Kita yang tertinggal di dua dunia pagi
semoga memahami arti tata-letak rahsa puisi
sampai waktu mengabarkan terang riang mentari
dan wujud basah embun menjauh pergi
Â
Kita yang terbentuk dari kesatuan rusuk kasih manusiawi
seperti awan yang bebas menggantung terbang
tanpa kesadaran gerak mata angin
tiada mungkin bisa saling bertemu
hanya berseberangan jarak
pun bercakap dengan bahasa kejiwaan
bahkan di-kala kita ingini keadilan rindu
hanya menghela napas se-sesak nyanyian peminta hujan
bagi kemarau renjana yang masih diabaikan.
Â
Kita, sebagai seni yang memahat udara selepas pagi
mengembangkan rahsa nurani senyawa diri
dan dapat menjadi sesuatu yang ditunggu
walau sekedar untuk menjalani jejak kaki-kaki waktu
dengan lelaku santun haru-biru
ber-yoga pada kebutaan telinga dunia semu
yang mungkin kita tak harus mampu
menyesapi aroma renjana madu
untuk kemudian menulis puisi, atau melukis mimpi rindu
dari jari-jari-- dari kuku-kuku beku
lalu tersenyum pilu pada kedamaian kalbu.
Â
Sungguh kita...
; inginku bersama sisa takdirmu
walau nalarku tahu, takdir adalah perdebatan masing-masing kaum
yang datang-pergi umpama pagi tadi
dan esok, entahlah kita masih berpuisi.
Â
14122016
Alpaprana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H