"Darwis, aku Mahmud anak Pak Manaf. Aku mau ke Malaysia." Ucapku dengan tegas.
        "Si kurang ajar itu ternyata masih hidup." Darwis tersenyum, sejurus kemudian berubah jadi sangar kembali.  "Kamu bawa uangnya?"
        "Ini!" Aku menunjukkan plastik hitam kepadanya.
        "Satu juta!"
        "Satu juta? Darwis, tolonglah, aku hanya ingin ke Malaysia. Bukankah perahumu ini juga ilegal?" Aku mencoba membujuknya.
        "Perahuku memang ilegal. Kamu tahu sendiri kalau semua jadi sulit dan mahal sekarang. Aku juga harus membayar uang keamanan kepada polisi Malaysia nantinya."
        Aku betul-betul terkejut mendengar jumlah ongkos yang Darwis minta. Sejak kapan ongkos perahu bisa sampai semahal itu? Apalagi selama konflik ini orang-orang sangat sulit mendapatkan pekerjaan. Jika pun ada bisa saja nyawa sebagai taruhannya. Pap ma! Bagaimana bisa dia mengambil kesempatan di atas penderitaan orang lain. Dengan terpaksa aku tetap membayarnya, memberikan semua uang hasil penjualan ternak yang kusimpan.Â
                                *****
Kami berlayar ketika Subuh sudah mulai dikumandangkan dengan menggunakan perahu kecil yang seharusnya hanya cukup menampung sepuluh penumpang tetapi oleh Darwis dipaksa membawa dua kali lebih banyak. Aku duduk di bagian depan perahu bersama seorang lelaki yang terlihat seumuran denganku.
        Selama perjalanan aku termangu. Hanya gemercik air laut yang menyentuh dinding perahu yang terdengar. Aku mencoba membersihkan darah yang mengering di kedua tanganku. Aku memandang sekeliling, langit sudah mulai menunjukkan keindahannya. Burung-burung laut beterbangan ke segala penjuru mencari mangsa. Orang-orang terlihat membisu selama perjalanan tetapi mungkin di dalam hati mereka sedang merapal doa-doa. Mata mereka menatap kosong ke depan, bisa kulihat beratnya beban hidup dari sorot mata mereka. Aku menelungkupkan kepalaku di kedua telapak tangan setelah berhasil lari dari semua penderitaan ini. Aku juga tidak lupa untuk berdoa agar diberi keselamatan.
        Sejujurnya aku merasa takut selama perjalanan ini. Aku tahu ada banyak bahaya yang siap kapan saja menimpa kami. Badai bisa saja menenggelamkan kapal. Patroli maritim bisa datang kapan saja menangkap kami. Apalagi mempercayakannya kepada seorang penyelundup mata duitan seperti Darwis ini. Akan tetapi aku sudah banyak melewati situasi berbahaya dan menakutkan selama di Aceh. Bagiku, ketakutan sudah seperti rutinitas.