"Berarti kalau yang tidak jago masak, kau tidak cinta, begitu?"
"Ya. Awalnya aku ingin perempuan yang jago masak agar bisa di masakin tiap hari. Tapi sekarang, setelah kupikir-pikir, aku tidak masalah dengan perempuan yang tidak pandai memasak karena memang memasak itu bukanlah perkara yang mudah, bukan pula sesuatu yang bisa dipelajari dengan cepat. Aku mengalaminya sendiri ketika belajar memasak. Bagaimana ketika mengiris bawang aku masih sering menangis, menggoreng telur dadar masih sering gosong, menggoreng ikan masih sering mentah, menumis kangkung masih sering hambar. Belum lagi ketika menyambal apinya terlalu besar dan minyaknya terlalu panas. Aku juga seringkali terpaksa memakai helm sebagai pelindung cipratan minyak. Semua itu betul-betul tidak mudah." aku meminum es teh milikku. "Kau sendiri bagaimana?"
"Aku tidak pandai memasak karena di rumah tidak diperbolehkan mamak. Di Surabaya juga aku disuruh beli makan saja agar fokus kuliah. Tapi kalau sebatas masak mi dan telur aku masih bisa"
"Mi dan telur juga sudah cukup," jawabku yang dibalas pukulan halus olehnya tepat di bahuku.
        Di Semarang kami hanya duduk menunggu bus datang sambil mengobrol. Dia sering memotretku diam-diam ketika aku masih asyik bicara.
         Setelah enam jam, akhirnya ada dua bus datang. Satu menuju Surabaya dan satu menuju Malang. Hatiku bagai musim gugur tatkala berpisah dengannya. Aku juga tidak bertukar kontak dengannya. Bukan karena gawaiku mati atau aku tidak hafal nomorku melainkan aku mempercayai kalau sudah jodoh pasti bertemu.
        Dari perjalanan Semarang-Malang aku terus terbayang dengannya. Ada banyak pertanyaan yang sebenarnya ingin kutanyakan, salah satunya pendapatnya tentang diriku. Apakah aku menarik baginya atau apakah dia suka dengan penampilanku? Jujur kalau ibuku pasti menyukainya. Apalagi karena dia bukan orang Jawa. Ibuku tidak mengizinkanku menikah dengan orang Jawa karena takut nanti aku melupakannya. Dasar ibuku! Bagaimana mungkin akau bisa lupa dengan segala jasamu. Kau yang menenangkanku ketika aku menangis, ketika aku sakit, mengganti bajuku dan mencucinya, memasak makanan untukku.
        Setelah sampai di Malang hingga beberapa tahun kemudian aku tidak pernah berjumpa lagi dengannya. Aku pernah mencarinya ke Surabaya tetapi kota itu terlalu luas. Â
        Aku mengambil foto itu lalu merobek dan membuangnya ke tempat sampah di depan rumah Bapak indekos sebelum akhirnya berangkat menunaikan salat Jumat di masjid Al-Hijrah. Aku memilih masjid tersebut bukan karena kualitas khotbahnya melainkan makanan yang tersedia di atas meja selepas Jumatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H