Sepintas tak ada yang begitu istimewa dari lemari kekuning-kuningan ini. Ukurannya tidak terlalu besar, daun pintunya sudah copot, begitu juga isinya; deretan kemeja buntung usang yang digantung di hanger yang sudah karatan, tumpukan jersey grade ori Manchester United musim 2017/18 yang sablonannya sudah mengelupas, buku-buku bajakan yang tak pernah dibaca, obat-obatan yang sudah kedaluwarsa, roster kuliah yang tak kunjung diperbarui dan peci yang hanya dipakai untuk solat Jumat. Satu-satunya hal yang istimewa dari lemari ini mungkin adalah tempelan foto di dinding sekatnya. Sebuah foto berlatar kapal feri disertai tulisan di bawah kanan, Bakauheni.
        Aku hanya bisa termangu memandangi foto itu. Mengingat-ingat setiap kenangannya, mengurutkannya dan menyusunnya dalam sebuah rajutan kisah utuh. Sebuah kisah kenangan yang selalu indah untuk dikenang tetapi begitu menyakitkan ketika tersadar bahwa itu semua tak bisa lagi terulang.
        Waktu itu aku memutuskan untuk naik bus ALS kelas ekonomi pulang ke Malang ketika perkuliahan semester pertama segera dimulai. Sebuah bus legend berwarna biru dari Sumatra dengan trek terjauh di Indonesia. Konon kabarnya bus itu pernah mengantar penumpang dari Medan ke Sulawesi.
        Tentunya keputusan yang amat kusesali. Lima hari empat malam dalam perjalanan. Duduk di kursi yang keras dan sempit, AC rusak, tak ada toilet, tak ada selimut, bus mogok, dan hal-hal yang tidak mengenakkan lainnya. Pantatku sudah datar dan punggungku terasa mau patah. Apalagi burungku yang menciut setiap kali kutekan menahan pipis. Itu adalah pengalaman yang yang tak terlupakan.
        Aku tidak punya pilihan lain karena saat itu biaya tiket pesawat Medan-Surabaya sedang tinggi-tingginya, dan jujur saja, sebenarnya aku bukan dari keluarga yang berada tetapi juga tidak termasuk kelurga yang harus dikasihani.
        Selama perjalanan aku melaksanakan setiap imbauan yang kudapat dari orang-orang di kampung yang telah berpengalaman merantau; membantu membersihkan bus agar dapat makan gratis di rumah makan, makan di tempat yang agak jauh dari kebanyakan orang agar mendapat harga lebih murah, dan menyiapkan banyak uang pecahan dua ribu ketika hendak ke toilet.
        Sudah beberapa kali bus berhenti, baik ketika mogok dan ketika waktunya makan. Penumpang juga sudah banyak bertambah ketika memasuki wilayah Jambi dan Palembang. Aku selalu duduk berpindah-pindah. Aku pernah duduk bersama bapak tua dari Simalungun yang hendak ke Jakarta menjadi sopir, pernah bersama pemuda dari Lhokseumawe yang hendak mencari pekerjaan di Tangerang, pernah bersama seorang ibu yang mengunjungi anaknya di Bandung. Dan pernah juga bersama seorang mahasiswi.
        Aku menyukai orang-orang yang kutemui di bus. Mereka memiliki ambisi yang luar biasa di tanah perantauan. Setiap kali mereka bercerita, selalu saja ada motivasi yang diselipkan di balik pengalaman yang tidak ada manisnya sama sekali. Dan mereka akan tersenyum setelah mengakhiri ceritanya.
                                ***
Setelah tiga hari di perjalanan, bus kini memasuki Lampung, melewati ratusan kilo meter tol Tegineneng Barat, tol Bakauheni Selatan hingga pelabuhan Bakauheni. Menara Siger terlihat jelas dari tempatku duduk. Aku mengalihkan pandangan ke depan, melihat lautan yang begitu luas tak berujung.
        Setibanya di pelabuhan Bakauheni, bus antre menunggu kapal. Aku keluar sebentar dan memesan secangkir kopi panas dari pedagang asongan yang berlarian mendatangi bus. Dari mereka juga kutahu kalau menyeberang ke Merak butuh waktu sekitar empat jam.