Mohon tunggu...
Alpi AnwarPulungan
Alpi AnwarPulungan Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa yang merantau ke Malang hanya karena membaca novel Apa pun Selain Hujan

Lahir di sebuah desa terpencil di Sumatra Utara, tepatnya di desa Sorimadingin Kabupaten Tapanuli Selatan. Saat ini tengah menempuh studi S1 pada program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya, angkatan 2017 dan mengambil minat sastra. Dulu memiliki hobi memangkas rambut dan bermain sepak bola di perbatasan kampung di dekat sungai Angkola tetapi sekarang mulai menyukai film-film Bollywood dan menekuni dunia kepenulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menepis Hasrat Pulang

26 Desember 2020   01:01 Diperbarui: 26 Desember 2020   01:11 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

                Sudah cukup lama kami berlayar tetapi daratan belum juga terlihat. Hingga kemudian Darwis memaksa kami untuk turun. Beberapa penumpang lantas melawan. Mengeluarkan segala macam sumpah serapah yang mungkin sudah disimpan selama bertahun-tahun. Kami disuruh berenang ke pantai yang bahkan sejauh mata memandang belum juga terlihat wujudnya. Kulihat Darwis mengeluarkan AK-47 dari plastik hitam yang dia bawa lalu mengancam penumpang yang tidak mau turun. Beberapa penumpang akhirnya satu demi satu melompat ke laut seraya memegangi dinding perahu sebagai penahan agar tetap mengapung.

                "Kapal patroli maritim Malaysia sudah mendekat. Aku harus pergi, masih banyak orang Aceh yang harus kuselamatkan." Ucap Darwis sembari menodongkan AK-47 nya kepadaku.

                Sontak aku langsung melompat ke laut, bergabung bersama penumpang yang lainnya lalu melihat sekeliling mencari di mana kapal patroli yang dimaksud Darwis. Aku melihat ada seonggok kapal dari kejauhan. Beberapa penumpang kulihat masih memegangi dinding kapal, beberapa lagi mencoba berenang mencari daratan. Darwis memutar kapal dan berlayar pulang ke Aceh, semakin lama semakin kecil hingga benar-benar menghilang. Beberapa penumpang ada yang tenggelam karena tak ada lagi pegangan. Aku mecoba menolong tetapi ketika kutolong mereka malah mendorong kepalaku ke bawah. Aku tenggelam dan napasku tidak beraturan. Aku berusaha berenang ke permukaan. Baru saja kepalaku muncul, sudah langsung didorong kembali ke bawah. Badanku semakin lemas. Aku pun memilih berenang menjauhi mereka karena bagaimana pun aku harus mengutamakan keselamatan diriku sendiri. Setelah berenang cukup jauh dan merasa sudah aman dari gangguan penumpang lain, aku mencoba tetap mengapung seraya menunggu kapal patroli maritim tiba.

                Tidak berselang lama, kapal patroli maritim berbendera Malaysia datang. Aku dan beberapa orang yang masih selamat diangkut ke kapal. Malam itu kami ditangkap karena melanggar UU Imigrasi 1959/1963 (UU 155) tentang imigran ilegal. Kami dibawa ke pusat imigrasi Damansara kemudian dipindahkan ke pusat penahanan Semenyih.

                                                                *****

Di kamp tahanan Semenyih, aku dimasukkan ke dalam sel berukuran 20x30 meter yang disesaki lebih dari empat ratus orang. Di sebuah ruangan yang pengap dan sulit dimasuki cahaya matahari. Aku bahkan tidak tahu hari ini siang atau sudah malam. Begitu gelap. Aku hanya duduk di lantai yang kotor, di sudut ruangan, sambil memperhatikan sekitar, mencoba mencari teman-teman lainnya yang berhasil selamat. Akan tetapi, semua benar-benar gelap gulita, hanya mata dan gigi orang-orang yang terlihat. Di depanku ada beberapa orang yang berkumpul sedang membicarakan sesuatu. Mereka mengajakkku untuk ikut bergabung tetapi aku tidak mengindahkannya. Aku hanya ingin sendirian, meratapi nasibku.

                "Namaku Murad, sudah empat tahun dipenjara di sel ini."

                Seseorang bernama Murad kudengar mulai memperkenalkan dirinya. Kemudian Murad menceritakan kematian beberapa tahanan yang mengalami nyeri akut di perut, kaki dan paha karena kekerasan yang terjadi di sel ini. Murad juga menceritakan bagaimana siksaan yang dialami oleh perempuan yang lebih tidak manusiawi. Perempuan hamil misalnya, mereka boleh melahirkan di rumah sakit tetapi ketika persalinan kedua tangannya harus diborgol.

                "Lingkungan sel ini juga tidak bersih, lihat saja WCnya tidak berfungsi, lalat beterbangan di sana sini. Makanannya selalu sama dan tidak bergizi. Dulu ada orang Nepal yang meninggal karena sakit TBC dan beri-beri di sel ini, ketika kami menyuruh petugas untuk membawanya ke rumah sakit, dia hanya dibiarkan saja hingga mati dengan mengenaskan."

                Aku masih tidak beranjak dari tempatku duduk untuk bergabung mendengarkan cerita Murad. Aku yakin itu semua hanya bualannya saja agar orang-orang di sel ini takut dan membenci polisi Malaysia. Hingga kemudian dia menceritakan sesuatu yang membuatku sulit untuk tidak ikut bergabung.

                "Ini semua gara-gara GAM." Ucapku menghampiri mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun