Mohon tunggu...
Alpaprana
Alpaprana Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Jika arwah sang penyair, dan setumpuk kesedihan pecinta sastra mengalir di urat nadi, maka ijinkanlah aku mencumbui setiap mata yang membaca rangkaian kalam rahsa alpaprana (aksara biasa), sampai terbenamnya bahasa penaku di keabadian sulbi makhluk berkulit tanah, sebelum tiupan sangkakala memanggil, menyentuh udara kiamat, hingga membangunkan seisi jagad raya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Harmonisasi

30 Juni 2016   08:14 Diperbarui: 30 Juni 2016   08:42 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Remang wajah bumi

desau lirih pertanda mata langit gerimis

di sisi pagi

bercengkrama dalam kelembutan kabut

tiada warna distorsi diri

cukuplah puisi

dan itulah harmoni

 

Pada selangkah detik yang terlewati

senyap ditawan naluri

bayang cinta berlawanan arah

terasing rindu

di kelembaban rahim tanah

ambigu

 

Pagi tiada mentari

citra gerimis menghapus embun tanpa arti

bunga-bunga kasih bersemedi

tertunduk insan bumi

khidmat menjiwai instrumen Illahi

larut dalam kekata puisi

seperti pasir waktu

sabda rahsa anglocita

tertulis melaui jari-jari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun