gagal karena tingkah Abi semalam? dan bagaimana? baik, cukup. Abi sekarang sungguh merasa konyol atas asumsinya sendiri.
"Bagaimana kalau hantu?"
Lani tertawa renyah. Memandang Abi jenaka. Kamu percaya hantu?"
"La, itu hanya kemungkinan lainnya saja. Siapa tahu memang ada benarnya. Lagi pula tidak ada barang berharga yang hilang."
Lani akui dirinya merasa tidak percaya dengan segala isu mengenai hantu yang kerap berkembang di masyarakat. Meskipun kerap ia dengar kisahnya, Lani bukanlah satu-satunya orang yang menganut paham bahwa hantu itu tidaklah nyata.Â
Bagaimana mungkin hantu mencuri benda milik manusia? menurutnya, hantu sangatlah tidak mungkin.
Apalagi keberadaannya yang konon, terbilang kasat mata. Belum pernah satu kalipun ia jumpai secara langsung seumur hidupnya. Lani sekadar tahu hantu sepintas dari cerita yang beredar di masyarakat.
Hidup di desa membuatnya akrab dengan istilah berbagai hantu yang berkembang dari mulut ke mulut. Namun tidak membuat Lani percaya begitu saja selama tidak adanya bukti fisik mengenai hantu yang terdengar santer di masyarakat.
Meski Lani tidak mempercayai hantu, Abi hanya berspekulasi saja dari berbagai sisi. Kejadian yang ia alami tadi malam cukup menggelitik dirinya dan membuat Abi cukup merasa was-was ditengah situasi desa yang sedang tidak kondusif. Bagaimanapun segala kemungkinan bisa terjadi.
Baginya, di era sekarang tidak ada yang tidak mungkin. Banyak orang yang membenarkan segala sesuatunya dari satu sisi saja sekadar untuk memenuhi kesenangan dan kepuasannya sendiri dengan jalan yang relatif tidak baik.
"Abi, bagaimana kalau terulang?
Abi tidak yakin tetapi hatinya juga tidak merasa tenang.
***
Nyatanya, Lani benar. Suara yang sama di jam yang sama kembali terulang. Serupa, persis sekali. Namun ada yang berbeda, kali ini ia tidak di rumah seorang diri.Â
Siang tadi, Lani berhasil membuat Abi setuju bahwa malam ini, mereka akan menangkap maling.Â
Faktanya, terbukti!
Suara gaduh itu kembali terdengar, Abi dan Lani menyembulkan kepalanya dari balik tirai jendela. Abi keliru, kemarin malam Abi hanya fokus pada area depan rumahnya saja. Abi luput bahwa samping rumahnya ada gubuk dari kayu yang penuh dengan tumpukan kayu kering beserta hasil panen sawah dan kebunnya. Â
"Abi, Maling! Maling! Maling!!!" Lani berseru panik ia berlari keluar rumah disusul Abi yang tergopoh-gopoh kesusahan membenarkan sarungnya yang melorot.Â
Tetangga rumah yang mendegar Lani turut berlari panik ikut meneriaki maling sembari memukul kentongan dan berhasil menyulut riuh warga yang lainnya.
"Maling! Maling! Maling, Pak! Bu!!!"
"Maling!!!!!"
Abi yang tertinggal lantaran sibuk membenahi sarung yang ia kenakan berlari panik tak tentu arah. Abi begitu panik lantaran kekasihnya sudah jauh di depan mengejar maling sedangkan dirinya ditinggalkan begitu saja.
"Pak, saya pinjam motornya sebentar, hendak mengejar maling!!!" Seru Abi kencang sembari motornya melaju cepat. Meninggalkan pemilik motor yang tengah berlari heboh bersama warga lainnya.
Setelah kerusuhan menggemparkan yang terjadi, pelaku berhasil ditangkap. Abi menatap Lani seksama, Lani tertawa geli. Sedangkan para warga yang berkerumun mengelilingi pelaku serentak bersorak-sorai merasa jengkel.
"Pak, Bu! kita ditipu orang gila!
"Oalah, wong gemblung!!! ada-ada saja!"
Abi mendekat menatap maling diantara kermunan warga, matanya memicing bibirnya menipis kesal.Â
Alih-alih pelaku merasa terintimidasi oleh warga, pelaku justru tertawa kesenangan sembari bergerak gemulai nampak malu-malu memakan pisang yang berhasil ia bawa lari.
"Kalian tertipu! aku ketahuan, aku ketahuan!!!" ledeknya sembari terbahak.
***
Wong gemblung = orang gila.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H