Pembatas Buku Puisi
I
Pembatas bukuku
hilang
Itulah buku puisi pertamaku
Setelah dilewatinya lembar demi lembar
aku dibuatnya
hilang
Oh Kehilangan
adakah segala yang
hilang
mesti ditemukan kembali?
Jangan-jangan
pembatas bukuku sendiri
yang putuskan 'tuk
hilang
dari bukuku?
Oh, Pembatas bukuku
paling tidak katakanlah
puisi mana yang terakhir kali
membuatku senyum-senyum membacanya
II
Aku ingat kata ibu
Cari pakai mata. Jangan pakai mulut.
Aku ingat kata ayah
Cari dengan ingatan. Lihat lagi.
Demikianlah bila yang hilang adalah kunci sepeda motor
Bagaimana pula jika mereka kutanya
Di mana pembatas bukuku itu
yang berasal dari buku puisi
yang ditulis sepenuhnya tentangku
oleh kekasihku itu?
Tentulah jawab mereka
Ah, anakku
bukankah sudah kau putuskan:
kau hilang darinya
sesudah kekasihmu itu
menerbitkan buku puisi terbarunya
yang puisi-puisinya sepenuhnya bukan tentangmu?
III
Lalu aku bertemu kau
yang pernah kehilangan pembatas buku
dari buku puisi pertamamu
yang ditulis sepenuhnya tentangmu oleh kekasihmu
Kala itu kau belum mengungkapkannya
Apa pentingnya pembatas buku?
Kau menerbitkan buku puisi
Puisi-puisinya sepenuhnya tentang kekasihmu
Kau beri buku puisi itu kepada kekasihmu
dan kekasihmu menghilangkan pembatas bukunya
dan kau tahu kekasihmu menghilangkan pembatas buku itu
Apa menurutmu pembatas buku itu menjadi penting
dibanding kau tahu bahwa kekasihmu membaca buku puisi
yang kau tulis sepenuhnya tentangnya itu?
Ah buku tanpa pembatas buku tetaplah buku
Kehilangannya tak membuat taman bunga
kehilangan bunga-bunganya
Pembatas bukuku tetap hilang
Kau menggantinya dengan setangkai melati
Gugur dari bibir merahmu
sewaktu kau pamit dari perpustakaan kota itu
Di perjalanan pulang aku sadar
kau begitu mapan dengan pembatas buku
IV
Kau tahu
sebagai sesama mantan kekasih
yang sama-sama kehilangan pembatas buku puisi
yang puisi-puisinya sepenuhnya tentang kita
aku melihat cara bicara kita sama:
seperlunya
Sebab yang hendak selalu kita katakan adalah kekesalan
akibat hilangnya pembatas buku itu
Maka setiap kali kekesalan itu terhenti di bibir merahmu
melati itu gugur
Bunga apa pula yang kau lihat di bibirku?
Akan kutanyakan itu kepadamu
dan kau harus menjawabnya dengan jujur
V
Hari berlalu
Satu, tujuh, tiga puluh satu dan seterusnya
Buku puisiku yang hilang pembatasnya itu kembali kubaca
Sesekali aku terjeda
Melati itu tinggalkan jejak
Mungkin getahnya
        atau darahnya
        atau air matanya
Semakin lama
semakin memenuhi halaman
menelan semua puisi yang ada di sana
Aku semakin sering mengingatmu
Konon
pembaca buku
apalagi buku puisi
tak terlalu suka dengan hape
Isinya pamer semua. Aku tak suka.
Demikian kata kekasihku yang menulis puisi tentangku itu
Namun bukan itu yang membuatku
tidak meminta nomor WA-mu sore itu
Aku pun ingat gugurnya melati itu:
diam-diam masih kau cari pembatas bukumu itu
Sungguh
aku tak bisa temukan pembatas buku itu
dan aku tak bisa mengajakmu bertemu
dan aku tak bisa mengembalikan puisi-puisi yang hilang dari bukuku itu
Adakah kehilangan pembatas buku sesakit ini?
Awi & Rani
Dumai & Bandung, 31 Juli -- 1 Agustus 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H