"Setamat SMA aku sudah merantau ke Malaysia untuk mencari kehidupan yang layak. Aku bahkan sudah memiliki empat toko di Chowkit lalu aku memutuskan untuk pulang ke Aceh menjemput orang tuaku. Setibanya di Aceh, aku dihadapkan pada kenyataan kalau mereka sudah tiada. Kudengar dari bisikan tetangga, mereka dibawa militer Indonesia untuk diinterogasi dan tidak pernah kembali lagi. Aku sebenarnya tidak ingin pulang ke Malaysia lagi tetapi ketika militer Indonesia menyebut orang Aceh yang tinggal di Malaysia adalah kombatan GAM, aku akhirnya kembali ke Malaysia. Aku menjual tiga tokoku dan menyumbangkan uangnya untuk perjuangan mulia GAM."
        "Nah, kamu dengar sendiri Mahmud. Orang-orang sudah sangat membenci Indonesia. Keadaan Aceh sungguh sangat pelik. Satu-satunya harapan kita adalah GAM. Hanya itu saja! Kemerdekaan adalah harga mati sekarang. Kamu tahu Hasan Tiro? Beliau merupakan wali negara dan seorang pemimpin sejati. Beliau sebenarnya bisa hidup mewah di Amerika tetapi semua itu beliau tinggalkan demi kemerdekaan Aceh. Pemimpin seperti itu hanya lahir dua ratus tahun sekali."
        Aku tidak ingin membalas perkataan Murad. Aku memilih untuk diam. Aku tahu yang keluar dari mulutku hanya kesia-siaan belaka, percuma saja meyakinkan mereka kalau kebencian itu sendiri sudah mengakar di hati. Tetapi aku penasaran bagaimana bisa Imran sampai memiliki empat toko di Malaysia.
        "Bang Imran, bagaimana ceritanya abang bisa punya empat toko di Malaysia?" Tanyaku penasaran.
        Orang-orang melihat ke arah Imran. Dia pun kembali bercerita.
        "Waktu pertama kali datang ke Malaysia, aku tinggal di Kampung Aceh di Kedah. Di sana orang-orang Aceh berkumpul dari pelbagai generasi. Mereka hidup dengan tetap memegang erat tradisi Aceh."
        Aku membetulkan posisi duduk. Mencoba mencerna setiap kalimat yang keluar dari mulut Imran lalu menyimpannya dengan rapat di memori otak.
        "Mereka merekomendasikanku pekerjaan yang cocok untuk pekerja ilegal dan memberitahu bagaimana cara melarikan diri ketika RELA -kelompok pengawas lingkungan- melakukan razia. Petugas RELA kemana-mana selalu membawa tongkat, borgol dan tak lupa dengan pistolnya. Apabila tertangkap, kita akan mendapat hukuman yang tidak saja menyakitkan tetapi juga merendahkan martabat. Kita dicambuk di depan banyak orang lalu dibawa ke penjara. Orang-orang Malaysia akan menganggap kita sebagai penjahat, pemberontak, sampah masyarakat, pencuri, dan bahkan pemerkosa."
        Imran menghentikan pembicaraannya sejenak lalu menyulut rokok yang tidak jelas darimana asalnya. Rokok itu pun dioper-oper secara acak, setiap orang hanya dapat jatah sekali isap. Beberapa ada yang mengisap lebih dari sekali, beberapa bahkan ada yang mengisap lama tetapi kemudian kepalanya langsung dipukul oleh orang di sampingnya.
        "Pekerjaan abang dulu apa?" Tanya Hamzah setelah mengembus asap rokoknya hingga mengepul di udara dengan bentuk yang begitu abstrak.
        "Dulu kita bekerja apa saja yang tidak mau dikerjakan orang Malaysia. Orang Malaysia biasanya tidak mau pekerjaan 3 (tiga) D. D yang pertama yakni Dirty, pekerjaan yang kotor. D yang kedua yakni Dangerous, pekerjaan yang berbahaya dan D yang ketiga yakni Difficult, pekerjaan yang sulit."